The Truth Untold

958 Words
Kepala Jay berdenyut seperti dihantam bongkahan batu besar saat ia sadar botol obatnya sudah kosong melompong. Ia benci rasa sakit keparatyang selalu menyerangnya di saat-saat seperti ini. Sakit yang kemudian memutar bayangan-bayangan masa lalunya dan membuatnya ketakutan setengah mati. Selama enam tahun lamanya ia menelan pil-pil hijau tersebut dan membuatnya bertahan hingga kini, Arjuna selalu mengingatkannya untuk tidak pernah lupa meminum pil-pil itu. Jay tau, semua itu bukan dilakukan untuknya melainkan untuk putri bungsunya, Luna. “Dengarkan saya Jay, mulai saat ini lupakan apa yang sudah terjadi beberapa minggu yang lalu. Tidak ada yang mati dalam kecelakaan itu, semua selamat.” Sejak Jay mengonsumsi obat-obatan, ia jadi percaya sepenuhnya tidak ada yang menjadi korban meninggal dalam kecelakaan malam itu. Hanya ada Jay dan Luna di sana. Tidak ada orang lain. Apalagi seseorang yang tidak sengaja terlindas mobil mereka. Wajah Jay pucat pasi dengan rambut basah karena keringat dingin. Ia mengambil ponsel. Satu-satunya orang yang bisa dihubungi adalah Annisa, tidak ada yang lain yang bisa dihubungi. “Annisa ... tolong aku ... tolong aku takut dia menyakitiku, aku taku kalau dia datang ke sini.” kata Jay dengan bergetar. Ia harus menunggu setengah jam sampai gadis itu datang dan membantunya memasukkan tiga pil sekaligus ke dalam mulutnya. Tubuhnya perlahan merosot ke lantai. Napasnya tak beraturan. “Aku takut dia datang, Nis,” gumam Jay. “Dia siapa, Jay?” balas Annisa. “Orang ... orang yang tidak sengaja kami tabrak malam itu.” “Enggak ada Jay, enggak ada yang mati malam itu.” “Bohong ...,” timpal Jay. Annisa hanya menarik napas panjang lantas mengalihkan perhatiannya, ia tidak tega melihat Jay seperti ini, tangannya terkepal kuat dengan rahang mengeras. “Aku mau minta maaf, Nis sama orang itu, Aku pengen cari orang itu,” kata Jay. Butuh berjam-jam untuk membiarkan Jay tertidur di pangkuannya, tidak peduli seberapa pegal pahanya saat itu. Ia tidak peduli karena hatinya ternyata lebih sakit. “Jay ...,” bisik Annisa. Ujung telunjuknya terulur menyingkap rambut tipis yang menutupi mata pria itu. “Seandainya aku bisa ... Aku pasti akan membuatmu berhenti dari semua kesakitan ini, Aku akan membawamu pergi dari sini,” gumam Annisa dalam hati. *** Annisa terbangun saat sebuah tangan kekar menyapa bahunya cukup pelan, ia baru menyadari terbangun di kamar seorang pria saat itu. Dengan rambut yang berantakan. Jay tertawa lepas melihat pemandangan itu. “Ada apa?” tanya Annisa sinis. “Rambut kamu tuh, lihat seperti sarang burung,” kata Jay sembari menyodorkan ponselnya agar gadis itu bisa bercermin. Setelah benar-benar melihat bayangannya di layar gelap itu, Annisa berusaha menghindari benda itu karena Jay yang terus-terusan menggodanya. “Gadis jahat ini membajak kasurku... tega sekali, membiarkan tuan rumah tidur di sofa.” Annisa merebut ponsel Jay kasar. “ Siapa suruh mindahin aku ke kasur? Aku kan bisa tidur di sofa.” Jay tersenyum simpul. “Mana mungkin aku biarin kamu tidur di sofa, sayang?” Annisa masih belum mau mengalah ia berusaha menghindari tangan Jay yang berusaha mengambil ponselnya kembali sembari tertawa bahagia. Hingga tiba saatnya ponsel yang digenggaman Annisa berdering. Annisa terkejut saat melihat nama yang tertera di layar tersebut. Jay yang menerima ponsel tersebut dari Annisa menunggu cukup lama sebelum akhirnya menatap wajah Annisa cukup lama, ia bimbang. Kemudian dengan sangat terpaksa ia mengangkat telpon itu. “Halo, iya Luna?” *** Gedung berlantai 5 itu baru selesai dibangun beberapa minggu yang lalu, aroma cat dan kaca-kaca mengkilat dapat dirasakan Tirta di setiap sudut gedung. Langit-langit tinggi dengan ornamen lampu mewah di lobi utama. Tangga lebar yang terlapisi karpet buatan Inggris, siap mengantar setiap pengunjung menonton pagelaran yang nantinya akan diadakan. Memasuki lantai ketiga, Tirta mulai merasakan aroma teater yang lebih lekat. Ada sebuah panggung besar dengan tirai mewah. Di depan panggung, barisan kursi berwarna putih masih tampak mengkilap. Begitu juga dengan kursi-kursi tribun di atas. “Bagaimana Tirta, suka?” Tirta tersentak dari lamunannya, dan langsung menunduk hormat pada laki-laki paruh baya bertubuh atletis di depannya itu. Roni Alphasa, ayah Doni. “Ini awesome, Om,” puji Tirta tulus. “Suatu kehormatan bagi Om mendapat pujian dari orang hebat seperti mu, Tir." Tirta tersenyum. “Saya juga masih awam Om, justru saya lah yang harusnya belajar dari Om.” “Berminat jadi Aktor juga?” Tawa Tirta menggelegar seketika. “Bukan, Om. Maksud saya, belajar segalanya dari Om Roni.” “Termasuk mencicipi dunia peran, kan?” Kali ini Roni berusaha untuk memengaruhi Tirta. “Kamu terlalu sempurna jika hanya menjadi seorang sutradara, Tirta.” Tirta tertawa lepas. “Saya lebih suka bekerja di belaka—“ “Karena takut dikejar-kejar sebagian besar fans perempuanmu?” potong Roni. Lagi-lagi Tirta hanya bisa tertawa lepas. “Kadang Om berpikir kenapa anak Om itu Doni, yang tidak tertarik dengan dunia seni, bukan dirimu,” canda Roni. Tanpa sengaja dandanan Roni tertangkap oleh Doni yang kebetulan baru saja datang untuk mempersiapkan pembukaan teater Alphasairis itu. “Oh ... jadi, papa mau membuang aku?” tanya Doni pura-pura marah. “Lihat aktingmu saja tidak terlalu menarik,” gumam Roni tapi kemudian ia berkata lagi, “Ya, sudah kalau begitu bicarakalah bagaimana pembukaan teater ini, Om harus ke lokai Shooting sekarang.” Sepeninggal Roni Alphasa, Arga mengeluarkan ponselnya dari dalam saku dan memberikannya kepada Tirta. “Ada pesan dari Neo Paradise untukmu, Tir.” Tirta mengernyit heran, lantas terdiam sebelum pada akhirnya membaca pesan itu. Ia memejamkan mata sembari menghirup udara dalam satu tarikan napas, Doni bisa membaca kegusaran di wajahnya. Kegusaran yang jelas membuat Doni penasaran setengah mati. “Sebenarnya, apa tujuan awal dirimu datang ke sini? Luna? Apa rencana kamu sebenarnya?” Tirta diam seribu bahasa. Ia mendongak menatap langit-langit yang megah itu seolah berharap dengan melakukannya ia akan menemukan jawaban. “Jangan bilang kalau kamu mau buat Luna bangkit dari keterpurukannya lalu mengajaknya berakting di film garapanmu? Juga sekaligus merebut hatinya, begitu?” Tirta mengangkat bahu. “Bisa jadi begitu, Don.” Doni tertawa lepas. “Aku pikir kamu enggak suka perempuan ... ternyata kamu rela jadi stalker Cuma karena Luna Respati.” Kalau saja Tirta tidak mendelik dan memasang wajah garang, mungkin saja Doni akan meneruskan hipotesis sesuka hatinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD