3 : Bertetangga

2945 Words
Berada di bawah tatapan mengintimidasi Rean benar-benar membuat Shadira tidak nyaman hingga rasanya dia ingin kabur dari hadapan laki-laki itu saat ini juga. Sejak melihat Shadira di dapur bersama Ben, Rean tidak melepaskan pandangannya sama sekali. Laki-laki itu menatap Shadira seolah-seolah Shadira adalah seonggok daging yang siap diterkam oleh Rean yang sudah seperti jelmaan harimau. Ingin rasanya bersembunyi di balik punggung Ben agar Shadira tidak perlu melihat wajah menyeramkan Rean itu. Namun, harga dirinya bisa tercoreng jika melakukan hal tersebut. Dan juga, Ben sepertinya tidak cukup berani untuk melawan Rean, entah apa alasannya. Ketiganya kini sudah berada di ruang keluarga rumah Ben. Shadira dan Ben duduk berdampingan di salah satu sofa panjang di sana, sementara Rean duduk di sofa yang lain di hadapan mereka, terus-menerus menatap Shadira dari tempatnya duduk. "Anak orang bisa mati, Yan, kalo lo liatin kayak gitu." Ben memberanikan diri untuk berkomentar setelah adu tatap antara Rean dan Shadira berlangsung kurang lebih sepuluh menit. "Diem lo," balas Rean tanpa beralih menatap Ben sama sekali. Melihat Ben yang langsung menuruti Rean layaknya anak buah menuruti atasan, Shadira jadi kesal sendiri. Siapa sih Rean ini sampai-sampai Ben saja segan? "Lo ngomong nggak bisa santai ya?" Celetuk Shadira pada akhirnya. Karena celetukannya itu, Ben langsung menyikutnya, namun Shadira tidak peduli. "Enggak," jawab Rean singkat. "Najis," gumam Shadira dengan ekspresi jijik. Rean semakin menajamkan tatapan yang ditujukan kepada Shadira. Tapi perempuan itu sudah tidak merasa terintimidasi lagi. "Ganti rugi hape gue, jangan cuma ngebacot." "Lo sendiri yang bacot," gerutu Shadira kesal. Melihat suasana yang semakin keruh akibat Rean dan Shadira yang mulai berdebat, mau tidak mau, Ben pun turun tangan sebelum keadaan semakin kacau. Ben tahu betul kalau Rean dan Shadira memiliki sifat yang mirip jika sedang dalam suasana hati kesal atau marah seperti ini. "Udah, sini hape lo, Yan. Biar gue aja yang benerin," kata Ben. "Gak," tukas Rean langsung. "Cewek ini yang mesti tanggung jawab, dia yang salah, bukan lo." Shadira pun berdecak, diulurkannya telapak tangan yang terbuka kepada Rean. "Sini hape lo, gue benerin hari ini juga biar urusan kita selesai." Rean balas mengulurkan telapak tangannya. "Hape lo dulu sini." Satu kernyitan tercetak jelas di dahi Shadira setelah mendengar perkataan Rean yang disampaikan dengan nada memerintah barusan. Perasaannya jadi tidak enak. Belum sempat Shadira menanyakan maksud dan tujuan Rean yang meminta ponselnya, laki-laki itu sudah terlebih dahulu berkata lagi. "Cepetan siniin hape lo kalo nggak mau masalah ini buntutnya tambah panjang." Mau tidak mau Shadira pun mengeluarkan ponsel dari dalam saku seragam sekolah yang masih dikenakannya dan memberikan benda berlapis case berwarna putih itu kepada Rean. Dengan cepat Rean menerima ponsel yang tipenya satu level di bawah ponselnya tersebut dan ganti mengeluarkan ponselnya yang berlayar retak dari dalam saku celana jeans hitamnya. Ben yang duduk di sebelah Shadira menggumam tidak jelas ketika melihat Rean mengeluarkan sim card yang ada di dalam kedua ponsel tersebut dan menukarnya. Sementara Shadira melotot melihat itu, bahkan mulutnya nyaris menganga. "Lo ngapain?!" Teriak Shadira histeris. Rean terlebih dahulu menyerahkan ponselnya yang telah terinjak kepada pelaku penginjaknya. "Selama hape gue dalam masa perbaikan, hape lo gue tahan sebagai tuntutan pertanggung jawaban." "Eh, nggak bisa gitu dong," protes Shadira. "Gue udah mau tanggung jawab benerin  hape lo ya, nggak ada tuh acara lo nahan hape gue." "Terus selama hape gue nggak ada, gue pake apaan?" "Itu urusan lo, nggak peduli gue." Rean hanya berdecih dan langsung bangkit dari duduknya. Ditatapnya Shadira dingin. "Semakin cepat hape gue bener, semakin cepat pula hape lo balik." Setelah mengatakan itu, tanpa dosa Rean melenggang pergi meninggalkan Ben serta Shadira di tempat. Laki-laki itu lupa sama sekali tujuan awalnya datang ke rumah Ben, oh bahkan Rean pun melupakan eksistensi sang pemilik rumah akibat aksinya barusan. Untuk beberapa saat, Shadira hanya bisa ternganga. Tidak menyangka sama sekali kalau seorang laki-laki bernama Rean yang hampir tidak dikenalnya itu dengan berlagak sok melakukan hal tersebut kepadanya. Sungguh, bahkan kata pun tidak mampu mendekskripsikan betapa kesalnya Shadira sekarang. "Dasar t*i!" Keluh Shadira akhirnya setelah Rean benar-benar menghilang dari pandangan. Di sebelahnya, Ben menghela nafas dalam. Tangan laki-laki itu kini berpindah untuk mengusap kepala Shadira. "Lo nyari masalah sama orang yang salah, Dira sayang." *** "Goblok." Satu kata itu keluar dari mulut Rean begitu dia menyalakan ponsel milik Shadira dan mendapati kalau ponsel tersebut tidak diberi pass code sama sekali. Rean sekarang sudah berada di rumahnya, berbaring di atas sofa yang ada di ruang keluarga dengan posisi terlentang dan kepala ia tumpukan di lengan sofa. Di hadapannya, televisi menyala, menampilkan sebuah siaran iklan sabun cuci piring yang tidak dilirik Rean sama sekali. Setelah menggeser-geser menu yang ada di ponsel Shadira tanpa tujuan yang jelas, Rean kembali mematikan ponsel tersebut, dan meletakkannya ke atas meja kaca yang berada di dekatnya. Jujur saja, sebenarnya Rean tidak membutuhkan ponsel itu sama sekali karena ia masih memiliki ponsel lamanya yang masih bisa berfungsi dengan baik. Ditahannya ponsel Shadira oleh Rean itu hanya semata-mata karena Rean ingin melampiaskan kekesalannya terhadap perempuan itu dan juga ingin sedikit menyusahkannya setelah berbagai macam kesialan yang diberikan oleh Shadira kepadanya dalam kurun waktu satu hari. Benar-benar Rean tidak habis pikir bagaimana kehadiran seseorang dalam waktu sehari dapat membuat harinya buruk seketika. Pertemuan dengan Shadira benar-benar tidak pernah Rean harapkan dan tidak pula ia inginkan. Tapi, di sisi lain Rean juga sedikit penasaran dengan Shadira dikarenakan hubungan perempuan itu dengan Ben. Selama ini Ben sama sekali tidak pernah bercerita tentang perempuan berambut ungu itu dan Rean juga tidak pernah melihat Shadira di sekolah sebelumnya. Jadi, sebenarnya Shadira ini siapa? "Hah bodo amat," gumam Rean sambil mengacak-acak rambutnya yang memang selalu tertata berantakan. "Itu muka apa baju yang belum disetrika, Bang? Kusut banget." Rean mendongakkan kepalanya dan mendapati bundanya sudah berada di hadapan sambil menggendong Rion, adik bungsunya yang baru berusia enam bulan. Melihat dua sosok itu, Rean langsung bangkit dari posisi terlentangnya dan segera duduk tegak. Satu senyuman pun terukir di bibirnya. "Hai, Ion," sapa Rean kepada Rion. Yang disapa pun langsung tertawa melihat kehadiran abangnya itu. "Bunda nggak disapa?" "Yailah, Bun, baper banget dah," ujar Rean kepada bundanya sambil terkekeh geli. "Kebiasaan, Bunda sendiri digoda," kata Aurora sambil menepuk dahi Rean pelan. Setelahnya, ia mendudukkan diri di sebelah Rean dan memangku anak bungsunya, Rion. "Eh, Bunda mau minta tolong dong." Rean menolehkan kepala ke arah bundanya dan menaikkan sebelah alisnya. Aurora yang melihat itu jadi gemas dan langsung mencubit sebelah pipi Rean. "Ihhh, mirip banget sih sama bapakmu kalo lagi kayak gitu," katanya gemas. "Aduh, sakit Bun!" Keluh Rean, ia langsung mengusap-usap pipinya yang habis dicubit itu, sedikit sebal dengan kebiasaan bundanya yang sering main cubit jika sedang gemas. "Maaf deh," Aurora terkekeh pelan. Dikecupnya sebentar puncak kepala Rion sebelum kembali menatap Rean sepenuhnya. "Bunda mau minta tolong." "Iya, tolong apa?" Aurora tersenyum lebar. "Tolong anterin kue yang ada di dapur ke tetangga sebelah dong." "Hah?" Rean menggaruk kepalanya. "Ada acara apaan nganter-nganter kue segala?" "Kita kan baru pindah, nggak apa-apa dong berbaik hati dikit sama tetangga? Rean mengerang pelan dan langsung menyandarkan punggungnya di sandaran sofa. "Males ah, Bun, suruh Rena aja. Dia kan doyan kalo disuruh ke rumah orang kayak gitu." Aurora pun mengerucutkan bibir karena respon anak sulungnya barusan. "Rena baru aja diculik sama Gio." "Yaudah, tunggu Rena pulang aja," kata Rean santai. Satu tepukan melayang di lengan Rean, membuat laki-laki berusia enam belas tahun itu mengaduh kesakitan. Pelaku dari tepukan itu tak lain dan tak bukan adalah bundanya sendiri. "Bun, kejam banget sih!" Keluh Rean yang tidak terima. "Makanya nurut kalo disuruh orang tua," jawab Aurora. "Dosa tau kalo ngelawan." "Yah, Bun, aku kan nggak kenal sama tetangga sebelah, males ah. Entar kalo aku diusir gimana?" Aurora berdecak pelan dan menggelengkan kepala. Dibandingkan dengan Rena, Rean memang sangat anti berinteraksi dengan orang-orang baru yang tidak dikenalnya. Dan sifat Rean yang seperti itu kurang disukai oleh Aurora. Makanya, Aurora sedang dalam misi untuk membuat Rean lebih terbuka agar bisa lebih mudah berkenalan dengan orang-orang baru. "Ya nggak akan diusir lah," jawab Aurora sembari memutar bola mata. "Orang tetangga sebelah itu temen Bunda." "Nah, yaudah Bunda aja kalo gitu yang nganter sendiri." Rean kini mendapat satu tepukan di pipinya. Bukan tepukan yang keras namun cukup untuk membuatnya meringis. "Kamu ini-" Buru-buru Rean berdiri sebelum bundanya sempat mengomel lagi. Suasana hati Rean saat ini terlalu tidak baik untuk menerima omelan. "Iya, gerak nih," kata Rean dengan nada malas. "Gitu dong," Aurora pun tersenyum puas. "Kotak kuenya ada di atas meja makan, anterin ke tetangga sebelah kanan ya, ke Tante Tania." "Hm," hanya itu jawaban Rean sebelum dirinya melenggang pergi menuju dapur. ***   Shadira masih kesal. Wajahnya tertekuk masam dan bibirnya mengerucut sebal. Jika sudah seperti ini, Ben jadi gemas dengan Shadira tapi di sisi lain turut prihatin juga dengan emosi gadis itu yang telah sukses diobrak-abrik oleh Rean, sohib Ben sendiri. "Sejak kapan lo temenan sama cowok b******k itu?" Tanya Shadira setelah cukup lama hanya diam dan memainkan air yang ada di kolam ikan di halaman depan rumahnya. Keduanya kini sudah berpindah lapak, dari rumah Ben ke rumah Shadira. Ben tidak menjawab langsung. Ia terlebih dahulu menyodorkan sesendok penuh nasi beserta lauk ke hadapan Shadira yang masih sebal. Mendapati itu, Shadira mendengus. "Is, dibilangin gue nggak laper, nggak mau makan." "Udah jam berapa ini, Dir. Makan dulu lah, entar sakit kalo telat makan," ujar Ben dengan nada memelas. Ben memang paling tidak senang jika Shadira telat makan dan ia mengajak Shadira pulang ke rumahnya agar Shadira dapat berganti pakaian dan juga mendapat asupan nutrisi yang layak yang sudah disiapkan oleh mamanya Shadira sendiri. Shadira hanya dapat berdecak, kemudian membuka mulutnya lebar untuk menerima suapan dari Ben. Dirinya memang tidak tahan jika sudah mendengar nada memelas Ben yang terdengar menggelikan di telinganya. Lagipula, dia harus cukup berterima kasih dengan kehadiran Ben di rumahnya saat ini. Selain Ben menemani Shadira setelah apa yang terjadi antara dirinya dan Rean, kehadiran Ben di rumahnya ini dapat menjadi tameng yang menahan omelan mamanya untuk keluar. Karena mamanya terlalu sayang dengan Ben sehingga tidak pernah mengeluarkan omelannya di hadapan laki-laki itu. "Gue udah kenal Rean dari lama, udah dari SD. Tapi kita baru solid waktu SMP sampai sekarang." Shadira berdecih mendengar penuturan dari Ben tersebut. Ia menggelengkan kepala, tidak menyangka kalau Ben sudah mengenal sosok Rean selama itu, namun sama sekali tidak pernah menceritakannya kepada Shadira. "Kenapa lo nggak pernah cerita tentang dia ke gue?" Ben kembali menyuapkan sesendok nasi kepada Shadira yang dengan terpaksa diterima perempuan itu. "Buat apa?" Tanya Ben singkat. "Setidaknya sebagai peringatan kalo dia itu orang yang patut dihindari," cerocos Shadira dengan cepat. "Heran gue, kenapa lo bisa temenan sama orang kayak gitu? Jelas-jelas dia tuh nyebelin banget, belagu, sama lo aja tadi sok gitu, nggak ada baik-baiknya. Gue sih ogah temenan sama orang kayak dia." Shadira mengatakannya dengan nada menggebu-gebu, membuat Ben tidak dapat menahan tawanya. Rean benar-benar meninggalkan kesan pertama yang buruk terhadap Shadira, dan Ben juga yakin kalau Shadira juga meninggalkan kesan pertama yang sama buruknya terhadap Rean. "Lo nggak tau dia gimana, Dir. And he doesn't know you either." "Dih, siapa juga yang pengen tau dia," gerutu Shadira. "Baru ketemu sehari aja, dia udah menguras tabungan gue, dan ngerampas hape gue." "Lah, tadi nanyain." Ben terkekeh. "Nih, makan lagi." "Gue makan sendiri aja," kata Shadira sambil merebut piring yang ada di tangan Ben dan mulai makan dengan perlahan tanpa suara. Ben hanya diam memerhatikan saat Shadira makan. Dan ia jadi terpikir dengan peraturan tidak tertulis yang dibuatnya untuk diri sendiri, peraturan yang menjadi alasan mengapa Rean dan Shadira tidak saling mengetahui eksistensi masing-masing sebelum insiden ini, padahal sama-sama teman dekat Ben. Ben memang punya banyak teman, dari berbagai kalangan yang memiliki beragam karakter. Hal ini menyebabkan Ben memiliki beragam social circle pula. Dalam masalah ini, Rean dan Shadira berasal dari dua social circle Ben yang berbeda, dan sejak awal Ben memang tidak ingin mencampur social circle-nya untuk menghindari perbedaan-perbedaan yang ujungnya akan mengakibatkan masalah. Terlebih lagi Shadira dan Rean, Ben sama sekali tidak punya niat untuk mengenalkan keduanya. Karena kedua orang itu merupakan dua orang terdekatnya dan Ben benar-benar menghindari konflik dengan mereka berdua. Namun, Rean dan Shadira dijebak oleh takdir untuk terlibat dalam sebuah konflik yang membuat mereka secara tidak sengaja berkenalan. Dan itu benar-benar di luar rencana Ben. "Lo bawain gue makan, ada minumnya nggak sih?" Pertanyaan tiba-tiba dari Shadira itu memecah lamunan Ben. Laki-laki itu segera mendongak menatap perempuan berambut ungu di sebelahnya. "Tuh," tunjuk Ben pada air kolam. "Siap diminum." "Haha lucu," balas Shadira dengan nada datar. Kemudian ia bangkit berdiri dan kembali menyerahkan piringnya kepada Ben. "Gue ambil minum dulu." Ben langsung mengambil ponselnya dari dalam saku celana begitu Shadira menghilang dari pandangan. Dan tentunya, ponsel Ben itu sudah dipenuhi berbagai macam notifikasi yang kebanyakan berasal dari modusan-modusannya. Dengan satu tangan memegangi piring dan satu tangan lagi memegang ponsel, Ben mulai membalasi satu per satu pesan dari cewek-cewek pengagumnya yang masuk ke dalam ponselnya. Baru dua pesan terbalas, kegiatan Ben itu diinterupsi oleh suara pagar yang digeser. "Assalammualaikum, permisi." Ben langsung mendongakkan kepala, menujukan pandangannya ke arah pintu pagar yang berjarak beberapa meter dari tepi kolam ikan tempatnya berada sekarang. "Waalaikumsalam," Ben menjawab salam tersebut dengan nada menggantung begitu mendapati kalau yang mengucap salam barusan adalah Rean. Iya, Rean yang baru saja bersiteru dengan Shadira kurang dari satu jam yang lalu. Dan laki-laki itu muncul di rumah Shadira sekarang. Hah? "Lah, kenapa lo di sini?" Tanya Rean spontan begitu melihat Ben. Laki-laki bertubuh tinggi itu pun berjalan mendekat. "Lah, lo sendiri ngapain?" Ben balas bertanya. "Mau baikan?" "Hah?" Rean mengernyit bingung. "Gue disuruh nyokap nganterin ini ke Tante Tania," kata Rean sembari menunjukkan sebuah plastik putih berisi kotak kue di tangan kanannya. "Ini rumahnya Tante Tania, kan?" "Iya, ini rumahnya Tante Tania," jawab Ben. Dalam hati ia menambahkan, nyokapnya cewek yang bermasalah sama lo. "Jadi, lo ngapain di sini?" Tanya Rean lagi, penasaran dengan kehadiran Ben di rumah tetangganya. Untuk sesaat Rean lupa kalau sebelumnya ia mencari masalah di rumah Ben. Ben sendiri hanya bisa menarik nafas pelan. Saat mengobrol dengan Shadira tadi, ia benar-benar lupa kalau sekarang Rean merupakan tetangga baru Shadira. Baik Shadira maupun Rean belum mengetahui fakta kalau mereka bertetangga. Entah apa jadinya jika mereka tahu nanti. Bisa-bisa mereka semakin gencar untuk ribut. "Main doang," jawab Ben seadanya. "Sini kuenya, biar gue aja yang kasih ke Tante Tania, entar gue bilangin dari nyokap lo," ujar Ben menawarkan diri dengan maksud untuk menghindari pertemuan antara Rean dan Shadira. Secara mengejutkan, Rean yang sudah berada di hadapan Ben menggeleng cepat. Laki-laki itu malah melirik pintu masuk rumah berwarna cokelat s**u yang terbuka lebar itu. "Gue disuruh ngasih langsung ke Tante Tania. Harus gue yang ngasih kalo nggak mau diomelin." "Oh." Ben mengangguk, paham kalau usahanya untuk mencegah pertemuan mereka nampaknya sia-sia. "Yaudah, panggil aja. Ada kok orangnya di dalem." Bahkan anaknya juga ada. "Gue langsung ketuk pintu aja nih atau gimana?" Tanya Rean sebelum melangkah mendekati pintu. "Pencet aja tuh ada belnya," jawab Ben sembari menunjuk bel di samping pintu dengan dagunya. Rean pun mengangguk paham dan segera mendekati pintu, lalu memencet bel yang dimaksud oleh Ben tadi. Sepertinya Rean benar-benar tidak sadar kalau ini adalah rumah Shadira. Padahal, Rean memiliki penalaran yang kuat. Terlebih lagi jika menghubungkan pertemuannya dengan Ben di sini dengan kejadian sebelumnya, seharusnya Rean sudah menemukan jawaban. Namun, laki-laki itu tidak peka dan juga tidak bertanya lebih lanjut. "Tantenya nggak galak, kan?" Tanya Rean setelah memencet bel dua kali. "Enggak, tapi dia doyan brondong. Tiati." "Sumpah demi apa lo?" Ben langsung tergelak melihat kekagetan di wajah Rean. "Lo lupa kalo gue penuh dengan tipu muslihat?" "Tai." Tepat setelah Rean mengatakan itu kepada Ben, terdengar suara langkah kaki yang mendekat dari dalam rumah. Rean segera membalikkan badan, mengambil ancang-ancang untuk menyapa sang tuan rumah. Dan tak lama kemudian, muncul seorang wanita cantik yang berjalan cepat ke arahnya sambil tersenyum. "Permisi, Tante," ujar Rean sopan begitu wanita itu berdiri di hadapannya. "Rean anaknya Aurora, ya?" Tanya wanita itu dengan penuh antusias. "Iya, Tante." Rean mengangguk. Diserahkannya plastik titipan dari bundanya kepada wanita yang ia yakini sebagai Tante Tania. "Mau ngasih ini, dari Bunda." Tania tersenyum lebar, ditariknya tangan Rean untuk masuk ke dalam rumah. "Ayo, masuk dulu, nggak enak di luar." "Eh, nggak usah, Tan," tolak Rean secara halus. "Aku langsung pulang aja." "Ih, jangan!" Seru Tania. Ia beralih menatap Ben yang masih duduk di tepi kolam ikan. "Kamu juga masuk, Ben. Kenalan dulu sama Rean sini." "Yah, Tan, sama dia sih udah kenal sejak jaman Belanda," jawab Ben sambil cengengesan. Mendengar itu, senyum Tania semakin lebar. "Ohhh, jadi kalian udah temenan lama?" Tanyanya senang. "Berarti kamu juga udah kenal sama Shadira?" Jika ini adalah sebuah film atau sinetron, seharusnya ada efek suara petir yang menggelegar sebagai latar belakang suara ketika nama terlarang itu disebutkan oleh Tania barusan. "Shadira?" Rean mengulangi nama itu. Diliriknya Ben yang masih duduk, namun temannya itu sudah terlebih dahulu mengalihkan pandangan. "Iya, Shadira anak Tante! Kamu harus kenalan sama dia," kata Tania. "Nah itu dia orangnya!" Rean langsung merubah arah pandangnya kembali ke dalam rumah. Dan benar saja, ada perempuan berambut ungu yang sedang berjalan sambil minum dari sebuah mug berwarna hijau. Melihat kehadiran Rean di ambang pintu bersama mamanya, perempuan berambut ungu itu mengerem langkahnya. Di tempatnya berdiri, berjarak beberapa meter dari Rean, Shadira membelalakkan mata. Ia jauhkan mug air minumnya dari wajah agar bisa melihat sosok Rean lebih jelas lagi. Dan begitu sudah pasti dengan apa yang dilihatnya, Shadira tidak bisa menahan diri untuk tidak mencetuskan sebuah pertanyaan sinis. "Ngapain lo di rumah gue?" Rean langsung mengumpat dalam hati. Sepertinya, rentetan kejadian yang berhubungan dengan Shadira datang tanpa henti hari ini. Setelah bertabrakan, dinobatkan menjadi teman semeja, sekarang ia juga mendapati fakta kalau mereka bertetangga. Oke, tetangga. Setelah ini apa lagi?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD