The Stories

971 Words
Sejak kepulangannya dari Neo Paradise jam delapan malam tadi benar-benar membuat Annisa tidak bisa keluar kamar. Sedari tadi mereka sudah keluar masuk beberapa laman universitas di San Jose, hampir dua jam lamanya mereka berkutat dengan mesin pencarian tersebut. “Apa sudah dapat, Annisa?” tanya Luna setelah berkali-kali mendesak kesal karena screen reader itu bicara padanya. Annisa baru saja menutup laman website resmi salah satu universitas di San Jose, banyak laman yang memberitahukan bahwa Tirta Revaga adalah seorang sutradara muda yang telah melahirkan banyak film bergengsi di negeri paman Sam itu. Namun, tetap saja Luna belum puas dengan informasi itu. “Belum Luna, apa tidak ada kemungkinan Tirta Revaga eum ... maksudku TY itu mengunjungi Neo Paradise?” tanya Annisa kemudian. Luna berdecak, ia memundurkan kursinya dan memeluk boneka beruang miliknya. “Bahkan aku enggak tau itu TY atau bukan ....” Ia tidak yakin tapi, entah mengapa di satu sisi ia merasa tidak yakin dengan keyakinan itu. “Kenapa tidak kita lihat saja esok hari?” tanya Annisa. Luna menggembungkan pipinya. “Aku ke sana setiap sore hari, bagaimana kalau ia ke sana pagi hari atau malam hari?” Annisa tertawa kecil melihat reaksi Luna saat itu. Annisa tau persis bagaimana penasarannya Luna pada sosok TY yang misterius itu saat pertama kali selembar surat datang ke rumah seorang tentara berpangkat Kopral kepala itu. Waktu itu sudah setahun Luna tidak bisa melihat dan hari itu memasuki bulan kedua Annisa bekerja kepada Luna. Surat dari TY bersampul biru langit dengan perangko bergambar cupid, isinya hanya selembar kertas tipis beraroma kayu cendana yang lembut dengan sebaris tulisan tangan indah. The world break everyone, and afterward, some are strong at the broken place Ernest Hemingway Dua surat berikutnya masih berisi kutipan-kutipan kalimat bijak dari tokoh-tokoh terkenal. Luna masih tidak peduli kendati Annisa bisa menangkap maksud dan tujuan si pengirim surat yang mengenakan inisial TY itu. Dua bulan kemudian barulah si TY itu mengirim kartu post beserta beberapa bundel memory card berisi rekaman. Kartu post tersebut lebih panjang dan bukan kalimat kutipan lagi. Luna Respati. Di antara jutaan manusia di bumi ini, kisahmu adalah salah satu kisah yang pernah kudengar. Kau tau, dalam buku novel seindah apapun, tidak ada derita yang mudah dilalui. Begitu juga dengan hidup kita. Akan selalu ada akhir yang bahagia untuk siapapun yang berusaha bangkit setelah mengalami keterpurukan. Aku pernah yakin jika dirimu bisa melewati itu semua. —TY Annisa menyerahkan memory-memory tersebut dan pada akhirnya Luna meminta ayahnya untuk membelikan sebuah Ipod untuk memutar benda tersebut. Annisa masih belum tau isi rekaman itu sampai akhirnya ia tau karena mencuri dengar saat Luna tertidur di atas sofa dengam earphone menempel di telinganya. Sebuah cerita roman klasik yang diceritakan dengan gaya bicara lugas. Sejak saat itu juga Luna berubah drastis, wajahnya tidak lagi kuyu seperti sebelumnya Luna juga sudah bisa tertawa dengan bebas. Apalagi ketika TY mulai mengirimkan memory berisi cerita-cerita roman lainnya dengan beberapa untaian kata-kata bijak yang terkadang ia tulis sendiri. “Ya, sudah, titip saja pesan kepada Bibi Olin supaya menghubungimu kalau laki-laki itu datang lagi,” ujar Annisa kemudian. Luna terdiam cukup lama sebelum akhirnya mengangguk dan beranjak menuju tempat tidurnya. Annisa sendiri mulai melangkah keluar setelah memastikan tidak ada benda-benda yang berbahaya di sekitar Luna. Annisa baru saja melepaskan knop pintu berwarna silver itu saat ponsel di dalam sakunya bergetar. Annisa terkejut tapi, segera menggeser tombol hijau saat membaca nama Jay di sana. “Iya, Jay?” Jay tidak menjawab, napasnya terdengar tak beraturan di seberang telpon. “Jay, katakan ada apa? Apa kamu baik-baik saja?” “Annisa ... tolong aku ... tolong aku takut dia menyakitiku, aku taku kalau dia datang ke sini.” Annisa tak mendengarkan sepatah kata lagi dari Jay, dengan langkah terburu-buru ia bergegas menuruni tangga dan mencari taksi agar bisa membawanya ke apartement Jay secepat mungkin. *** Hanya dengan selembar handuk berwarna biru tua yang melilit pinggangnya, Tirta keluar dari kamar mandi berpintu transparan itu. Tetesan air dari rambutnya yang basah sesekali jatuh melewati wajah, bahu, hingga garis-garis otot perut yang kentara. Ia merasa lelah seharian berkeliling kota, pikirannya masih terpecah dan sulit untuk difokuskan. Kepalanya terasa sangat nyeri hingga ia menghabiskan kurang lebih 1 jam untuk berendam di bathtub. Tirtaa terdiam cukup lama di depan westafel dengan kedua mata terbuka lebar seolah sedang menantang pantulannya di dalam cermin panjang itu. “Pengecut,” gumamnya dengan sebuah seringai sinis. “Do you know how much i’ve missed you?” Ia mengulum bibirnya sejenak, lantas mengulurkaan tangan menghabus titik-titik embun yang menghalangi pandangannya di cermin. Tirta menarik napas sepanjang mungkin hingga akhirnya ia mendengar sebuah dering telpon dari ruang keluarga. Dengan langkah-langkah lebarnya, hanya perlu beberapa detik untuk sampai dan mengangkat telpon itu. “Sudah tidur, Tir?” “Mom?” Wanita di seberang telpon tertawa kecil. “Eum apa kamu sudah tidur?” “Belum Mom, apa Mommy masih di kantor?” tanya Tirta. “Tirta ....” “Apa Mom?” “Jangan terlalu keras kepada dirimu sendiri, nak.” Tirta tau dengan jelas apa maksud mamanya tapi, ia memilih untuk mengalihkan topik, “Aku enggak akan kerja terlalu larut.” “Jangan pernah menghukum orang lain, Tir ... Tuhan membenci itu.” Tirta hanya mendesah pelan lantas berkata, “Di mana Daddy?” “Kamu pasti mengerti Tir, dia tidak akan pulang sebelum karyawannya pulang.” “Sampaikan salamku kepadanya.” Setelah menyudahi panggilan tersebut, Tirta segera berpakaian kemudian meraih remote di atas meja ruang keluarga. Ia memutar sebuah lagu dari Jane Huang yang mendayu. Ia pikir setelah itu ia akan tertidur dengan pulas namun, dugaannya salah. Bayangan Luna kembali muncul dalam pelupuk matanya. Ya, Luna yang berhasil mendorongnya untuk kembali ke negara ini. Lunas yang terlihat sangat rapuh saat ia menyentuhnya kemarin, gadis itu benar-benar tidak dapat melihat. Tapi, kenapa dia harus buta? Kenapa dia harus serapah itu? Kenapa Luna membuat segalanya terasa semakin runyam bagi Tirta?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD