6. Desahan Wala

2030 Words
"Nggak usah cemberut gitu." Mendengarnya, Flora mencebik. Mengaduk-aduk minumannya. Iya, gara-gara eksistensinya dilupakan saat di hotel tadi, Flora ngambek, terus Om Wala langsung membawa Flora ke tempat makan yang sudah buka alih-alih langsung pulang. Biasa ... sogokan! Sialnya, meski sudah sarapan, Flora nggak bisa nolak. "Mau nambah lagi nggak?" Fix, kali ini Flora kenyang. Dia menggeleng. "Makanannya enak," komentar Om Wala kemudian. Dia habiskan minuman yang dipesannya. Oh, ya, jinjingan sarapan buat Om Wala yang Flora bawa sudah habis tadi ketika dia menunggu gerangan. Kesal, sih. Jadi saja batal Flora persembahkan. Toh, sarapannya cuma roti lapis sayuran. Tahu, kan? Mana kenyang! Cuma ganjal lapar saja. Nah, sekarang ini baru makan nasi betulan. Lama di situ, menghabiskan santapan, sampai Wala beres mengusap mulutnya dengan tisu, lalu dia menatap Flora yang melakukan hal sama. "Udah kenyang?" Flora mengangguk, tetapi dia masih ngambek, lho! Makanya dari tadi diam. "Mau langsung pulang atau ke mana dulu?" Anggaplah sebagai penebusan salah yang lupa kalau diri ini sudah menikah. Wala bahkan sampai mengurungkan rencana tidur ronde dua. Flora bilang, "Pulang aja." "Ke rumah Om tapi, lho, ya. Bukan ke rumah orang tua kamu." "Terserah," sahutnya. Flora tahu kalau sekarang pulangnya sudah tidak bisa masing-masing. Mengingat ada cincin melingkar di jari manisnya. Oke, sip. Wala berdiri, merogoh kantong untuk segera transaksi. Habis itu, pulang. Pun, dia bukakan pintu mobil untuk Flora--orang yang sejatinya Wala anggap ponakan. Beuh! Nggak kerasa "istri", makanya Wala sampai lupa tadi bahwa diri telah menjadi suami. Di perjalanan, mereka larut dalam diam. Nggak tahu kenapa, seketika dua-duanya terjebak canggung yang tak perlu. Sesekali Wala curi-curi pandang, Flora anteng menatap jalanan. Hingga kini akhirnya kendaraan itu tiba di pekarangan rumah Semesta. Di situ Flora bertanya, "Ini rumah Om?" Jujur, dia belum pernah ke sana. Selama mengenal Om Wala, Flora cuma tahu orangnya, motor, dan barang-barang yang suka Om Wala bawa. Tidak dengan tempat tinggal dan seisinya. Ah, tapi Flora tahu bila Om Wala itu orang berpunya. Terlihat dari bagaimana mudahnya dia mengeluarkan uang untuk Flora. "Lebih tepatnya ... rumah orang tua." Ditatapnya raut Flora. "Kenapa? Kecewa, ya, lakinya nggak punya rumah sendiri?" "Biasa aja, tuh," sahut Flora, dia melihat-lihat rumah itu dari dalam mobil ketika Om Wala bergegas turun untuk membuka gerbangnya. Apa nggak ada satpam? "Kalo gini berarti nanti ... aku tinggalnya sama mertua, ya?" Om Wala sudah kembali, memarkir mobil dalam garasi. Di detik Flora membuka sabuk pengamannya. "Iya. Jangan khawatir, mereka baik. Dan di sini cuma Om aja anak mereka yang tinggal, lainnya udah pada punya rumah dan kehidupan sendiri." Flora tak menyahut, dia sibuk berpikir. Apa itu berarti hal baik? Namun, tinggal sama ibu mertua, kan, mengerikan! Apalagi ini Flora nikahnya dengan metode ala-ala pengantin pengganti, ditambah perbedaan umur yang astagfirullah sekali dengan suami. Ah, niat membantu Om Wala yang sudah membantunya dulu, kok, malah jadi kayak menjerumuskan diri sendiri, ya? "Yuk, masuk." Flora terkesiap. Dia deg-degan. Sungguh, padahal cuma masuk rumah, tetapi ini seperti mau diajak ke kandang hewan mematikan. Argh! Salah-salah Flora mengangguk kemarin, menerima tawaran menikah yang membuat resah. Oke, salam dikumandang ketika dia mengekor Om Wala memasuki kediaman itu. Sejak tadi pintunya terbuka, tetapi di dalam tampak sepi. Ke mana coba orang-orangnya? "Waalaikumsalam!" Nah, itu, nongol juga. Tampak lelaki yang tampangnya berasa Om Wala versi sepuh, menyambut mereka. Asli, mirip banget! Bedanya, Om Wala kelihatan ada sisi jail dan penuh canda, sedang kakek-kakek itu tampak sangat serius dinilai dari tampangnya. Uh ... sudah kakek-kakek, kan? Flora menunduk. Menyempatkan cium tangan, disusul suara lain yang ternyata-- "Gimana tidurnya semalem, Mi? Nyenyak, kan? Anak Mami udah sold out semua akhirnya." Jelaslah, itu Om Wala. Yang dapat cibiran dari maminya, perempuan setengah baya dengan dua koyo di keningnya. Flora tak bisa berkata-kata. Aduh ... kok, sekarang tatapannya jauh lebih menelisik? Flora jadi ciut. Apalagi saat dia mendengar kakek itu bilang, "Istri kamu?" Kepada Om Wala. AAA! "Iya, yang kemarin itu, lho, Pi." Om Wala ngeluyur. Bilang, "Wala langsung masuk kamar aja, ya? Kalo mau ngobrol next time aja, capek banget ini." Lho, lho .... Flora ditinggal pergi. Om Wala langsung naik ke lantai atas tanpa mengajak Flora atau minimal ngomong apa, kek, gitu. Flora nggak mungkin ikut ngintil sedang ada papi dan maminya Om Wala di sini. Eh, bentar. PAPI?! "Dek Flora, kan, ya?" tanya sosok yang Om Wala sebut mami, sementara yang dikata papi itu menatap Flora dengan tidak biasa. Flora kikuk seketika. "I-iya, Bu." Bingung harus ke mana atau bagaimana. Om Wala similikiti dasar! Flora nggak diajak ke kamar. Ah, sebal! "Jangan sebut ibu, panggil mami aja," kata beliau, tersenyum ramah. Sudah Flora cium tangannya tadi. "Dan ini papi. Oh, ya, kita ngobrol-ngobrol dulu, yuk? Atau mau nyusul Wala ke kamar?" Ah, sepertinya ada banyak hal yang ingin beliau tanyakan. Flora nggak bisa nolak, tetapi nggak siap juga kalau diinterogasi hari ini. Terlebih jika harus sendiri. Ya Allah, tolong! Ini kenapa jadi Flora yang ruwet? "Ng ... ngobrol dulu, boleh, Mi," sahut Flora, canggung sekali. Dia usap-usap lengan kiri. Kemudian Flora diajak duduk di ruang TV, tas selempangnya dipangku, gaya duduk Flora pun super kaku. Di depannya ada papi Om Wala, di sisinya adalah mami gerangan. Disebutkan namanya Mami Ranasya dan Papi Alam. Oke, sip. Flora berkenalan dengan mereka. "Flora umur berapa kalau Mami boleh tau?" Sebenarnya dia sudah tahu, tetapi ingin mendengar langsung dari orangnya. Samar, Flora meringis. "Delapan belas, Mi." Wah ... asli! Itu alasan Rana pakai koyo di dua sisi kepalanya ini. Tahu koyo, kan? Sejenis salonplas. "Wala tiga puluh tujuh tahun, udah tau?" "U-udah, Pi." Iya, Flora disuruh nyebut papi dan mami. Diminta untuk dibiasakan begitu mulai sekarang. Dia remas-remas tali tas selempang tanpa sadar. "Kok, Flora mau, sih, sama anak Mami yang itu? Dia udah tua, lho. Tua banget kalo buat Flora." Nah, tuh .... Bagaimana Flora menjawabnya? Dia panas dingin di tempat. "Lha ... masih di situ? Sini!" Flora terkesiap, pun papi dan mami yang langsung menoleh pada sumber suara, Om Wala muncul dari arah tangga. "Mi, Pi ... besok ajalah ngobrolnya." Lalu dia dekati Flora. "Kamu juga kenapa nggak ngekor? Ayo ke kamar!" Kan, nggak diajak! Ish, gimana, sih, om-om yang satu ini. "Ganggu aja, ah, kamu. Orang lagi ngobrol juga. Floranya aja mau, kok, diajak ngobrol." "Ya, itu karena dia gak bisa nolak, Mi. Udahlah, besok pokoknya. Ayo, Ra! Ngamar dulu kita." "Idiiih! Mami ngeri lihat kamu, Wala!" Bodoh amat! Wala geret Flora hingga keluar dari sirkel papi dan maminya. Lihatlah! "Anak Mami, tuh, itu." "Plis, deh. Papi yang berkontribusi paling besar, ya!" Keduanya sama-sama pijat kepala, juga saling tidak mau mengakui bahwa Wala anak mereka. Oh, astagfirullah. Si paling beban keluarga. *** "Besok kita ambil barang-barang kamu, bawa pindah ke sini." Di kamar Om Wala. "Lemari sebelah sini masih cukup kayaknya kalo buat baju-baju kamu, nanti atur aja sendiri isi lemari ini, ya? Terserah gimana, yang penting nanti baju kamu masuk di sini." Ditunjuknya lemari yang berisi baju-baju gerangan, masih lengang memang, tetapi semua space-nya terisi, berarti Flora harus merekap ulang isi lemari tersebut saat bajunya dibawa pindah ke sini. "Di kamar Om nggak ada meja rias, tapi ada cermin. Kamu becerminnya di sini aja gak pa-pa, kan? Apa perlu Om check out meja rias?" "Itu aja gak pa-pa." Flora tunjuk cermin di dinding. Oke. "Buat alat make up kamu, simpen aja di nakas ini." Sebelahan sama botol-botol minyak wangi, minyak rambut, dan entah minyak-minyak apa lagi kepunyaan Om Wala. Flora mengangguk. Saat ini Om Wala sedang mempresentasikan isi kamarnya, juga diskusi perihal barang-barang Flora nanti yang akan dimigrasi ke sini. "Ini meja kerja Om. Daerah sini biasa Om pake buat ngonten." Ow ... ow ... ow. Kang konten ternyata kerjanya. Flora lihat dinding sebelah sana memang lebih bagus, ditempel hiasan dan tertata manly sekali, juga sangat sedap dipandang, rupanya khusus buat ngonten. Betewe, kamar Om Wala dindingnya cat abu gelap kolab sama putih. Lemarinya juga senada sama warna itu. Namun, daerah untuk ngonten itu warnanya hitam dan lebih laki. Ada rak buku yang sepertinya jarang dibaca buku-buku itu, mungkin cuma pajangan saja. "Nanti kamu kalo mau belajar, bisa pake tempat Om ngonten itu. Nyalain aja lampunya. Cuma kalo Om lagi ngonten, belajarnya di tempat lain, ok?" "Belajar di kasur juga bisa, kok, Om. Eh ... aku, kan, udah lulus sekolahnya." Om Wala menghela napas. "Emang nggak mau lanjut kuliah?" Flora mengerjap. "Emang bisa?" "Kenapa nggak? Om yang biayain kalo kamu mau. Pikirin aja kuliahnya di mana dan jurusan apa." Oh, begitu .... Baiklah. Flora mengangguk part dua. "Dan ini kasur, Om biasa tidur di sini." Menunjuk sisi sebelah kiri. "Kamu yang deket tembok, ya?" "Oke." "Perlu dikasih pembatas di tengah, nggak?" tanya Om Wala. Flora menggeleng. "Nggak usah, aku tidurnya anteng, kok." Sebetulnya bukan karena itu. Tapi baguslah, memang nggak perlu ada batas teritori, toh Wala juga nggak nafsu sama bocil, apalagi bocilnya ini Panorama Flora Pandora. Yang pernah Wala momong waktu balita. "Ya udah. Clear, ya, ini? "Iya ... eh, yang itu pintu kamar mandi, kan, Om?" "Oh, iya. Kamu bisa pake ruangan itu buat mandi. Sabunnya mau barengan sama Om apa pisah? Barangkali nggak suka sama aromanya." Yang demikian itu, Flora refleks mendekat, lalu mengendus-endus aroma Om Wala, membuat cowok itu tersentak karenanya. "Astaga, bocah. Ngapain?!" Didorongnya jidat Flora menjauh. "Kalo kepo sama aromanya, sana cium sabun!" Gilak. Wala kaget banget. Sedang Flora mengusap keningnya, berdecak. "Gitu aja heboh." Wala balas pakai cebikan bibirnya. "Sementara pake yang sama aja, udah. Nanti kalo barang-barang kamu udah di sini, kita belanja." Ya, begitu saja. "Kalo gitu sekarang ... aku pinjem baju Om, ya? Kan, baju aku masih di sana. Nggak nyaman, nih, pake kebaya." Oh, iya. Wala ambilkan kaus yang ukurannya paling kecil di lemari, juga celana training, lalu diserahkan kepada Flora. "Pinjem dulu, ya ...," katanya. "Iya, pake aja." Sementara Wala keluar kamar dan berniat meminjam baju adiknya, dia tinggalkan Flora yang mulai ganti baju. Eum ... seperti itu. *** Malamnya .... Wala, Mami Rana, Papi Alam, dan Flora tentunya ... kumpul di ruang makan. Oh, ini malam pertama Flora tinggal di rumah itu. Tadi dia sempat teleponan sama papa dan mama di rumah, mereka mencemaskannya, Flora bilang bahwa dia diperlakukan dengan baik, tentu tidak diceritakan perihal Om Wala yang meninggalkannya di hotel tadi. Flora memakai baju tidur perempuan punya adiknya Om Wala saat ini, rupanya seukuran. Gara-gara siang tadi dia pakai baju Om Wala, dilihat Mami Rana, lalu diberi solusi untuk memakai baju Tante Nirwana dulu. Toh, besok Om Wala akan memboyong baju beserta barang-barang Flora. Jadi, nggak dikasih solusi beli baru. "Flora bantu, ya, Mi." Gitu katanya. Dia sungkan kalau cuma tinggal makan, tanpa masak tanpa memberi bantuan. Kan, mau dikata apa juga Flora ini orang asing yang menitipkan badan di rumah ini, jadi harus rajin. Nggak bisa masak, minimal bisa bantu siap-siapkan piring dan lain hal. Om Wala sudah duduk manis sambil mencomot bakwan udang dicocol saus seraya memperhatikan Flora yang mencoba berbaur di keluarga ini. Ehm! "Boleh, boleh. Bawain ini ke meja, ya, Dek." Disebutnya adek. Duh! Wala geli mendengar sebutan mami kepada Flora. Di situ Flora pakai piama pink, ketika duduk tepat di sebelah Wala, Papi Alam yang melihatnya menarik napas panjang. Ya Tuhan .... Wala nggak nyaman, papi menatapnya penuh sanksi dan hardikan. Seakan Wala ini penjahat dan Flora yang telah dia jahati. Kan, nggak gitu konsepnya! Ah, sudahlah. Wala mencoba abaikan. Makan malam itu berlangsung khidmat, canggung lebih tepat. "Dikit banget makannya?" Flora terkesiap. Itu tadi suara Om Wala. "Biasanya porsi kuli." Astagaaa! Belum genap 24 jam Flora di sini, dia sudah dibuat malu sama lelaki ini. Yang Flora cubit pinggang Om Wala di sebelahnya. "Ah!" Geli, Kawan! Wala sampai menggeliat. "Porsi makan aku emang segini, kok." Menjawab dan melahap makanan se-slay mungkin, Flora ketar-ketir diperhatikan orang tua Om Wala. Pikirnya, dia nggak boleh jahat parab. You know jahat parab? Sejenis boros makanan, makannya banyak, dan ... ya, gitu, deh. "Apaan! Biasanya kamu sebakul kalo makan, perut karet, terus--sssh!" Itu ringisan lirih, Wala dicubit pahanya oleh Flora yang sudah merah padam. Bisa nggak, sih, aibnya nggak usah diabsen di depan orang tua beliau? Flora, kan, sedang pencitraan! Demi kebaikan Om Wala, lho, ini. Malah dirusak! Kebayang? Raut Mami Rana dan Papi Alam sudah ... ahdhbskskskkll. Sulit didefinisi, tepat saat Wala mendesah, juga meringis kenikmatan. Gi-gila .... Papi Alam keleyengan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD