2 : Takdir yang Bersinggungan

2782 Words
s**l. Satu kata itu cocok sekali untuk menggambarkan keadaan Rean saat ini. Iya, Rean sedang ketiban s**l akibat pertemuannya dengan perempuan aneh berambut ungu di koridor sekolah tadi. Bagaimana tidak s**l coba, sudah layar ponselnya pecah akibat perempuan itu, Rean pun sekarang harus berhadapan dengan Bu Naya di ruang guru dan diomeli karena telah berkata kasar, serta dituduh membolos kelas. Padahal, Rean telah menjelaskan alasan tentang tabrakannya dengan perempuan aneh tersebut dan juga tentang ekskul futsal, namun Bu Naya terlalu tidak menyukai Rean untuk mendengarkan hal itu. Selain Rean, Shadira juga merasa sangat s**l saat ini. s**l karena telah tertangkap oleh Bu Naya dan lebih s**l lagi karena telah merusak ponsel milik laki-laki yang duduk di sebelahnya sekarang. Sungguh, yang lebih dikhawatirkan Shadira saat ini bukanlah Bu Naya, namun tabungannya yang akan terkuras untuk mengganti rugi perbaikan ponsel milik laki-laki yang bahkan belum ia kenal sebelumnya. Dalam hati Shadira merutuki diri, kalau saja dirinya tadi mengikuti saran Ben, mungkin akhirnya tidak akan begini. Tapi, nasi sudah menjadi bubur, tidak bisa menjadi nasi lagi. Yang dapat dilakukan sekarang hanyalah pasrah. "Ternyata kalian berdua ini siswa dari kelas perwalian Ibu," ujar Bu Naya sambil berdecak kepada Rean dan Shadira, setelah sebelumnya membaca daftar kertas nama yang dipegangnya. "Malu-maluin aja!" Dalam hati Rean menggerutu mendapati perkataan Bu Naya itu. Sebal karena omelan wanita yang sudah menginjak kepala empat tersebut dan juga tidak begitu menyukai fakta kalau dirinya ada di dalam kelas yang sama dengan perempuan menyebalkan di sampingnya saat ini. "Apa lagi kamu Rean, selalu dibangga-banggain guru, taunya ngebolos kelas dan suka ngomong kasar." Rean menarik nafas dalam. "Maaf, Bu, kan sudah saya bilang, saya nggak ngebolos, saya lagi sibuk ngurusin promosi ekskul," jelas Rean yang ke sekian kalinya sembari menunjukkan tumpukan kertas di tangannya yang ujung-ujungnya sudah mulai kusut karena digenggam Rean terlalu kuat. Bu Naya mendelik ke arah Rean. Dan sungguh, tatapan itu sarat akan ketidaksukaan yang sudah sangat biasa Rean dapati dari seorang Bu Naya. "Tapi, kamu nggak izin sama sekali. Jadi?" Satu kertas formulir di tangan Rean remuk diremasnya. Ia sedang berusaha keras untuk menahan kekesalan agar tidak meledak di hadapan Bu Naya. "Iya, Bu, saya salah," jawab Rean kemudian, memilih mengalah karena tahu dirinya tidak akan benar bagaimanapun caranya. Bu Naya mengangguk puas. "Bagus kalau sadar diri." Shadira meringis dalam hati. Sepertinya, Bu Naya tidak menyukai laki-laki bernama Rean ini, sama seperti Bu Naya tidak menyukai Shadira sendiri. Ya, tidak heran juga sih, Shadira sudah paham dengan Bu Naya yang memang sangat mudah untuk tidak menyukai seseorang tanpa alasan yang jelas. Shadira adalah salah satu korbannya. Dan Rean juga. "Untuk kamu Shadira," Bu Naya beralih melirik ke arah Shadira dengan tajam hingga perempuan itu sedikit berjengit. "Urusan kamu sama Ibu pulang sekolah nanti." Kalo gini sih dia lebih nggak suka sama gue kayaknya. Gerutu Shadira dalam hati. "Denger nggak, Shadira?" "Ya, denger Bu," jawab Shadira terpaksa. Bu Naya bangkit dari duduknya, ia meraih tas yang terletak di atas meja kerjanya lalu memberikan tas berwarna merah marun itu kepada Rean yang masih duduk. "Bawain tas Ibu," kata Bu Naya. "Kita ke kelas sekarang." Rean mendengus pelan dan menerima tas tersebut dengan satu tangannya yang tidak memegang tumpukan kertas. Laki-laki itu pun berdiri, diikuti oleh Shadira. Bu Naya berjalan terlebih dulu keluar ruang guru yang keadaannya sepi karena guru-guru memang sudah banyak yang menuju kelas masing-masing. Meskipun proses belajar-mengajar belum intensif, tapi guru-guru di sekolah ini tetap rajin untuk masuk ke kelas perwaliannya karena memang ada beberapa hal yang perlu dibahas. Rean berjalan lambat di belakang Bu Naya. Dalam hati dirinya kesal sekali karena harus menenteng tas menyebalkan yang seharusnya bisa dipegang oleh Shadira. Shadira sendiri berjalan di samping Bu Naya, bahkan Bu Naya dengan erat memegang pergelangan tangan Shadira, takut kalau perempuan itu akan kabur atau apa, Rean juga kurang mengerti. Samar-samar Rean mendengar Bu Naya mengomeli Shadira di sepanjang perjalanan singkat mereka menuju ruang kelas XI IPA 1. Telinga Rean menangkap Bu Naya menyebut-nyebut masalah rambut Shadira yang tidak wajar serta kelakuan Shadira yang kurang ajar. Hah, Rean diam-diam ikut memaki Shadira. Perempuan itu harus bertanggung jawab atas kerusakan ponselnya! Walaupun Rean mampu untuk membetulkan ponselnya sendiri, tetap saja ia ingin meminta Shadira untuk bertanggung jawab atas kerusakan ponselnya itu. Kalo Bu Naya nggak ada di sini, udah abis tuh cewek. Ruang kelas XI IPA 1 sudah tinggal beberapa langkah lagi. Bu Naya masih mengomeli Shadira dan Rean berjalan di belakang mereka seperti anak ayam yang mengikuti induk. Sebelum mereka masuk ke dalam kelas yang pintunya terbuka itu, Bu Naya terlebih dahulu berbalik ke arah Rean. "Saya mau kalian berdua duduk semeja," ujar Bu Naya kemudian, tanpa ada aba-aba sebelumnya. Rean dan Shadira jelas terkejut. Mata keduanya membelalak menatap Bu Naya lalu beralih untuk menatap mata satu sama lain. Hanya sebentar, karena setelahnya mereka langsung mengalihkan pandangan. "Nggak ada yang protes," ujar Bu Naya cepat sebelum keduanya dapat memberikan komplain. Setelah mengatakan itu, dengan santainya Bu Naya melenggang masuk ke dalam kelas. Beliau sudah tidak memegangi tangan Shadira lagi, membiarkan perempuan itu terpaku sebentar di depan pintu bersama Rean. "Anjir," gumam Rean kesal. Lalu, laki-laki itu mengambil langkah cepat masuk ke dalam kelas. Shadira menyipitkan matanya mendengar gumaman kasar Rean itu. Ia paham kalau suasana hati Rean sedang tidak baik, namun jengah juga mendengar laki-laki itu terus mengumpat dengan kasar terus-menerus. Tidak enak didengar. Dengan langkah yang berat, Shadira pun melangkah mengikuti Rean dan Bu Naya masuk ke dalam kelas. Bu Naya sudah duduk di mejanya, sementara Rean sudah berjalan menuju satu-satunya tempat kosong yang terletak di sudut barisan paling belakang. Shadira menghembuskan nafas lewat mulutnya hingga helaian rambutnya yang sedikit menutupi wajah tertiup. Lalu, ia menarik kedua tali ranselnya sembari berjalan pelan menuju tempat di mana Rean telah duduk. Di setiap langkahnya, Shadira dapat merasakan semua mata memandang ke arahnya. Namun, dirinya sama sekali tidak peduli dijadikan pusat perhatian seperti itu. Saat Shadira sudah mendudukkan dirinya di sebelah Rean, laki-laki itu mendelik ke arahnya. "Urusan kita belum selesai," bisik Rean dingin, sukses menghantarkan sejumput rasa mencekam kepada Shadira. "Gue tau," balas Shadira kemudian. Setelahnya, tidak ada yang berbicara lagi karena Bu Naya sudah memulai pidatonya dan baik Rean maupun Shadira langsung sibuk dengan pikiran masing-masing. Rean baru teringat dengan tasnya yang ia titipkan di Yovan serta tumpukan kertas formulir yang pastinya sedang ditunggu. Mampuslah Rean, pasti dia nanti akan dimarahi Yovan. s**l, jika saja tidak bertabrakan dengan Shadira, ini semua tidak akan terjadi. Rean tidak akan dimarahi oleh Bu Naya dan dirinya juga tidak harus duduk semeja dengan perempuan itu selama setahun. Shadira sendiri menyesal karena telah menabrak Rean. Jika saja mereka tadi tidak bertabrakan, semua ini tidak akan terjadi. Ponsel Rean tidak akan terinjak olehnya dan mereka juga tidak harus terjebak menjadi teman semeja. Tapi, jika insiden tersebut tidak terjadi. Keduanya juga tetap akan bertemu dalam satu meja. Baik Rean dan Shadira sama-sama jadi yang terakhir tiba di kelas. Mereka tidak akan punya pilihan karena yang lain sudah menemukan partner semeja masing-masing dan tempat yang tersisa pun hanya meja yang ada di sudut belakang kelas. Artinya, ada ataupun tidaknya insiden tersebut, takdir keduanya memang sudah ditetapkan untuk saling bersinggungan. *** Ben dan Gio sedang menikmati nasi uduk mereka di kantin sambilan Gio curhat dan meminta saran dari Ben bagaimana caranya meluluhkan hati Rena, ketika Rean tiba-tiba datang dan menggebrak meja dengan satu tangan, menyebabkan kedua temannya itu terlonjak kaget. Ben bahkan sampai tersedak dan buru-buru menyambar botol air mineral di sebelah piringnya. "Astaghfirullah," ujar Gio sambil mengusap-usap d**a sebagai reaksi kekagetannya. Wajah Ben memerah akibat tersedak dan laki-laki berwajah kebulean itu langsung melotot ke arah Rean setelah acara minumnya selesai. "Setan lo!" Seru Ben kemudian. Yang menjadi pelaku dari keributan sesaat itu tidak menggubris sama sekali, hanya menampilkan wajah tanpa ekspresi sambil memutar bola mata. Ben dan Gio yang melihatnya pun langsung paham kalau salah satu anggota trio mereka itu sedang kesal stadium empat. Gio langsung menatap Ben dengan kedua tangan terangkat. Menyerah untuk menghadapi seorang Rean yang sedang dalam suasana hati macan yang baru saja dibangunkan dari tidur nyenyak. Jika sedang dalam suasana hati seperti ini, lebih baik tidak mengganggu Rean jika tidak ingin kena semprot atau lebih parah kena bogem. Ben meringis sebentar. Ia sisihkan piring nasi uduknya yang sebenarnya memang sudah habis bertepatan dengan kedatangan Rean tadi. Walau sedikit kesal karena telah dibuat tersedak, Rean tetap perlu bantuan agar emosinya stabil dan Ben akan membantu menstabilkan emosi sohibnya itu. Selain pintar menaklukkan hati perempuan, Ben juga ahli dalam masalah mendinginkan pikiran orang lain. "Kenapa lo?" Tanya Ben langsung, tanpa basa-basi karena Rean tidak akan suka diajak berbasa-basi dalam keadaan seperti ini. Untuk sejenak Rean tidak menjawab dan hanya menghembuskan nafas kasar. Tapi kemudian, laki-laki itu mengeluarkan ponsel dari saku seragamnya dan meletakkan benda itu ke atas meja panjang kantin tempat mereka berada saat ini. Ben dan Gio lantas langsung membelalakkan mata melihatnya. "Buset, hape lo pecah?" Ujar Gio spontan. "Lo bisa liat kenapa masih nanya, jing," balas Rean sewot. Benar kan, Gio langsung kena semprot. "Ya dah, diem aja gue mah," gumam Gio. Rean memang hobi menjadikan Gio sasaran kekesalannya karena katanya, wajah Gio itu mengundang rasa sebal. Daripada berkata-kata lagi, lebih baik Gio lanjut makan. "Waw, itu jatoh atau-" "Gue nggak akan seceroboh itu buat ngejatohin hape," Rean memotong ucapan Ben. "Hape gue diinjek sama cewek sialan." "Kok bisa?" "Karena cewek itu bodoh," jawab Rean dengan nada kesal. "Dia udah nabrak gue, nginjek hape gue, bikin gue dimarahin Bu Naya, gara-gara dia juga gue dimarahin Kak Yovan, dan sialnya, Bu Naya nyuruh gue duduk semeja sama itu cewek." "Cakep nggak tuh ceweknya?" Celetuk Gio tanpa sadar karena memang laki-laki itu hobi nyeletuk. "Ngapain lo nanya-nanya? Niat ngeduain Rena?" Sambar Rean cepat. "Ya Allah, gue nanya doang, buset dah. Sensitif banget sih, Yan, sedih gue." "Makanya lo diem aja, bro," ujar Ben sambil menepuk bahu Gio dengan penuh simpati. Setelah itu, ia beralih menatap Rean lagi. "Lo nggak minta ganti rugi ke cewek itu? Dia wajib lah ganti rugi, abisnya dia yang salah, dan hape lo rusaknya lumayan parah tau." Rean berdecak. Diketuknya ponsel yang layarnya pecah itu dengan jari telunjuk. "Masalahnya, cewek itu kabur. Tadi bilangnya mau ke toilet, tapi sampe sekarang nggak balik-balik, bikin gue tambah gondok tau." Ben manggut-manggut mendengar penjelasan Rean tersebut. "Kenapa lo nggak cari aja? Palingan dia masih di sekitaran sekolah." "Entar dia ngerasa sok penting kalo gue cariin." "Yeu, masalah ginian juga lo masih mikirin gengsi, Yan?" "Lo kan udah disuruh diem, kenapa ngomong lagi?" Balas Rean sinis pada Gio. Salah lagi. "Udah sini gue bantuin cari," Ben menawarkan diri. "Sebutin aja ciri-cirinya gimana, mungkin gue kenal, kan kali aja salah satu modusan gue." "Najis," sahut Rean. "Mau lo sama cewek yang model begitu? Gue sih amit-amit." Ben tertawa geli melihat ekspresi jijik Rean itu. Seumur-umur mereka berteman, baru kali ini Rean menampilkan ekspresi seperti itu saat sedang membicarakan seorang cewek. "Nggak apa-apa nggak cakep asal bodinya semok." "Amit-amit, Ben. Emang dasar ye otak lo tuh isinya cuma sebatas cewek bodi semok!" Kata Gio. "Dih, cewek itu mah semok juga enggak. B aja," timpal Rean dengan nada datar. Dalam hati sebenarnya ia meringis mendengar celetukan Ben barusan dan jadi ingat insiden semalam. Jangan sampai teman-temannya tahu tentang insiden tersebut, bisa rusak image Rean jika sampai ketahuan. "Iye dah, jadi bentukan cewek itu gimana? Namanya siapa? Baik nih gue mau bantuin," kata Ben sembari meraih botol air mineralnya. "Mudah nyari tuh cewek," jawab Rean. "Karena cuma dia satu-satunya cewek aneh yang rambutnya ungu di sekolah ini." Ben yang secara bersamaan sedang menenggak air mineralnya saat Rean mengatakan itu langsung tersedak dan menyemburkan air itu keluar, tepat membasahi seragam sekolah Gio. "Maksud lo Shadira?" *** Total ada 17 panggilan tidak terjawab di ponsel Shadira ketika ia mengeceknya sepulang sekolah dan semua panggilan tidak terjawab itu berasal dari Ben. Kening Shadira kontan berkerut melihat banyaknya panggilan yang ditujukan kepadanya tersebut. Dirinya yang sudah terlentang di atas tempat tidur dengan seragam sekolah yang masih melekat di tubuh pun memaksakan diri untuk bangkit dari posisi nyaman itu. Shadira berdecak pelan. Ia jadi cemas dan kepikiran dengan berbelas-belas panggilan tak terjawab dari Ben. Ia berjalan ke arah jendela kamarnya dan melirik ke bawah untuk melihat rumah Ben, memastikan apakah mobil laki-laki itu terparkir di sana atau tidak. Dan ternyata memang mobil Ben ada, menandakan kalau laki-laki itu juga sudah pulang. Tanpa perlu repot-repot mengganti seragamnya terlebih dahulu, Shadira pun keluar dari kamarnya, siap untuk menghampiri Ben langsung di rumahnya. "Mau ke mana?" Baru saja Shadira menuruni tangga, ia berpapasan dengan mamanya yang kebetulan juga baru pulang. "Ke rumah Ben, Ma," jawab Shadira. Ia menatap mamanya itu dengan tatapan aneh, heran karena mamanya tidak biasanya pulang jam segini. "Mama kok udah pulang?" Tania bersidekap menatap putri sulungnya itu, membuat Shadira langsung mendapati perasaan tidak enak. Dirinya dapat merasakan sebuah masalah akan datang. Haduh, apa lagi? "Mama barusan dapet laporan dari Bu Naya, katanya-" "Shadira pergi dulu Ma, udah ditunggu Ben!" Potong Shadira cepat dan segera lari dari hadapan mamanya dengan kecepetan penuh, bahkan sebelum mamanya itu sadar apa yang terjadi. "Shadira! Awas ya kalo kamu pulang nanti!" Shadira hanya bisa meringis mendapati teriakan mamanya itu. "Kayaknya hari ini orang-orang pada doyan neriakin gue," gerutu Shadira setelah dirinya keluar melalui pintu depan rumahnya. Ia segera memakai sandal jepit bermotif buah nanas yang terdapat di rak sepatu di teras rumahnya dan berlari kecil menuju pagar. Pemandangan rumah minimalis keluarga Ben langsung terlihat oleh Shadira begitu ia keluar dari pagar. Untuk mencapai rumah Ben, Shadira hanya perlu menyeberang jalan dan langsung sampai. Shadira jadi tidak sabar untuk bertemu Ben dan menceritakan semua yang terjadi padanya hari ini. Mulai dari kejaran Bu Naya, menginjak ponsel orang, ditambah omelan non-stop dari Bu Naya sepulang sekolah, dan juga kesialan Shadira yang lainnya. Ben pasti akan menertawakan Shadira jika mengetahui semua cerita itu. Tapi, tidak menutup kemungkinan kalau Ben juga dapat membantu, setidaknya dalam hal patungan untuk memperbaiki ponsel milik laki-laki bernama Rean itu. Ngomong-ngomong tentang Rean, saat di sekolah tadi Rean belum sempat melanjutkan protesnya terhadap Shadira karena Shadira keburu dicegat Bu Naya untuk mendapatkan jam ceramah khusus. Pasti sekarang laki-laki itu menganggap Shadira kabur dan lari dari tanggung jawab. Padahal kan nggak begitu. "Siang Mbak Dira," sapa Pak Mahdi, satpam rumah Ben begitu Shadira baru memasuki halaman rumah Ben yang kebetulan pagarnya terbuka. "Siang Pak," balas Shadira ramah. Dirinya memang sudah mengenal Pak Mahdi sejak pria itu bekerja di sana bertahun-tahun yang lalu. "Nyariin Mas Bence, ya?" Tanya Pak Mahdi sambil tersenyum menampakkan deretan giginya. Shadira mengangguk. "Dia udah pulang kan, Pak?" "Udah, Mbak, samperin aja." "Oke deh, Dira masuk dulu, Pak," kata Shadira. Ia segera berjalan menuju pintu depan rumah yang juga terbuka lebar. Karena susag terbiasa datang ke rumah Ben, Shadira tidak perlu lagi mengetuk pintu karena memang sudah diberikan akses oleh keluarga Ben untuk masuk saja jika sedang berkunjung. Meski pintu rumah Ben terbuka lebar, namun keadaan di dalamnya terlihat sepi. Sepertinya orang tua serta kakak-kakaknya Ben belum pulang kecuali Ben sendiri. Shadira pun tidak ambil pusing tentang itu dan hendak melangkahkan kakinya ke arah tangga yang akan membawanya ke lantai dua di mana kamar Ben terletak. Namun, belum sempat Shadira menginjakkan kakinya di anak tangga pertama, suara benda terjatuh yang berasal dari sisi kanan tangga menghentikan langkahnya. "Sialan." Samar-samar Shadira mendengar suara u*****n seorang laki-laki. "Itu anak ngapain coba," gumam Shadira sambil menggelengkan kepala sebelum dirinya melangkah menuju dapur. Dan Shadira hanya bisa menggelengkan kepala mendapati Ben sedang mengelap meja konter dapur yang ditumpahi cairan hitam kecokelatan bernama kopi. Shadira pun segera menghampiri laki-laki itu. "Lo tuh ya, udah tau nggak biasa di dapur, masih aja nekat," omel Shadira. Ben sedikit terkejut karena kehadiran Shadira yang tiba-tiba itu. "Eh, lo ngapain di sini?" Tanyanya cepat. "Lo neleponin gue berkali-kali, makanya gue-" "Udah, lo pulang aja sekarang Dir," usir Ben pada Shadira dan langsung mendorong tubuh perempuan itu untuk keluar dari dapur. Shadira tentu tidak terima dan menahan dorongan Ben itu. "Ih, apaan sih. Kenapa lo malah ngusir gue?" "Entar malem aja ke rumah gue, sekarang lagi nggak aman. Udah buruan balik aja sana." Shadira menatap Ben dengan kedua mata menyipit dan penuh selidik. "Lo bawa cewek ke rumah lo ya?!" Ujar Shadira nyaris histeris. "Gila lo Bence! Kalo mau aneh-aneh tuh di luar aja, jangan dibawa-bawa ke-" Ben segera menutup mulut Shadira dengan telapak tangannya sebelum perempuan itu dapat melanjutkan racauannya. "Gue serius, mending lo pulang sekarang daripada lo ngebuat macan ngamuk lagi." "Hah?" Sahut Shadira dengan suara keras setelah Ben membuka bekapannya. "Maksud?" Ben menepuk dahinya begitu mendengar pintu kamar mandi yang terletak di dapur terbuka. "Telat," gumam laki-laki itu. Shadira segera berbalik ke arah pintu kamar mandi dan matanya kontan membelalak mengetahui bahwa Rean lah yang baru saja keluar dari dalam kamar mandi itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD