4 : Konfrensi Meja Petak

2470 Words
Keesokan harinya, Shadira melangkahkan kaki ke sekolah dengan tampang kusut dan suasana hati yang juga sama kusutnya. Alasan dari kekusutan Shadira di pagi-pagi buta itu berbuntut dari rentetan kejadian kemarin yang sukses membuatnya pusing tujuh keliling. Kemarin, setelah Rean pulang dari rumahnya dan diketahui kalau Rean itu tetangga barunya, Shadira diomeli oleh mamanya karena dianggap telah berlaku tidak sopan kepada Rean. Nyebelin nggak sih? I mean, mamanya baru sekali bertemu dengan laki-laki itu and it's like she immediately fell in love with him just because he's her friend's son. Itu alasan pertama. Alasan kedua, Shadira bete karena papanya mengantar ke sekolah pagi-pagi sekali. Bahkan saat ia sampai tadi pun, satpam sekolahnya baru saja membuka gerbang. Bisa bayangkan, Shadira sekarang berjalan menyusuri koridor-koridor yang masih sepi menuju kelasnya. Alasan yang ketiga, papanya yang biasanya tidak pernah ngomel, saat di perjalanan tadi ikut mengomelinya akibat rambut ungunya yang masih terekspos dengan jelas. Kata papanya, beliau tidak akan mau bertanggung jawab jika nantinya wali Shadira diharuskan datang ke sekolah karena rambut yang menyalahi aturan itu. Tapi, menjadi Shadira yang keras kepala dan berteguh kuat pada prinsip, wejangan di pagi hari itu hanya masuk telinga kanan dan keluar lagi dari telinga kanan alias tidak terserap di otak sama sekali. Begitu sampai di kelasnya, keadaan kelas itu kosong melompong dan Shadira langsung terkapar di tempat duduknya yang telah ditentukan oleh Bu Naya kemarin. Ia sandarkan kepalanya di atas meja. Masih ada alasan terakhir yang membuatnya nelangsa. Semalam, insomnia Shadira kambuh. Ia baru bisa tidur pukul tiga pagi dan kembali terbangun pukul lima. Sekarang, tubuhnya lesu bukan main dan laki-laki bernama Rean itu patut disalahkan atas semua alasan-alasan di atas. Shadira menghela nafas dalam dan mengatupkan matanya yang berat. "I'm so f****d up," gumamnya. Belum sampai dua menit ia mengatupkan mata, dirinya hampir saja tertidur dan seolah-olah sudah terbang di alam mimpi karena mendengar langkah-langkah kaki yang mendekat. Sayangnya, suara langkah kaki itu bukanlah mimpi, melainkan kenyataan yang segera menyentaknya untuk kembali ke kesadaran. "Minggir, gue mau duduk!" Shadira sontak langsung mengusap d**a karena terkejut akan seruan keras dari laki-laki b******k yang baru saja datang. Ia tegakkan kembali tubuhnya dan ditatapnya Rean yang baru datang dengan rambut berantakan itu menggunakan tatapan tertajam yang Shadira miliki. "Nggak bisa ngeliat orang adem dikit ya lo?" Rean hanya menunjukkan ekspresi datarnya. "Minggir," ulangnya lagi. Shadira berdecak sebal dan dengan cepat langsung berdiri, pindah ke tempat duduk kosong yang berjarak beberapa meja dari tempatnya sendiri, agar Rean bisa berjalan menuju tempat duduknya. Ia baru saja hendak kembali ke posisinya tadi, namun Rean tidak membiarkan itu terjadi. "Hape gue udah lo benerin belom?" Shadira menarik nafas dalam, mencoba untuk tenang dan sabar. "Pulang sekolah nanti gue benerin," jawabnya. "Bagus," kata Rean dengan nada sok, membuat Shadira refleks meringis jijik mendengarnya. Diliriknya Rean yang ada di tempat duduknya. Laki-laki itu duduk dengan punggung ia sandarkan di dinding. Tidak lama kemudian, laki-laki itu mengeluarkan ponsel dari saku seragamnya. Ponsel yang tentunya sudah sangat Shadira kenal karena itu ponsel Shadira sendiri. Ponsel yang sudah dirindukan Shadira. "k*****t," gumam Shadira begitu melihat Rean yang dengan sangat fokus memainkan ponselnya. Entah apa yang dibuka Rean di sana, Shadira tidak tahu. Ia juga tidak ingin menebak apa saja yang telah Rean lihat di dalam ponselnya. Ah, s****n. Kekusutan Shadira semakin bertambah. "Lo apain aja hape gue?" Tanya Shadira karena memang tidak tahan melihat ponselnya dijamah oleh tangan kotor orang asing. Rean hanya melirik Shadira sebentar, namun tidak menjawab, dan kembali fokus pada layar ponsel. Iya, Shadira dikacangin oleh seonggok Rean. Meski begitu, Shadira masih mencoba untuk sabar. Ia tidak ingin meledak lagi karena Rean dan berujung terkena masalah. Sudah cukup banyak masalah yang dihadiahkan laki-laki itu padanya dalam kurun waktu satu hari, tidak perlu ditambah lagi. Namun, Shadira benar-benar tidak tahan ketika melihat Rean memutar ponselnya menjadi bentuk landscape dan terdengar suara-suara keras khas game ponsel setelah itu. Kedua mata Shadira pun langsung melotot lebar mendengarnya. "Lo download game di hape gue?!" Rean pura-pura tidak mendengar seruan Shadira itu dan masih memfokuskan pandangannya pada game yang ia mainkan di ponsel Shadira. Hal itu tentunya membuat darah Shadira mendidih. Game adalah hal yang paling tidak boleh ada di ponselnya. Shadira benci segala macam bentuk game di smartphone dan Rean tanpa tahu malu m*****i ponselnya dengan sebuah game! Dengan cepat Shadira bergerak maju, ingin merebut ponselnya dari genggaman Rean. Tetapi, meski pura-pura tidak peduli dengan Shadira, refleks laki-laki itu sangatlah cepat. Belum sempat Shadira meraih ponselnya, Rean sudah terlebih dahulu berdiri dan mengangkat benda itu tinggi-tinggi. "Apaan sih lo?" Tanya Rean yang kesal karena waktu bermainnya telah diganggu. "Balikin hape gue!" Kata Shadira sambil menyentakkan kaki di lantai kelas. Rean menatap Shadira malas. "Buat apa?" "Gue nggak suka ya kalo di hape gue ada game-nya," ujar Shadira kesal. "Hapus sekarang!" "Kenapa harus?" Tanya Rean sambil mengangkat kedua alis. "Selama hape gue masih rusak, hape ini jadi hak milik gue. Jadi suka-suka gue ini hapenya mau gue apain." "Nggak bisa gitu dong! Itu kan hape gue, yang beliin orang tua gue. Lo itu cuma minjem, untung-untung gue pinjemin. Udah rela gue nggak pake hape demi lo!" "Bacot," gumam Rean. Buru-buru ia masukkan ponsel Shadira ke dalam saku belakang celana seragamnya. Shadira tentunya tidak akan mungkin mengambil ponselnya dari dalam sana. "Ini masih pagi, jangan nyari masalah." "Sadar nggak sih? Lo duluan yang nyari masalah!" Rean mendelik ke arah Shadira. Lalu, dengan santainya laki-laki itu naik ke atas kursi dan melompati meja hingga sekarang dirinya sudah berada di sisi tubuh Shadira yang lain hanya dalam kurun waktu beberapa detik saja. "Semua masalah tuh berawal dari rambut lo," kata Rean santai sebelum pergi meninggalkan kelas. Meninggalkan Shadira yang menatapnya dengan tatapan penuh permusuhan. *** Rean pikir, ia akan aman dan dapat menikmati paginya dengan damai setelah berada jauh dari radius seorang Shadira, cewek aneh berambut ungu yang super mengesalkan itu. Nyatanya, Rean salah. Keluar dari kandang buaya, ia malah masuk ke kandang harimau. Baru saja beberapa langkah Rean pergi meninggalkan kelas, ia malah berpapasan dengan Yovan yang kebetulan masih menyimpan kejengkelan terpendam terhadapnya akibat kejadian kemarin saat dirinya terlambat menyerahkan formulir ekskul futsal. Uh, apes. "Mau ke mana lo hah?" Tanya Yovan dengan suara kencang begitu melihat Rean yang hendak berbalik saat melihat wajahnya. Rean pun hanya bisa meringis dan mau tidak mau kembali berbalik menghadap seniornya tersebut. "What a coincidence to meet you here, Kak Yovan." Yovan memutar bola matanya dan menyentil telinga Rean. Perlu diketahui, di ekskul futsal, Yovan sangatlah terkenal dengan sentilan mautnya yang biasa dihadiahkan untuk junior-juniornya yang bandel. Mendapat sentilan itu, Rean pun hanya bisa merem melek menahan sakit. "Nggak usah sok ngomong Inggris sama gue ya lu," kata Yovan dengan nada garang. "Ya Allah Kak, lo masih marah sama gue?" Rengek Rean. Iya, Rean merengek. "Kemarin kan gue udah jelasin kronologisnya." Kali ini Yovan menepuk belakang kepala Rean. "Gue tuh masih empet sama lo. Gara-gara kengaretan lo kemaren, futsal jadi ditegur sama ketos." Rean hanya mencibir sambil mengusap-usap belakang kepalanya. Bukannya kurang ajar dengan senior, hanya saja, Rean memang sudah cukup dekat dengan Yovan semenjak ia bergabung ke dalam ekskul futsal setahun yang lalu. Walaupun Yovan sering marah-marah, apalagi saat latihan, Yovan tetaplah senior tersantai menurut Rean. Keduanya bahkan sering nongkrong bareng di luar sekolah. Dan Yovan merupakan segelintir orang di sekolah yang mengetahui fakta kalau Rean merokok. Makanya, Rean sudah memperlakukan Yovan layaknya teman sendiri. "Kasihani lah gue yang kemarin ketiban s**l, Kak," rayu Rean. "Udah cukup lo marahin gue kemaren. Jangan ada sesi marah-marah tambahan lah sama adik sendiri." Yovan menggeleng keras. Ia tidak peduli dengan penjelasan yang diberikan Rean kemarin tentang tabrakannya dengan perempuan aneh, ponselnya yang terinjak, dimarahi Bu Naya, dan blablabla lainnya. Baginya Rean tetap salah dan sebagai junior yang dididiknya, Rean pantas untuk dihukum. "Adik gue masih SD, lo mah siapa?" Jawab Yovan asal. Padahal Rean tahu betul kalau Yovan anak bungsu. "Kampret." "Dibilangin sama senior ngelawan ya lo?" Rean menghela nafas pelan. Mau berlagak sesangar apapun, Yovan tetap tidak terlihat menyeramkan bagi Rean. "Ya, maaf Kakak." "Gue nggak mau tau ya, sebagai hukuman lo harus gantiin gue dateng ke KMP pulang sekolah nanti." Kening Rean langsung berkerut mendengar penuturan Yovan itu. "The fu?" "Kagak mau tau gue, awas kalo lo nggak dateng," kata Yovan dengan nada mengancam. Kemudian, setelah laki-laki berusia tujuh belas tahun itu menepuk bahu Rean, ia berjalan pergi meninggalkannya. "Sampis, ini mah akal-akalan lo doang yang nggak pernah doyan rapat!" Teriak Rean saat Yovan sudah beberapa langkah menjauh. Yang diteriaki pun hanya menjawab teriakan tersebut dengan menepuk bokongnya beberapa kali, mengejek. "Anju. Kalo bukan senior udah gue sikat lo." *** Sesuai dengan perintah Yovan saat bertemu tadi pagi, sepulang sekolah, mau tidak mau Rean pun menghadiri rapat ekskul yang diadakan oleh OSIS setiap bulannya. Karena ini merupakan hari-hari di awal tahun ajaran baru, maka ini adalah rapat ekskul pertama di periode tahun ajaran ini. Dalam rapat ini biasanya membahas pembentukan program kerja ekskul-ekskul dari berbagai macam bidang yang dinaungi oleh OSIS, membahas masalah-masalah yang terjadi di dalam ekskul, serta mengevaluasi seluruh kegiatan di dalam ekskul dan juga melakukan pendataan terhadap anggota tiap ekskul di sekolah ini. Berbeda dengan rapat OSIS biasa, rapat ini biasa disebut dengan Konfrensi Meja Petak. Entah siapa yang mencetuskannya, yang pasti nama itu terinspirasi dari Konfrensi Meja Bundar yang diadakan pada jaman-jaman sebelum kemerdekaan Indonesia dulu. Berhubung meja di ruang OSIS berbentuk petak, maka nama bundar diganti menjadi petak. Menurut Rean, seperti itulah asal-usul nama Konfrensi Meja Petak ini. Ruang OSIS belum begitu ramai begitu Rean sampai. Baru ada beberapa wajah yang dikenalinya sebagai pejabat-pejabat OSIS. Seperti Dimas yang merupakan Ketua OSIS, Ratih yang merupakan Sekretaris, dan ada pula Rena yang merupakan Wakil II dari Dimas. Melihat saudara kembarnya masuk ke dalam markasnya yang bercat putih gading itu, Rena lantas segera menghampirinya. "Ngapain lo ke sini?" Tanya Rena begitu ia sudah sampai di hadapan Rean. Rean terlebih dahulu berjalan menuju meja petak besar yang ada di tengah-tengah ruangan dan menarik salah satu kursi untuk duduk sebelum menjawab. "Mau rapat lah." "Lah? Kok lo? Harusnya kan Kak Yovan," kata Rena dengan kening berkerut. Sangatlah aneh baginya melihat Rean berada di ruang OSIS untuk mengikuti rapat karena Rena tahu, kembarannya itu tidak pernah suka dengan pertemuan-pertemuan yang menurutnya membosankan seperti KMP. "Kayak nggak tau tuh bodat aja. Dia nggak pernah suka rapat," jawab Rean asal. Rena menepuk bibir Rean pelan. "Kurang ajar banget sih ngatain senior gitu." Rean memutar bola mata. Ia lupa kalau Rena sangatlah hormat dengan senior-senior dan paling tidak suka jika ada yang berlaku tidak sopan kepada senior. Tidak peduli meskipun seniornya adalah Yovan yang selalu berlapang d**a jika dihujat. "Is yaudah sih, orangnya juga nggak ada," gerutu Rean sebal. Setelah menggerutu seperti itu, tiba-tiba saja perut Rean berbunyi keras, menandakan kalau lambungnya sudah meronta untuk diisi. Mendengar suara yang diketahui pasti berasal dari perut Rean, Rena menggeleng pelan. "Di tas gue ada makanan. Gue ambil dulu," ujarnya sebelum berjalan untuk mengambil tasnya yang berada di meja bagian depan. Rean pun hanya bisa tersenyum lebar karena pengertian Rena itu. "Lo emang the best lah sist." Ngomong-ngomong, Rean dan Rena memang sudah berbaikan sejak semalam dan tidak berada dalam kondisi canggung lagi akibat insiden p**n video waktu itu. Dan semua kecanggungan di antara mereka sirna karena Gio yang telah sukses menyenangkan hati Rena, sehingga Rean terciprat dampaknya. Rean juga tidak suka berlama-lama saling diam dengan Rena. Semalam saja ia langsung menceritakan semua kejadian yang menimpanya kepada Rena karena memang tidak ada rahasia di antara mereka. Makanya, mungkin nanti Rean akan berterima kasih kepada Gio karena sedikit banyak telah membuat dua kembar itu berbaikan. Ya, itupun kalau ingat sih. "Ayaaaaangggg!" Baru saja sosok Gio terlintas di benaknya, tiba-tiba saja suara menggelegar laki-laki itu terdengar, dan ternyata Gio sudah berdiri di ambang pintu ruang OSIS. Pandangan penuh cintanya tertuju lurus pada Rena yang ada di seberang ruangan. "Bukan temen gue," gumam Rean begitu melihat tindakan Gio yang berhasil menarik perhatian seluruh kepala yang ada di ruang OSIS. Di seberang ruangan, Rena menepuk dahi karena menahan malu melihat tingkah pacarnya yang memang seringkali urat malunya putus. Terlebih lagi, sekarang teman-teman OSIS-nya mulai bersiul-siul menggoda, membuat wajahnya bersemu merah. Dengan santainya Gio melenggang masuk ke dalam ruang OSIS dan Rena segera menghampirinya setelah sebelumnya melemparkan sebungkus roti kepada Rean. "Ngapain sih, Gi?" Tanya Rena begitu mereka berhadapan. Yang ditanya pun hanya cengengesan. Bukannya menjawab, ia malah mencubit kedua pipi Rena yang sudah berubah warna. "Ayang lucu banget sih kalo pipinya pink-pink gitu," kata Gio gemas. Rena pun semakin malu mendapat perlakuan tersebut. Sementara Rean yang berada di dekat mereka hanya menonton sambil menikmati roti isi cokelat pisang yang diberikan Rena kepadanya barusan. Lumayan lah dapat tontonan drama gratis. "Is, Gio apaan sih?" Rena melepaskan kedua tangan Gio dari pipinya. "Ngapain coba ke sini? Udah dibilang kan aku mau KMP dulu." Gio kembali cengengesan sambil mengacaki rambutnya. "Ye, orang aku juga mau KMP." "Bohong?" "Beneran, Natta!" Seru Gio semangat. "Kak Fatah nggak bisa dateng so I'm replacing him, jadi perwakilan dari ekskul basket." "Halah modus lo bisa banget, Tong," celetuk Rean dari tempat duduknya. "Elu mah niat ke sini buat ngeliatin Rena bukan buat rapat." "Waduh ada Reandra, my sweet brotha in laaww!" Gio berseru dengan lebay begitu menatap ke arah Rean. "Apaan dah lo, jijik." "Ih, Rean udah nggak sesangar kemarin ya ternyata hehehe." Rena pun hanya bisa menggelengkan kepala dan segera menarik lengan seragam Gio, membawa pacarnya itu menuju salah satu kursi yang ada di meja petak. Tentunya Rena memilihkan kursi yang tidak bersebelahan dengan Rean. Jika keduanya bersebelahan, bisa-bisa mereka membuat keributan saat rapat berlangsung nanti. "Aku mau duduk di sebelah kamu," ujar Gio manja kepada Rena, membuat perempuan berambut sebahu itu mendengus sebal dan mencubit perut Gio. "Aku nggak duduk di sini Gi, aku jadi moderator nanti di depan." "Yah, kamu kok gitu? Padahal kan aku mau sebelahan sama kamu," rengek Gio sembari memberengut. Rean yang duduk di seberang meja tempat Gio berdiri pun bergidik jijik melihat kelakuan temannya yang super menggelikan. Meski Rena dan Gio sudah berpacaran lebih dari dua tahun dan sudah merupakan hal yang biasa bagi Rean melihat bagaimana jika Gio sedang bermanja ria, tetap saja, setiap kali melihatnya secara langsung masih membuat Rean geli. "Nwajwis," ujar Rean dengan mulut penuh setelah memasukkan setengah rotinya yang tersisa ke dalam mulut. Setelahnya, ia meremuk plastik pembungkus roti itu dan melemparkannya ke arah Gio. Namun, tahu sendiri kalau massa plastik itu ringan, sehingga lemparan Rean tersebut melenceng jauh dari sasaran. Ditambah lagi angin yang bertiup dari kipas yang berputar di langit-langit ruangan semakin membuat plastik itu berbalik arah. Pandangan Rean mengikuti arah plastik tersebut terbang. Dan ternyata, benda ringan itu jatuh ke lantai, tepat di bawah kaki seseorang yang mengenakan sepatu berwarna putih polos. Rean pun mendongak untuk melihat siapa pemilik sepatu tersebut. Begitu pandangnya tertuju pada wajah seorang perempuan yang juga sedang memandang ke arahnya, Rean refleks tersedak. Cantik banget, b*****t.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD