"Hah ... hah ... hah ...." Kyouko terengah karena lelah berlari. Sepertinya sudah cukup jauh dari orang yang hendak menculiknya.
"Hah ... hah ... Kau baik-baik saja?" Pria yang menyelamatkannya bertanya dengan nafas yang juga terengah.
"I-- iya ... terima-- kasih," jawab Kyouko terbata karena masih mengambil nafas dengan serakah.
Saat ini mereka telah berada di belakang sebuah gedung cukup jauh dari perpustakaan.
"Sebenarnya siapa mereka?" tanya pria itu setelah menetralkan deru nafasnya.
Kyouko mengamati pria yang telah menolongnya dengan seksama. Rambut emo model chikenbut dan onyx hitam legam yang terlindungi oleh kacamata transparan. Dan jangan lupakan setitik tahi lalat di bawah mata di sudut mata kanannya. Tampan, adalah satu kata yang dapat ia katakan untuk pria itu. Terlebih dengan kemeja putih yang lengannya digulung sampai siku, dan Kyouko dapat melihat jelas kemeja berwarna putih itu memperlihatkan samar-samar roti sobek di dalamnya.
"Hai." Pria itu melambaikan tangan di depan wajah Kyouko karena Kyouko tak berhenti menatapnya.
Kyouko baru tersadar, ia terkesima pada pria yang telah menolongnya hingga melupakan keadaannya yang nyaris jadi korban penculikan.
"Ah, aku tidak tahu," jawab Kyouko dengan menunduk karena merasa malu. "Sekali lagi terima kasih telah menolongku," ucapnya kemudian.
"Hn. Kebetulan aku mendengar teriakanmu."
"Sekali lagi terima kasih, aku akan segera pulang." Kyouko membungkuk sebagai ucapan terima kasih kemudian melangkahkan kakinya berniat segera pulang ke rumah. Ia takut jika dua orang tadi adalah orang-orang yang berniat mengincar nyawanya.
"Aku bisa mengantarmu, mobilku tidak jauh dari sini," tawar pria itu dengan berlari kecil menyamakan langkahnya dengan Kyouko.
Kyouko terdiam dan terlihat berpikir. Jika ia pulang sendiri bagaimana jika orang-orang itu kembali lagi untuk menculiknya? batinnya.
"Maaf merepotkanmu." Dengan tak enak hati ia menerima tawaran pria itu. Perasaannya mengatakan pria itu bukan orang jahat.
"Tidak apa-apa," jawab pria itu dengan mengukir senyum tipis sekilas.
Mereka berjalan sekitar seratus meter dan sampailah pada mobil pria itu yang terparkir di depan sebuah restoran.
"Aku baru di kota ini jadi belum terlalu paham dengan jalan disini, kau bisa mengarahkanku menuju rumahmu," kata pria itu setelah memasang self belt.
"Maafkan aku. Aku jadi merepotkanmu," ucap Kyouko penuh rasa bersalah.
"Tidak apa-apa. Namaku Manjiro." Pria itu memperkenalkan diri tanpa mengulurkan tangan, hanya menatap Kyouko disertai senyum tipis tersungging di bibirnya.
"Namaku Kyouko, sekali lagi terimakasih telah menolongku, Manjiro-san, dan maaf merepotkanmu."
"Hn." Pria bernama Manjiro itu hanya menjawab dengan senyuman kemudian menghidupkan mesin mobil dan mulai melajukan mobilnya sesuai petunjuk yang Kyouko berikan.
Dalam perjalanan mereka mengobrol ringan meski Kyouko masih tampak canggung. Hingga tak terasa hanya butuh setengah jam akhirnya mobil berhenti di depan rumah Kyouko.
"Sekali lagi, terima kasih," ucap Kyouko saat mobil telah berhenti tepat di depan rumahnya.
"Sama-sama," jawab Manjiro dengan senyuman ringan.
"Apakah Manjiro-san ingin mampir?" tawar Kyouko sembari melepas sabuk pengaman. Ia memang cukup mudah menerima kehadiran orang asing jika orang itu telah berjasa padanya. Dan Manjiro, telah berhasil menyelamatkannya.
"Tidak, terimakasih," tolak Manjiro dengan halus.
"Baiklah ... sekali lagi terima kasih telah menyelamatkanku bahkan mengantarku sampai rumah."
"Tidak apa-apa, jika orang lain, tentu akan melakukan hal yang sama saat melihat seseorang akan menjadi korban penculikan."
Kyouko keluar dari dalam mobil kemudian setengah menunduk guna mengucapkan kembali terima kasih untuk kesekian kalinya. Manjiro hanya menjawabnya dengan senyuman, kemudian melajukan mobilnya meninggalkan kediaman Kyouko. Kyouko menatap kepergian mobil Manjiro dalam diam. Jika tidak ada Manjiro, mungkin sekarang ia sudah mati dengan jantung yang hilang dari tubuhnya. Membayangkannya saja sudah membuatnya gemetar. Ia segera masuk ke dalam rumah, berniat mandi dan melanjutkan bacaannya. Masih banyak pertanyaan yang terbersit di pikirannya dan berharap buku yang ia bawa memberinya petunjuk.
"Aku pulang." Membuka pintu dan melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah, ia merasa ada yang aneh. "Dimana, ibu?" batinnya. Biasanya sang ibu akan menyambutnya dengan senyum manis dan sebuah pelukan juga ciuman kecil di kening, tapi ia tidak mendapatkannya kali ini.
Kyouko mencoba mencari sang ibu, ia melangkahkan kaki menuju dapur namun tak mendapatinya di sana. Kemudian melangkahkan kaki menuju kamar orang tuanya namun juga tak ada sahutan dari dalam kamar. "Apa ibu pergi? Tapi kenapa tidak mengatakannya padaku?" gumamnya yang kemudian melangkahkan kakinya menuju kamarnya di lantai atas. Melewati selangkah demi selangkah anak tangga dengan pikiran yang mulai cemas.
Cklek ...
Hal pertama yang ia lihat adalah ayah dan ibunya tergeletak di lantai kamarnya dengan berlumuran darah.
"Ayah! Ibu!" jerit Kyouko yang melihat pemandangan mengerikan di depan mata. Ia segera menghampiri keduanya yang sudah bersimbah darah. Air mata seketika mengalir deras dengan tubuh bergetar. Pikirannya telah terjun bebas melihat orang yang paling ia sayangi meregang nyawa. "Ayah ... Ibu … Bangun Ayah, bangun … ibu …." Kyouko memeluk sang ayah yang lemah tak berdaya dimana nafasnya terputus-putus. Sementara Naoko terlihat telah kehilangan nafas. Darah segar mengalir dari perutnya yang terdapat luka bekas tusukan begitu juga ayahnya. Bahkan kemeja ayahnya yang berwarna putih kini menjadi merah terlumuri darah.
"Kyo-- Kyouko--" Hayate berusaha untuk tetap bernafas, meski dadanya benar-benar terasa sesak dan panas. Ia mencoba mengeluarkan kata-kata walau susah payah.
"Ayah, apa yang terjadi?! Kenapa ayah dan ibu seperti ini?!" jerit Kyouko hingga meraung. Ia harap ini hanya mimpi dan segera terbangun.
"Kau ha-- rus-- harus segera pergi," perintah Hayate dengan terbata. Ia mencoba meraih wajah Kyouko namun tak bisa. Tubuhnya sudah benar-benar lemas bahkan penglihatannya pun telah kabur. Sepertinya, tak ada lagi kesempatan untuknya agar dapat tertolong.
"Apa maksud Ayah?! Bertahanlah Ayah! Aku akan segera membawa ayah dan ibu ke rumah sakit." Kyouko mencari ponsel dalam tas hendak menghubungi ambulance namun sang ayah mencegah.
"Ti-- tidak, Sayang. Ayah su-- dah menyiapkan semua untuk kese-- lamatanmu," suara Hayate seakan habis namun ia tetap berusaha mengeluarkan kata dari mulutnya. "Ada di lemari ayah, paling bawah di dalam kotak! Hah ... hah ...." ucapnya cepat dengan nafas tersengal. Ia sudah tidak mampu bertahan lagi. Ia mencoba tetap menggapai kesadaran namun mustahil. Tangannya merayap meraih tangan sang istri yang telah dingin dan menggenggamnya lemah. Naoko telah meninggal.
"Ayah! Kumohon ayah bertahan! Bertahanlah ayah!" jerit dan mohon Kyouko agar Hayate tetap meraih kesadaran sampai ambulance tiba. "Jangan tinggalkan aku! Jangan tinggalkan Kyouko ayah!" Kyouko terus menangis dan menggoyangkan tubuh sang ayah agar ia tak kehilangan kesadaran.
"Te-- teruslah ... hidup untuk ayah dan ibu. Kami menyayangimu."
Dan itu adalah kalimat terakhir sebelum Hayate menyusul sang istri.
"Ayah, ayah, bangun ayah. Jangan tinggalkan aku, ayah! Ayah ...." Tangis Kyouko kian pecah, sang ayah meninggal dalam dekapannya. Tubuhnya yang bergetar mencoba membangunkan ibunya walau ia sadar, ibunya bahkan sudah tak bergerak sejak ia menemukannya. "Ibu ... bangun, Bu ... jangan biarkan ayah pergi. Aku mohon, jangan tinggalkan aku sendiri. Aku mohon ...."
Kyouko menangis meraung, rasanya baru kemarin ia dan kedua orang tuanya tertawa bersama, dan sekarang mereka telah pergi untuk selamanya. Ia sendiri, tak ada siapa-siapa lagi. "Bawa aku bersama kalian, ayah … ibu … Kyouko tidak ingin sendiri, Bu. Bawa aku denganmu dan ayah, bangun, Bu … bangun …." Kyouko terus meminta oad kedua orang tuanya yang telah tewas untuk kembali walau ia tahu itu tentu tidak akan mungkin terjadi.
Tangisan pilu memenuhi kamar dimana Kyouko memeluk mayat kedua orang tuanya. Suara burung gagak kala senja mulai tiba pun menjadi saksi betapa Kyouko hancur sehancur-hancurnya saat ini. Senja yang menjadi mimpi buruknya dimana ia kehilangan dua orang yang paling berharga dan satu-satunya yang ia punya. Dunianya tak akan lagi sama sekarang, orang tuanya telah pergi untuk selamanya, meninggalkannya dengan situasi berbahaya di depan mata.
Pandangan Kyouko tiba-tiba menggelap, ia tak dapat berpikir dengan jelas sekarang. Ia berhalusinasi bahwa ini hanya mimpi dan ia harus bangun untuk mengakhiri mimpi buruk ini. Ia melepas dekapan pada kedua orang tuanya dengan hati-hati kemudian merangkak ke arah meja di samping tempat tidur. Mengambil gunting dari dalam laci nakas dekat tempat tidurnya, ia kembali menuju kedua orang tuanya.
"Jika ini mimpi, aku ingin segera bangun, Bu. Jika ini bukan mimpi, maka aku akan pergi bersama kalian. Kita akan kembali bersama dalam keabadian di alam sana."
Crush ….
Ujung gunting yang tajam menembus kulit perut Kyouko. Menghiraukan rasa sakit yang mulai menjalar, ia kian membenamkannya dalam kemudian kembali menariknya hingga darahnya mengucur deras.
"Argh ..." Kyouko mengerang kesakitan dan membuang gunting dari tangannya dengan asal. Ia bersimpuh di depan jasad kedua orang tuanya dengan senyum getir dan pilu tercetak di bibirnya. Perlahan kesadarannya mulai menghilang. Penglihatannya mulai kabur dan perlahan menghitam. Gelap, hanya itu yang ia rasakan sebelum benar-benar kehilangan kesadaran.