Pilihan hidup

1258 Words
"Akhirnya keluar juga kamu, uangnya udah ada belum?" tanya seorang dari mereka melongok ke dalam rumah. Tidak ada siapapun karena jelas Pak Kas sengaja menghindar. Mau bagaimana lagi, ia memang sudah meninggalkan anak gadisnya sendirian. Bunga hutang sudah terlalu besar untuk dilunasi. Amara kelabakan, tidak kunjung menemukan alasan untuk melarikan diri. Situasinya terlalu sulit. Pembayaranpun sudah lama jatuh tempo, wajar kalau ia terus-terusan ditagih. Tanpa disadari oleh Amara kedua pria itu saling pandang, melempar isyarat satu sama lain. Terakhir kali mereka gagal membawa Amara karena dihalangi oleh Pak Kas. Sekarang tidak ada seorangpun yang akan menolongnya. "Lepas! Ayo bicara di sini saja. Tunggulah, sebentar lagi ayahku pasti akan pulang," rengek Amara saat lengannya dicengkeram lalu diseret ke arah mulut gang. Di sana, mobil mereka terparkir, siap pergi. Teriakan pilu Amara tidak dihiraukan oleh siapapun. Ia kecewa karena selama ini sudah percaya pada ayahnya. Walau kejam, ada kemungkinan kalau Pak Kas memang sengaja pergi sendirian. "Permisi, bisa bicara sebentar?" Pram tiba-tiba muncul, mengetuk jendela depan dengan satu tangan. Pria itu datang dan sempat berdiri di depan mobil para rentenir. Amara pikir ia tengah berhalusinasi tapi nyatanya tidak. Air mata itu serasa nyata dan cengkraman di lehernya membuatnya kesakitan. "Pergi! Kami sedang terburu-buru." Rentenir itu menurunkan kaca jendelanya sedikit. "Keluar atau aku akan memanggil polisi. Lihat,dengan sekali tekan foto plat mobil ini akan beredar di media sosial." Pram memperlihatkan layar ponselnya. Ia tidak sedang bicara omong kosong. "Kurang ajar." Pria yang memegang kemudi keluar, menghampiri Pram. Gang itu sepi dan tentu saja bukan hal besar kalau ia membuat seorang pria terkapar. "Katakan saja berapa hutangnya, aku akan membayarmu," kata Pram langsung memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. Sebisa mungkin jangan ada kekerasan. Kalau ibunya tahu, ia tidak akan menggunakan alasan itu untuk mengekang. "Cih! Macam kamu punya uang aja!" Rentenir itu meludah, tanda ejekan kasar. "Aku hanya membawa ini sekarang, tapi kamu bisa datang dan temui aku kapan saja di kantor." Pram mengulurkan cek juga kartu namanya sekaligus. Rentenir itu terdiam, sejenak memeriksa. "Ada apa? Ayo pergi, jangan terlalu lama di sini," kata temannya yang masih memegangi bahu Amara di kursi belakang. "Lepaskan dia. Cek ini lebih baik daripada kita repot-repot menjualnya ke Tante Lis," bisiknya menyebut nama mucikari di kawasan prostitusi. Amara ikut melirik nominal dari cek yang diperlihatkan pada si rentenir. Jumlahnya setengah dari tagihan mereka. Kenapa ia mau terlibat sejauh itu? Batin Amara menatap Pram dengan pandangan curiga. Di dunia ini mana ada yang gratis? Tanpa perdebatan panjang, Amara dilepas dan mobil yang sempat menyekapnya pergi, menuju jalan raya. "Terima kasih karena sudah menolongku tadi," kata Amara basa-basi. Jelas dari suaranya ia tidak ikhlas sama sekali. Kalau uang tadi juga sepuluh juta kemarin digabung, Amara harus bekerja tiga tahun untuk melunasinya. Ijazah SMAnya saja masih ditahan oleh pihak sekolah, jadi paling-paling ia hanya akan bekerja jadi tukang cuci piring di rumah makan. Pram menghela napas panjang, menatap penampilan menyedihkan seorang Amara. Dari sekian banyak baju, Pram yakin kain yang melekat di tubuh gadis itu sudah pantas untuk djadikan lap kaki. Meski ia sering menemui anak jalanan dengan tampilan buruk, Amara lebih menyedihkan dari mereka. Mungkin karena wajahnya sudah lelah menghadapi masalah di usia muda. "Tidak usah berterima kasih, kamu tahu kan kalau itu tidak gratis?" Pram menaikkan suaranya agar Amara tahu kalau mereka masih punya urusan. "Jadi? Om mau apa?"tanya Amara kesal,lebih tepatnya khawatir. "Om? Usiaku bahkan belum 30 tahun." "Usiaku 18, kita terpaut hampir 12 tahun," kilah Amara mencoba memerpertahankan argumentasinya. "Baik, terserah. Sekarang yang paling penting, kamu ikut aku sekarang. Bayar hutangmu dengan cara lain." Pram menunjuk mobilnya di seberang jalan. Tapi niat baik itu justru diartikan buruk oleh Amara. Cara lain dia bilang? Teman sekolahnya pernah menggunakan istilah itu untuk menjual diri. Ah apa ini yang namanya keluar dari mulut singa masuk ke mulut buaya? "Kenapa? Tidak mau?" tanya Pram mulai tidak sabar. Sudah hampir gelap, yayasan sosialnya akan segera tutup. Tidak enak kalau datang di luar jam kerja. Amara merasa harga dirinya sudah hancur. Tapi apa boleh buat? Kalau memang satu malam saja hutang puluhan jutanya bisa terhapus, kenapa tidak? Toh setelah ayahnya pergi, ia tidak punya siapa-siapa lagi sekarang. Berbekal seransel tas berisi pakaian ganti, Amara masuk ke mobil milik Pram. Tetangga kanan kiri mengintip, mulai berujing satu sama lain tentang pria kaya yang menyelamatkan Amara dari lingkungan mereka. Mobil itu kemudian melaju, menembus udara sore Jakarta yang penuh asap kendaraan. Jam menunjukkan pukul enam, adzan maghrib kemudian berkumandang dari kejauhan. Ah, apa Tuhan masih ingat kapan terakhir aku bersujud? Batin Amara merasakan pelupuk matanya berair. Pram yang menyaksikan itu membisu, pura-pura tidak tahu. Ia memang belum pernah merasakan sakitnya menjadi miskin, tapi hidupnya pun tidak lebih bahagia dari mereka. Lihatlah Ny Rose yang lebih suka menatap isi tabungan daripada wajah anaknya sendiri. Harta memang menyesatkan kalau dinikmati sendiri.Orang kaya harus meyisakan sebagian dari penghasilannya agar tetap waras dalam menjalani hidup. "Loh kok gelap?" gumam Pram terkejut. Rumah sosial miliknya seperti tidak berpenghuni. Bangunan dua lantai itu gelap, hanya lampu bagian depan saja yang masih menyala. Padahal biasanya kamar anak-anak selalu menyala sampai pukul sembilan malam. "Bapak lupa? Hari ini kami mengadakan karya wisata ke Lebak. Besok malam baru pulang," sahut Dewi, pengurus yayasan lewat sambungan telepon. Pram tiba-tiba ingat kalau rencana itu sudah ia setujui seminggu lalu. Seorang donatur memberi tiket gratis untuk liburan edukasi. Ah, bagaimana Pram bisa lupa? Kenapa aku dibawa ke sini? batin Amara membaca plakat besar di dekat pagar teralis. Yayasan sosial? Dia mau mengantarku ke panti asuhan? "Kamu lapar? Ayo cari makanan dulu,"kata Pram menutup panggilan itu. Ia kembali menyalakan mesin mobil lalu memutar kemudinya ke arah lain. Amara hanya mengangguk saja. Makanan terakhirnya adalah mie instan kemarin sore. Ia sudah terbiasa menahan lapar dan sering minum air kran untuk bertahan. "Pesan apapun dan kenyangkan perutmu." Pram menyodorkan selembar menu seafood ke arah Amara. Meski terkesan kaya, Pram ternyata lebih memilih sebuah warung seafood pinggir jalan. Sepertinya pria itu sudah menjadi pelanggan. Terbukti pelayan di sana melempar candaan ringan sembari menulis pesanan. Amara memesan sepiring nasi besar dan semangkuk sup udang. Pram menatap betapa lahap gadis itu mengunyah makan malamnya. Kira-kira kapan terakhir ia menyantap makanan enak? Anak di yayasan sosial rata-rata adalah anak kecil yang ditelantarkan. Apa usia Amara bisa masuk? Pram bahkan tidak pernah memikirkan masalah itu. Kini ia terlanjur membawa Amara dan berakhir bingung sendiri. Perut Pram tiba-tiba terasa kenyang. Ia memilih untuk membungkusnya lalu memesan beberapa lagi untuk dibawa pulang. Setidaknya untuk malam ini, ia berencana mengajak Amara untuk ke apartemennya. Ada ruang kosong yang jarang dipakai. Mungkin bisa dibersihkan sebentar nanti. Lupakan tentang norma, Pram yakin pada dirinya kalau ia tengah berbuat baik. Peraturan di apartemennya lumayan bebas dan memperbolehkan siapapun untuk menginap. Tanpa setahu Pram, Amara terus menebak hal buruk macam apa yang akan terjadi padanya. Ia diberi makan, tumpangan juga pelunasan hutang. Memangnya apa sih yang pria dewasa inginkan dari gadis muda seperti Amara? Pikiran itu terus berenang dengan bebas. Hingga kemudian, mobil yang ditumpangi mereka tiba di area parkir apartemen. "Kenapa berhenti? Aku butuh istiahat, besok pagi aku akan mengantarmu ke yayasan sosial." Pram menoleh, memberi isyarat agar Amara cepat masuk ke lift. Tidak ada yang tahu nasibnya sendiri. Begitupun Amara. Baru tadi siang ia duduk di sebuah rumah petak kumuh, tapi beberapa jam kemudian, kakinya berada di tempat para orang kaya. Bagi gadis miskin, Pram seperti pangeran berkuda putih yang menawarkan kebahagiaan lewat uang juga penghormatan. Tapi posisi Amara jauh lebih murah. Jadi, tidak ada alasan untuk lega bukan?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD