"Boleh aku bergabung?"
Suara dari dalam sana seketika membuatku terperanjat. Meski ini bukan kali pertama aku mendengar suaranya, namun tetap saja dia masih asing untuk dapat aku terima didalam lingkup hidupku. Sekitarku.
"Duduk saja," Kataku tak menekankan nada suara yang berlebih. Tiada keramahtamahan, tiada pula rasa tak suka. Semua kuatur sedemikian rupa untuk dapat sesuai dengan takarannya.
"Maaf, mungkin apa yang kulakukan sangat berlebihan," Akunya langsung. Aku tidak langsung menjawab. Kubiarkan dia menerka-nerka terlebih dahulu sekaligus pula memberiku jeda waktu untuk bisa berpikir. Memberikan jawaban paling logis atas apa yang telah terjadi diantara kami berdua.
Kuraih botol champage yang tersedia. Menuangkannya sedikit lebih banyak daripada yang biasanya pada gelas kaca yang terletak didepanku. Pria itu tidak melakukan apapun selain daripada memperhatikan setiap gerak-gerikku ketimbang menjeda apalagi menghentikanku. Sepertinya dia paham mengapa aku butuh alkohol malam ini. Aku sedang mencoba melarikan diri dari sebuah kenyataan didepan mata. Mencoba menghalau air mata dan juga rasa sakit di d**a.
"Tidak, daripada itu terimakasih sudah bersedia menjadi korban dalam skenario terburuk ini. Kau layak mendapatkan rasa terimakasih karena telah menolong keluarga dan wajahku dari rasa malu," Sahutku lagi, kali ini emosiku sudah lebih stabil. Champage ini lumayan membantu untuk saat saat kritis. Lagipula aku paling tidak suka terjebak diantara kegusaran, bimbang, resah, gelisah. Entah harus kudeskripsikan seperti apalagi mengenai apa yang terjadi hari ini. Sudah terlambat untuk dapat ditarik kembali.
"Aku melakukannya untuk keluargaku juga. Aku pun sedikit terkejut mengenai keputusan terakhirnya,"
Sebenarnya aku sangat tahu penyebab pria itu mengubah pikirannya. Tidak perlu aku melakukan riset, dan segala tektek bengek saat aku sudah meyakini jawabannya didepan mata. Pria itu tidak mencintaiku. Itu hal yang pasti dan sudah tidak bisa diganggu gugat lagi. Perihal hal ini pun aku sudah sangat tahu diri. Meski tetap saja sakit yang menjadi akibatnya tidak bisa dengan mudah menghilang dengan cepat.
"Kurasa sudah cukup pembahasan mengenai ini," Ya, karena aku sudah muak. Kepura-puraanku ini hanyalah hal gila diliputi ambisi. Keinginan memiliki membuatku pura-pura tak peduli meski sejatinya aku tahu sekali.
"Baiklah," Pria itu mengangguk. Kemudian dia meraih botol champage ditengah meja kami untuk kemudian dia tuangkan pada gelas kaca miliknya sendiri. Pria itu menatapku lagi, kali ini sambil membawa gelas kacanya ke udara. "Mau bersulang?"
"Bersulang untuk pria t***l yang meninggalkanku di altar,"
"Bersulang untuk kebahagiaan kita di masa depan,"
Kedua gelas itu berdenting dan aku langsung meminum isinya dalam satu tegukan. Tanpa perlu berlama-lama. Sebuah senyuman yang tak berarti kuperlihatkan pada pria itu.
"Kecil kemungkinan aku bisa bahagia," Aku meraih botol champagne yang terletak ditengah meja kemudian mengisi gelasku lagi dan lagi. Aku hampir menguras semua isi botol itu sendirian. Kini cukup sudah, aku merasa tubuhku berada di awang-awang. Halusinasi berupa rasa yang begitu ringan dan bahagia sekilas seperti realitas. Ah.. seandainya jika memang rasa ini betul adanya.
Tapi meski aku telah berusaha mengosongkan pikiranku. Atau paling tidak menggila untuk malam ini, nyatanya ini belum masuk dalam takaran yang cukup. Aku membutuhkan obat lain untuk mengurangi rasa sakit yang sedang aku rasakan saat ini. Aku butuh yang lebih dari ini. Ah.. aku tahu sekarang. Aku menyadari betul apabila aku sama sekali tidak berbeda jauh dengan wanita manapun yang aku temui. Aku sama saja dengan para wanita diluar sana yang kucela karena mendewakan cinta. Sekarang aku sama menyedihkannya dengan mereka. Aku kosong.
Hangat. Basah. Sakit.
Apa aku menangis ?
Cepat kututupi seluruh wajahku dengan kedua tangan sebelum pria itu menyadari ini. Aku sama sekali tak mengerti dengan motif apa yang mendorong pria itu untuk berbuat sejauh itu hanya untuk menolongku. Bukankah sesuatu yang tanpa pamrih itu mustahil ? Lalu jelasnya apa yang sedang pria itu inginkan dari kelemahanku. Tapi pantaskah aku mencurigainya setelah dia berbuat sejauh ini?
Aku sudah mengenalnya sejak lama tapi kami berdua tak pernah dekat. Apa dia melakukannya karena ia mau tak mau merasa ikut bertanggung jawab atas kebodohan yang telah dilakukan adik bungsunya ? Semua spekulasi yang ada sama sekali tidak memberikan angin segar bagiku. Yang ada malah justru memperburuk keadaan yang ada. Ketika seluruh pikiranku kosong aku bisa merasakan bila dia merengkuhku dalam pelukannya. Ah.. sial jika aku diperlakukan begini aku tidak akan bisa menahannya lagi.
"Please, Buat aku merasa lebih baik,"
Entah mengapa aku malah bertindak lebih jauh hanya karena sentuhan hangatnya. Aku tanpa malu memohon dengan lirih pada pria itu. Mengharap ia melakukan sesuatu untuk menghentikan rasa sakit yang melanda hatiku. Apa aku sudah gila ?
"Berjanji padaku kau tak akan menyesalinya besok,"
"Tidak...tidak akan," Aku melepas pelukan yang mengurungku hanya untuk sekadar menatap sepasang mata obsidian miliknya. Membiarkan pria itu tahu aku teramat membutuhkannya meski hanya untuk lari dari kenyataan yang ada.
Tanpa memberi jeda untukku agar dapat menyadari, ia telah merengkuh diriku untuk kembali ke pelukannya dan bahkan kali ini dengan berani pria mencium bibirku. Ia seperti menginterpretasikan ini sebagai sebuah rasa supaya aku tak lagi merasa sendirian. Dia seperti ingin menjelaskan padaku bahwa aku ini ialah entitas yang sangat berharga. Memperlakukanku selayaknya sang ratu meski sesungguhnya aku hanyalah wanita biasa yang mencoba bertahan setelah dicampakkan begitu saja oleh kekasihku.
Hangatnya bibir pria itu kusambut dengan rasa terima kasih. Aku tak sendirian. Kecup hangat yang pria itu berikan begitu asing tapi juga familier disaat yang bersamaan. Tak ada tekanan keras, tak ada tuntutan. Hanya ada kepastian kalau pria ini ada disini untukku. Hanya untukku. Bibirku rupanya lebih jujur daripada segala kerumitan yang ada dikepala. Dia bergerak sendiri, merekah menyambut kecupan itu lebih dalam. Menyelinap seenaknya untuk membelit dan membuai. Melumat. Memagut. Memaksaku untuk terhanyut dalam sensasi erotis yang membuatku melupakan sakit. Apa upaya ini berhasil ?
Aku telah menyerah, aku membiarkan hasrat menguasai, mengambil alih sisi diriku. Persetan soal segalanya. Aku tak lagi mau peduli, selama itu membuatku melupakan kenyataan. Selama ini cukup membuatku merasa lebih baik.
"Bercintalah denganku," Pintaku. Ia sekejap mengerjapkan mata tatkala memangdang kedalam netraku yang sudah dipenuhi oleh kabut birahi.
"Aku tak akan pernah bisa menolakmu,"
***
"Apa kau serius?"
"Kau lihat ini dan kau akan mengerti,"
"Aku rasa ini bisa menghancurkanmu," Dia terlihat seperti pasangan yang memang betulan mencintaiku. Ah.. apa seorang pria akan menjadi sangat romantis ketika dirinya sedang diliputi oleh kabut birahi ?
"Kau ingin aku memperlakukanmu seperti apa?" Tanya dia sekali lagi untuk memastikan kesungguhanku. Dia sepertinya tak ingin berakhir dengan penyesalan diakhir.
"Kau tak perlu bertanya padaku,"
Dipenuhi untuk pertama kali tidaklah senikmat yang aku dengar dari semua rekanku yang telah dulu melangkah ke jenjang pernikahan. Aneh. Tapi tak bisa kulepas.
"Kau tak apa-apa ?" Terdengar nada khawatir dari suaranya.
"Beri aku waktu sejenak, aku perlu beradaptasi untuk bisa mengatasi ini. Mengertilah,"
Apa setiap betina dapat beradaptasi dengan mudah ? Setiap gerakannya membuat tubuhku menggelenyar. Asing tapi menyenangkan. Kali ini aku menatapnya dengan penuh. Pengaruh alkohol telah sepenuhnya membiusku. Ia serupa dengan pria yang menyakitiku. Mata berwarna onyx dan rambut hitam kelam dan disaat yang bersamaan juga berbeda. Dia tampak lebih dewasa dengan kerutan halus yang muncul di dahinya. Siapa sangka aku berbulan madu dengan pria yang salah.
"Erwin.."
Akhirnya aku menyebutkan namanya. Dia membungkam rintih dengan kecup uar panas.
"Please...please make me c*m,"
Aku pasti sudah gila karena memohon padanya seputus asa ini.
"I'll take you there,"
Waktu yang kami lewati terasa singkat dan memabukan. Kami menyudahi segala kenikmatan duniawi ini. Melepas lelah dan keringat dengan berbaring terlentang. Mengatur napas agak kembali stabil seperti sedia kala. Aku lantas beringsut dan meletakan kepalaku di d**a pria itu. Erwin pun merangkulku.
"Apa saat ini kau masih merasa tidak diinginkan?"
"Tidak...tadi itu cukup intens. Aku rasa pernikahan ini tidak buruk." Komentarku dengan lepas. Jujur tanpa ada rasa malu sedikitpun
"Mengapa?"
"It was good,"
"Aku senang bila itu bisa menghiburmu,"
"See u there," Tak lama setelahnya aku memejamkan mata dan tertidur pulas.