Kunjungan pertama

1096 Words
Amara masuk dengan kaki gemetar. Seumur hidup, baru sekarang ia melihat tempat tinggal senyaman itu. Fasilitas minimalis, bersih dan tertata, sungguh berbeda dengan rumah kontrakan yang baru tadi siang ia tinggali. Pantas saja banyak gadis seusia Amara yang rela mengorbankan harga diri mereka demi hidup seperti itu. "Malam ini kamu tidur di kamar sebelah dapur." Pram menunjuk sebuah ruangan lain yang letaknya sedikit jauh dari kamarnya. Sebuah seprai dan bantal ia letakkan ke atas meja ruang tamu. Runtuh sudah fantasi horor Amara. Lebih tepatnya gadis itu bersyukur karena pikiran buruknya tentang Pram tidak terbukti benar. Lagipula kenapa masih ada orang baik hati yang memberi tanpa imbalan? Terlebih untuk jaman sekarang. "Kenapa? Biar kutebak. Kamu pasti sudah berpikir kotor,kan?" Ia menatap Amara dengan sorot tersinggung. Amara tidak bisa membantah. Sepanjang perjalanan tadi, bayangan tentang adegan dewasa menenggelamkan akal sehatnya. Akhir-akhir ini banyak juga berita kriminalitas yang menyangkut pautkan tentang prostitusi. Korbannya bahkan ada yang berakhir mati dan dimutilasi. Bukankah wajar saja kalau ia punya sedikit rasa curiga? "Aku ini pria terhormat, tahu. Dasar menyebalkan." Pram mendengkus lalu masuk ke kamarnya sendiri sambil terus mengomel. Aish, memalukan. Batin Amara bergegas masuk ke ruangan yang dimaksud. Mungkin saja Pram tengah menertawai isi pikirannya sekarang. Di era modern, gadis remaja berpikiran jauh lebih dewasa dari umurnya. Pantas saja Pram mencoba menjaga jarak agar Amara tidak ketakutan. Tapi apa itu berhasil? Nyatanya Amara tetap melihatnya seperti seorang sugar daddy. ___ Paginya, Amara bangun lebih dulu. Ia mencari sesuatu dari dalam lemari es, tapi bahan yana tidak menemukan bahan makanan yang bisa diolah untuk sarapan. Di rak paling bawah, hanya ada tiga kantung plastik seafood yang dibeli semalam. "Apa lemari esnya selalu kosong?" gumam Amara memanaskan lauk itu ke dalam satu wadah besar. Kompornya bahkan terlihat sangat bersih, seperti belum pernah dipakai sebelumnya. Beberapa saat kemudian, Pram akhirnya keluar. Pria itu sudah bersiap dengan setelan jas dan rambut ber-pomade. Tampaknya ada pekerjaan mendesak yang harus ia selesaikan pagi-pagi di kantor. "Aku tidak terbiasa sarapan. Kamu tunggu saja di sini, nanti waktu istirahat, ikut aku keluar," kata Pram meneguk s**u dingin dari lemari es. Amara langsung mengiyakan. Ia sendiri merasa canggung karena masuk dapur tanpa ijin. Setengah jam setelah kepergian Pram, Amara berinisiatif bersih-bersih. Kebetulan kamar yang ia tempati semalam sedikit berantakan dan berdebu. Apartemen itu hanya ada dua kamar, jadi ada kemungkinan kamar di dekat dapur juga difungsikan sebagai gudang. Dari sekian barang yang ditumpuk di dalam kardus, sebuah album foto menarik perhatian Amara. "Pasti ini pacarnya," gumam Amara menatap foto seorang gadis cantik yang tengah dirangkul oleh Pram. Wajah keduanya terlihat bahagia dan saling menatap satu sama lain. "Pantas aku tidak dilirik, seleranya tinggi." Amara membalik halaman album lalu melihat banyak foto-foto lagi. Mungkin sudah lama karena wajah Pram jauh lebih dewasa sekarang. Apa sepuluh tahun lalu? Kapanpun itu, Pram sudah tampan sejak dulu. Bahkan ada satu foto yang menampilkan lesung pipinya. Amara sadar, mungkin saja Pram sudah lama tidak tertawa. Wajah serius plus jutek pria itu adalah gambaran pas kalau masa bahagianya telah berlalu. --- Sementara itu, tepat jam sepuluh pagi, ponsel Pram berdering. Itu dari Dewi, si pengurus panti yang keberatan mengenai rencana Pram untuk memasukkan Amara ke yayasan sosial. Alasannya jelas, sejak awal mereka sepakat hanya akan menerima anak kecil usia 0-7 tahun. Sebagai seorang pemilik, Pram sendiri tidak bisa semena-mena. Ia yang salah karena mengajak Amara tanpa persiapan apapun. Kenapa ia begitu buru-buru saat itu? "Bagaimana dengan pilihan cover terakhir? Apa penulis sudah setuju?" tanya Pram di sela-sela rapat mereka siang itu. Hari ini, jadwal di kantor cukup sibuk, jadi Pram mematikan ponselnya seperti biasa. Pikirnya, tidak akan terjadi apapun. Toh, ia akan pulang satu jam lagi. Padahal tanpa setahu Pram, ny. Rose sedang dalam perjalanan menuju ke apartemennya. Kali ini ia tidak sendiri, Katarina, gadis yang ia pilih untuk Pram, ikut datang. Rencananya,mereka berdua akan memasak dan memberi kejutan kecil. Sungguh waktu yang tidak tepat bukan? "Apa tidak masalah kalau saya ikut?" tanya Katarina tepat ketika mereka berjalan ke luar dari lift. Ny.Rose menggeleng santai. Siapa sih pria yang bisa menolak gadis secantik Katarina? Berpendidikan bagus, keluarga kaya dan pandai di dapur. Ny Rose yakin pilihannya kali ini tdak salah. Katarina bukan gadis manja seperti yang lain. "Nggak masalah. Tante jamin ,begitu Pram mencicipi masakanmu, dia pasti akan luluh. Selama ini anak Tante menghabiskan hidupnya untuk belajar dan bekerja, jadi dia memang agak kaku kalau berhadapan dengan wanita," kata Ny. Rose berhenti tepat di depan unit apartemen Pram. Katarina sendiri adalah seorang chef sekaligus youtuber yang kontennya tidak jauh dari makanan. Ia cukup terkenal dan punya banyak penghasilan dari internet. Tidak heran Katarina punya standart tinggi dalam menilai laki-laki. Beberapa kali ia menolak pilihan sang ibu,hingga minggu lalu foto Pram mengubah prinsipnya. Boleh dibilang, Katarina jatuh cinta pada pandangan pertama. Ia harus bertemu langsung agar yakin kalau perasaannya tidak salah. Sementara itu dari dalam kamar, Amara mendengar suara pintu dibuka. Awalnya ia akan keluar, tapi berakhir urung. Gadis itu cukup cerdas dalam membaca situasi. Dan tahu kalau keberadaannya akan menimbulkan kesalah pahaman besar. "Aneh, biasanya Pram tidak pernah makan di rumah," gumam Ny. Rose menatap mangkuk sisa sarapan Amara. Seafood itu masih separuh dan diletakkan di lemari es paling bawah. Sementara itu, Katarina meletakkan bahan makanan yang ia bawa ke atas meja dapur dan mulai memasak. Amara mengintip dari celah pintu,menebak-nebak siapa kedua wanita itu. "Ibunya?" gumam Amara yakin. Hidung mancung juga alis Ny. Rose menurun ke anaknya. Mungkin rahang juga wajah Pram didapat dari sang ayah. Tapi dilihat dari segi apapun, Katarina jelas bukan siapa-siapa. "Wanita itu bukan orang yang sama." Amara menatap foto lama dari album itu sekali lagi. Dugaannya benar. Mereka berbeda. Amara diam-diam terus menatap kegiatan yang terjadi di dapur. Keduanya sibuk memasak sambil mengobrol tentang banyak hal. Dari percakapan itu, Amara tahu kalau Katarina adalah wanita yang dipilihkan untuk Pram. "Secantik itu, mana mungkin ditolak? Putih, langsing dan tinggi.Benar-benar tipe wanita kesukaan." Amara tanpa sadar kecewa pada dirinya sendiri. Kalau dibandingkan, mereka seperti dilahirkan dari kasta yang berbeda. Tapi kenapa ia tiba-tiba merasa sakit hati? Sekitar satu jam kemudian, tiba-tiba Pram pulang. Pria itu membawa sekotak makan siang lalu memanggil nama Amara. Tapi, wajahnya memucat saat sadar siapa yang datang. "Kamu manggil siapa tadi? Amara?" Ny Rose melotot, memberi peringatan agar Pram segera menyembunyikan makanannya ke belakang punggung. Ia tidak yakin apa Katarina akan senang kalau tahu Pram membawa makan siangnya sendiri. Siapa lagi sekarang? Batin Pram menatap senyum Katarina dengan perasaan malas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD