Debur ombak yang terdengar bersahut-sahutan diluar sana memaksaku untuk kembali membuka mata dan memulai aktivitas layaknya manusia. Mataku sempat mengerjap tapi hal tersebut belum mampu untuk dapat membuka mataku secara penuh. Setengah sadar akan kondisi, seluruh indera tubuhku mulai beraksi. Merasakan bila permukaan bantal yang seharusnya lembut dan empuk karena terbuat dari bulu angsa malah terasa keras, solid dan juga hangat. Kombinasi yang tidak buruk dan anehnya aku malah nyaman dengan suguhan tiga komponen tersebut dan malah bertingkah lebih jauh lagi dengan menyilangkan kaki jenjangku pada entah bantal atau guling unik ini.
Aroma segar garam dan lautan menggelitik indra penciumanku. Dipadupadankan dengan secercah sinar mentari pagi yang dengan tidak sopannya menembus tirai tipis yang terbuat dari renda tersebut menerangi kamar ini dengan cahayanya yang lembut dan juga hangat. Kulewatkan keindahan nuansa niatural dari suasana itu karena kepalaku mondadak berdentam-dentam dengan rasa sakit luar biasa. Otot-otot tubuhku juga meringis terutama bagian buawah. Tepat di antara kakiku. Sebenarnya apa yang sudah terjadi semalam? Begitu netraku benar-benar terbuka. Aku menyadari diriku rupanya tengah memeluk Erwin. Bukan guling apalagi bantal. Cepat-cepat aku menyingkirkan tangan dan juga kakiku yang sudah kurang ajar itu dari tubuh pria ini dengan hati-hati agar ia tak terbangun. Terus terang aku ingin menjaganya tetap terlelap karena sudah hilang muka untuk bisa bertindak biasa didepannya mulai hari ini.
Aku berguling ke samping seraya memegangi kepalaku sialnya erangan kecil tak luput keluar dari mulutku. Ini adalah situasi dimana untuk pertama kalinya aku mengalami Hang over parah. Berapa banyak yang sudah aku minum semalam?
.
.
Aku mengenakan gaun chiffon simpel berwarna putih. Gaun itu melambai dengan indah tersapu angin memamerkan lengan dan leherku yang indah. Kaki telanjangku menjejak pasir pantai. Untaian mutiara dan mahkota dari rangkaian bunga berwarna putih menghiasi rambut hitamku yang tergerai, di bawah cerahnya sinar matahari kecantikan laksana seorang putri yang tampak natural. Itulah yang bisa kunilai dari penampilanku hari ini. Semuanya sempurna kecuali satu hal. Mempelai prianya.
"Kalian tak menemukan Rein dan Zofia ?" tanyaku pada beberapa tamu undangan yang merupakan teman semasa kuliah dulu. Mike, dan juga Falco hanya dapat menggelengkan kepala.
Air mataku hampir tumpah, keluarga dan teman-temanku telah menyempatkan diri dari kesibukan merkeka ke Yunani untuk menghadiri acara pernikahan ini tapi sang mempelai pria tak terlihat dimanapun. Ini mengecewakan. Aku sebetulnya tidak ingin berspekulasi apa-apa meskipun aku tahu alasannya. Aku terlalu berharap lebih dan mengabaikan fakta yang lebih penting daripada egoku sendiri.
Pada akhirnya aku hanya dapat menatap empat buah tiang kayu yang terbelit kain putih dan berhiaskan dedaunan dan bunga yang sudah ditata sedemikian rupa untuk berdiri menghadap birunya laut Mediterania dengan kecewa. Aku dan Rein harusnya berdiri di sana untuk mengikrarkan janji pernikahan kami. Seperti rencana kami awal mulanya. Kesepakatan untuk berkeluarga dan berjanji satu sama lain untuk mengakhiri sisa hidup kami bersama. Tapi kurasa aku harus mengubur itu dalam dalam saat aku menyadari sekelilingku. Keluarga dan teman-temanku telah duduk di kursi yang di persiapkan. Mereka juga tampak cemas dan khawatir karena untuk sesaat pernikahan yang harusnya dimulai sejak tadi ditunda untuk beberapa saat.
Mark ayahku datang menghampiri diriku yang merupakan putri semata wayangnya, kekhawatiran pula tak luput dari wajahnya yang sudah dipenuhi kerutan disana sini. Aku ingin memeluknya dan berkata soal kebenarannya. Namun aku tak sanggup untuk melakukan hal serupa. Ini akan jadi beban baginya. Dan aku tak ingin itu terjadi. "Ada apa honey, mengapa pernikahannya belum juga dimulai?"
"Mungkin kita harus membatalkan acara ini." Aku ingin sekali berkata pada ayah bila calon suamiku lebih memilih untuk kabur bersama sahabatku ketimbang melaksanakan janjinya. Dan kenyataan itu membuatku pahit sendiri. Sebenarnya apa yang tidak kusadari belum lama ini ? Sebenarnya apa yang terjadi dibelakangku sampai nasibku harus sedemikian menyedihkan begini? Apa aku sangatlah tidak pantas untuk bersanding dengan pria yang kucintai sampai perlu kabur dariku begitu? Apa salahku?
Sekali lagi aku memaksakan diri untuk dapat menahan tangisku. Sepanjang hidupku sejatinya ini adalah impian masa kecilku. Menikah dengan pria yang kucintai dipinggir pantai. Tentu saja mimpi kecil ini sempat hanya akan menjadi sebuah impian belaka mengingat aku merasa terlalu kekanakan untuk dapat mewujudkannya. Sampai kemudian aku mengenal dia. Menghabiskan waktu dengan pria yang telah menjadi kekasihku selama lima tahun kebelakang rupanya diam-diam membangkitkan kenangan masa kecil dan juga impianku. Kupikir dia akan berbeda. Kupikir dia bersungguh-sungguh atas ini, tapi Rein menghancurkannya begitu saja. Tanpa sisa. Tanpa belas kasih. Semestinya aku menyadarkan diriku lebih cepat. Aku kerap kali melihat tanda-tanda Rein yang berpaling dariku di waktu-waktu dekat menjelang pernikahan kami. Ini semua karena aku yang bodoh sebab aku dengan percaya dirinya bersikeras mengabaikan dan menepis tanda-tanda itu. Padahal malam itu aku bisa melihat adanya keraguan dari pancaran mata Rein untuk mengadakan pernikahan ini. Ini murni kesalahanku bersikeras untuk menikah dengannya. Aku sadar diri bila kini usiaku sudah hampir mencapai kepala tiga. Jelas sudah bila aku tidak muda lagi dan aku sangat mendambakan adanya sebuah pernikahan dan berkeluarga. Apa lagi Rein telah melamarku tahun lalu.
Seharusnya aku lebih peka dan curiga atas kedekatan Rein dan sahabatku Zofia. Tapi aku yang naif ini malah bersikukuh bila itu hanyalah sebuah ikatan persahabatan di antara mereka. Tidak ada yang lebih. Dan kini aku perlu membayar kebodohanku yang terlalu sepele memberi mereka kepercayaam sebesar itu. Berdiri di altar sendirian di tinggal lari oleh mempelai pria yang memilih pergi bersama bridesmaid-yang kupilih dari sekian banyak sahabat yang aku miliki. Sejenak terpikir oleh pikiranku bila Rein kemungkinan besar tak berani memutuskan aku. Dia tentu tak ingin menerima kemarahan dariku dan mungkin akan mengutuknya seumur hidupku. Bahkan bisa jadi hingga tahap dendam kesumat. Tapi bila benar itu terjadi nyatanya justru kondisi yang aku alami akan jauh lebih baik daripada harus menerima calon suamiku meninggalkanku di hari pernikahan kami seperti ini.
Pixys akhirnya mendekati aku dan juga ayah. Kepala keluarga dari calon suamiku alias calon mertuaku tersebut menunduk padaku meminta maaf atas perilaku pengecut puterannya. Tapi apa semua dapat membaik bila dia melakukannya ? Jawabannya tidak. Tidak merubah apapun.
"Maafkan aku Hanjie. Aku tak menyangka bila putra bungsuku sampai memutuskan hal segila ini. Aku tak pernah mendidik putraku seperti ini."
"Tuan Pixys, anda tidak perlu menundukan kepala anda untuk minta maaf pada saya. Ini bukan salah anda. Ini murni salah saya, semestinya kami membicarakan lagi perihal hari ini dan memperteguh keyakinan kami masing-masing." Sahutku cepat. Bagiku tidak ada artinya. Ini hanya membuatku sedih dan semakin menyadarkan betapa bertumpuknya kebodohan yang sudah aku perbuat.
"Ayah aku tak menemukan Rein di mana-mana. Menurut petugas hotel tempatnya menginap semalam dia sudah check out dari tadi malam. Ponselnya juga tak bisa dihubungi." Erwin tergesa dan memposisikan dirinya berdiri di antara kami. Pria jangkung itu menyisir helaian rambut raven-nya yang menjuntai hingga ke bahu dengan frustrasi. Seperti apa yang melintas di pikiran bodoh adiknya dengan kabur seperti ini terlihat jelas di mukanya. Aku pernah bertemu dengan dia beberapa kali saat Rein mengundangku kerumahnya. Dengan kata lain pria ini adalah calon kakak iparku. Usai menyampaikan kabar itu, Ia menatapku yang mungkin tampak sedih dengan beribu simpati dari matanya. Dia tak pernah dekat denganku sama sekali, bahkan kami tidak pernah terlibat obrolan yang melibatkan kami berdua. tapi dari gerak geriknya dia seperti tahu tahu betul bila aku sudah cukup menghabiskan waktu bertahun-tahun mencintai Rein secara sia sia.
"Kalau begitu kita harus memberitahu mereka acara pernikahannya dibatalkan. Sayang sekali padahal restoran sudah di pesan untuk acara resepsi." Ujar Mark penuh sesal. Pria itu meraih ponsel dari sakunya.
"Aku sangat malu dengan kerabat dan tamu-tamu kita. Mereka terbang jauh-jauh kemari hanya untuk menyaksikan tragedi dan kebodohan putraku." Sekali lagi Pixys mengumandangkan penyesalannya.
"Sudahlah Tuan Pixys, tak ada yang bisa kita lakukan. Saya tak bisa menikahi diri saya sendirikan? Mari kita coba untuk bersikap tenang dan realistis" aku tersenyum miris menahan duka. Seharusnya itu kulakukan pada hari dimana Rein terlihat menyesal denganku. Tapi ya sudahlah.. toh, ini sudah jadi jalan hidupku.
"Kau bisa menikahiku."
Ketiga kepala itu menoleh pada Erwin termasuk milikku. Kami memandangnya dengan heran seolah pria itu menumbuhkan kepala satu lagi di lehernya. Apa dia baru saja bercanda dalam situasi genting ini?
"Mengapa kalian terkejut? Aku belum menikah dan tak sedang punya kekasih. Bila kita butuh alasan untuk berpesta mengapa kita tak melanjutkan acara ini? Aku bisa menggantikan Rein. Lagi pula aku juga masih dalam bagian keluarga. Bila kau menikah denganku kau masih bisa bergabung dengan keluarga kami."
Aku tersenyum sekilas, dia sudah gila rupanya. Tapi kupikir itu juga bukan penawaran yang buruk. Aku tidak membencinya, dan dia kurasa lebih baik dibanding adiknya. "I don't give a damn about the groom. Let's just party." Seruku pada akhirnya menyetujui ide yang entah briliant entah gila ini.
Tentu saja baginya mungkin ini hanya pernikahan lelucon semata. Dan buatku daripada semua dekorasi dan makanan ini sia-sia. Aku bisa berpura-pura jadi pengantin wanita yang berbahagia meski mempelai pria hasil improvisasi di detik-detik terakhir . Aku bisa meratapi si b******k Rein itu lain waktu.
Ekspresi wajah ayah dan Tuan Pixys tak bisa di jelaskan sekarang. Mereka berdua kehilangan kata-kata di tengah-tengah semua hal dadakan ini.
"Ayah, Bisa kau suruh MC -nya memulai acaranya?" Pinta Erwin pada sang ayah yang masih pula berdiri mencerna semua kejadian ini dikepala.
"Honey, Apa kau mau aku mengantarmu hingga altar?" Tanya Ayah, beliau terlihat sangat mencemaskanku. Namun aku menggelengkan kepala dan berhasil menghapus seluruh ekspresi wajah yang tak perlu didepannya.
"Tak usah Dad. Pernikahan ini tak perlu formalitas. Aku akan berjalan bersama Erwin ke altar bersamaan."
Putra sulung tuan Pixys itu lantas menyodorkan lengannya padaku untuk kusambut sebagaimana mestinya. Dan dilihat darimana pun dia terlalu sederhana. Hanya mengenakan kemeja putih tipis pas badan yang lengannya ia gulung hingga ke siku dan celana panjang berwarna khaki. Pria itu melepaskan sepatunya untuk berjalan di atas jalan setapak yang diapit oleh deretan buket bunga besar berwarna putih dia menggandengku dengan santai melintasi hamparan kelopak mawar dengan iringan lagu sendu khas pernikahan.
Rekan dan kerabat kami hanya bisa terdiam terlalu terkesima melihat diriku yang menggandeng tangan Erwin menuju ke altar. Kemungkinan besar mereka pastinya merasa kebingungan sebab mempelai prianya berbeda dengan yang tertulis di undangannya. Meski begitu kami berdua tidak terganggu sama sekali, bahkan terlalu natural. Tak terlihat kecanggungan sebagai pasangan dadakan. Aku sendiri tak mau ambil pusing soal kepergian Rein dan pengkhianatan sahabatku. Aku pasti akan menangisinya nanti. Sekarang aku hanya ingin menikmati kesenangan pesta pernikahan dan terlihat cantik, bersulang dan mabuk. Itu sempurna bagiku.
Kami berdiri di depan petugas pernikahan di detik selanjutnya. Pertama kalinya sepanjang aku mengenal pria itu. Dalam moment ini aku benar-benar memandang Erwin dengan seksama. Biasanya kami hanya bertukar kata sebentar saat aku terlibat dan menemani Rein di acara pertemuan perusahaan atau keluarganya. Pria itu sendiri sangat sibuk dan aku juga tak pernah mendengar pria itu berkencan dengan wanita manapun. Menurutku Erwin adalah tipikal pria yang tertutup, pendiam cenderung observant. Fakta saat Erwin dengan spontan menawarkan diri sebagai penganti Rein cukup membuatku terkesima bukan main. Pria itu tak pernah bertindak impulsif sebelumnya. Dan kurasa ini adalah tindakan paling beresiko yang pernah dijalani olehnya dalam seumur hidup.
Berdiri bergandengan tangan dengan Erwin membuatku kini menyadari betul ketampanannya, Kedua bersaudara itu secara fisik mirip tapi bila aku disuruh menggolongkannya mereka sangat berbeda. Rein berada dalam spesies dangerously handsome. Tipe pria yang membuatmu tergoda karena ia berbahaya, membuat para wanita membuang logikanya hanya untuk mengikuti pria itu ke neraka maka Erwin adalah tipe pria yang menenangkan. Seseorang yang bisa di andalkan untuk menjadi jangkar dikala badai melanda. Pria itu selalu serius dan grounded. Suamiable pokoknya.
Kami berdua melafalkan janji pernikahan dengan setengah hati. Aku tahu tak ada yang harus dianggap serius. Lagipula kurasa kami berpikir sama bila pernikahan ini hanyalah sekedar drama saja. Setelah itu Erwin mengeluarkan cincin pernikahan yang aku pilih sendiri dari sakunya dan menyelipkan cincin itu di jari manisku. Asal usul cincin ini juga tidaklah seromantis pasangan pada umumnya. Akulah orang yang bersikeras memaksa Rein membeli cincin itu karena aku menyukainya dan kini ketika cincin platinum itu telah terselip di jariku. Aku tak lagi tertarik melihat keindahannya. Semuanya jadi hampa.
"Sekarang kau bisa mencium mempelaimu." Ucap sang petugas menyelesaikan rangkaian prosesi pernikahan yang dia pimpin.
"Bisa kami melewatinya?" Tanya Erwin dengan sopan. Sepertinya pria ini masih memiliki manner dan secara tidak langsung meminta izin dariku.
"Tidak, Sudah tradisi mempelai berciuman" Tukas sang petugas.
Erwin menatap netraku sambil bergumam maaf, Ia menundukkan kepalanya dan menciumku. Ciumannya terkesan lembut dan tidak memaksa. Dia berusaha membuat kecanggungan diantara kami mereda. Tapi kurasa para tamu menyadari ciuman singkat ogah-ogahan ini hanya sekedar formalitas belaka. Tapi mereka tetap bertepuk tangan meski berkasak-kusuk menyikapi kejutan tak terduga atas pertunjukan yang kami bawakan.
"Erwin, that the most passionate kiss i ever had." Aku berbisik jahil di telinga pria itu. Sedikit penghiburan diantara kami yang cukup kaku sejak keputusan yang dia deklarasikan beberapa saat lalu.
Erwin berjalan menggandengku untuk menemui para tamu. "Aku merasa aneh saja menciummu." Ujarnya singkat.
"Kau bisa menempatkan lebih banyak usaha dalam ciumanmu. yang tadi itu tak tampak meyakinkan." Aku tertawa. Tak pernah sekalipun aku berpikir akan menggoda Erwin seperti ini. Dalam keberasamaan kami tiba-tiba Mike mendekati aku. Pria dengan cengiran khasnya tersebut terlihat linglung dalam beberapa saat.
"Haruskah aku memberimu selamat atas pernikahan yang sangat aneh ini?"
"Yap, Kau bisa bilang, Selamat kau sudah menjadi pengantin Hanjie sayang."
"Mengapa harus Erwin?" Tanya Mike cepat, pria itu terlihat cukup berlebihan menempatkan emosinya dalam sebuah tanya.
"Kau tahu sendiri Rein kabur. Disaat kritis begitu tiba-tiba ada pria tampan, Single, Kaya dan sudah telat umur untuk menikah menawarkan diri sebagai mempelai pengganti. Dan pualah.. jadilah dia pengantin yang layak bersanding denganku" Aku menjawabnya setengah bergurau. Berbicara seolah-olah Erwin tak berdiri di sebelahku sama sekali.
"Nyonya Erwin, Apa kau baru saja mengimplikasikan kalau aku sudah tua?" Alis pria itu terangkat dan aku merasa sedikit lega. Meski dalam kondisi hati porak-poranda aku masih menemukan humor dari pria disebelahku. Aneh..
"Hm...bukankah kau almost forty dan aku tak akan terkejut bila kau ternyata masih perjaka mengingat kau bahkan tak bisa mencium pengantinmu dengan benar."
"Hati-hati dengan mulut kecilmu, Nyonya. Kau tak tahu apa yang menantimu."
"Aku tertarik untuk tahu." Kataku mengibaskan tangan seraya menjauh darinya. Aku lebih tertarik meninggalkan sisi Erwin untuk mencari ayah. Setidaknya aku perlu bicara dengan dia atas segala hal yang terjadi.
Sepanjang acara resepsi aku dengan mudah beradaptasi dengan minum dan tertawa-tawa. Melupakan Rein sekejap meski harus membiasakan diri dengan Erwin yang terlampau lekat mengawasiku. Setelah malam semakin larut dengan para tamu dan diriku yang sudah dalam mode teler. Aku diantarkan menuju honeymoonsuite yang sudah di pesan jauh-jauh hari oleh pegawai hotel. Aku baru sadar Erwin mengikutiku saat hendak membuka pintu kamar pengantin.
"Kau mau tidur di sini bersamaku?" tanyaku ketika aku nyaris membanting pintu di wajah Erwin. Terus terang aku tak melihat pria itu di belakangku. Minim sekali hawa keberadaannya.
Pria itu mengintip ke dalam ruangan. "Bukankah itu yang suami istri lakukan. Lagi pula ranjangnya sangat lebar."
"Masuklah kalau begitu. Aku ingin berendam dulu. Hari ini melelahkan."
"Oke, Enjoy!"