Obrolan ringan

2301 Words
“Perlu ya sampai melamun begitu?” sebuah tepukan mendarat di bahuku tidak terlalu keras tapi cukup mengejutkan. Erwin berdiri disampingku kali ini, memberikan atensinya yang berlebih agar fokusnya semakin menajam terhadap diriku. “Aku tidak pernah berharap kita kembali ke Jepang,” sahutku sekenanya. Hari ini memang adalah hari kepulanganku kembali, pesawat yang kami tumpangi sudah lebih dahulu mendarat. Acara bulan maduku bersama Erwin telah usai. Meski begitu, cukup menyenangkan sebab kami berdua berhasil melewati setiap harinya dengan sangat damai layaknya kami memang pasangan sungguhan. Aku tidak tahu apa yang ada dalam kepala Erwin, namun yang pasti aku masih menyimpan kecanggungan setelah aku dan Erwin menghabiskan malam yang cukup panas. Malam pertama kami berdua. Dan sialnya itu adalah kesalahanku yang terlalu terbawa perasaan yang tak perlu. Kurasa kedepannya aku harus menghindari alcohol agar mencegah hal-hal yang tidak diinginkan kembali terulang lagi. Tapi dibalik segala hal yang kupikir adalah sebuah kesalahan tersebut, aku sama sekali tidak bisa memungkiri betapa menggodanya Erwin malam itu. Dia pria paling seksi dengan caranya sendiri dan lagi tak disangka pria itu malah menawarkannya untuk berbagi ranjang bersama. Terus terang aku juga tak bisa untuk membatu terus menerus terlebih mendengar setiap komentar yang menjurus dari pria itu. mengejutkan sebetulnya bagiku untuk melihat sisi lain dari Erwin dengan cara seperti ini. Pria itu penuh perhatian dan dia benar-benar sosok yang aku butuhkan karena siap selalu mendengarkan setiap keluh kesahku yang kurasa memalukan jika aku melakukannya diwaktu sadar. Kupikir sejak awal dia adalah tipe pria yang dingin, arogan, dan penuh perhitungan selain itu aku juga selalu menyebutnya si kaku karena selalu to the point dan tidak pernah berbasa basi. Kali ini aku sadar betul apa itu menilai dari sampul, karena ketika disibak jauh daripada bayangan. “Takut bertemu mantan?” ceplosnya tanpa beban seakan itu memang adalah sebuah lelucon yang pantas untuk diperbincangkan. Selera humornya tidak bisa kumengerti. Namun aku harus mulai beradaptasi karena bagaimanapun dia adalah suamiku saat ini. “Apa kau pikir aku akan takut melihatnya? Apa menurutmu aku tipikal perempuan yang akan menangis dan memohon padanya agar dia menerimaku kembali setelah semua yang sudah dia lakukan?” ujarku terdengar lebih menantangnya. Aku harap tidak kentara kesal. Karena nada bicaraku sedikit agak dipenuhi emosi. “Hm… mungkin?” “Stupid! Buat apa aku melakukan kekonyolan semacam itu,” “Ya, kau benar. Kau bukanlah tipe perempuan yang akan merengek seperti itu. Aku sudah melihat sendiri ketegaran dirimu. Tapi bila nantinya kau begitu kurasa aku akan menjadi orang pertama yang akan memastikan dirimu tidak membuat kebodohan itu. Aku tidak bisa membiarkan istriku mengejar mantan kekasihnya lagi,” sekali lagi dia berkata. “Konyol, apa rasa percaya dirimu serendah itu?” “Entahlah,” “Asal kau tahu, mantan itu akan terganggu bila kita move on dengan cepat. Aku dan juga kamu sudah tahu betul bagaimana tabiat Rein selama ini. Adikmu itu punya ego yang sangat besar. Dia pastinya akan sangat terluka bila melihat aku melupakan dia secepat ini,” jelasku. “Dasar wanita kejam. Terus apa yang akan kau lakukan selanjutnya?” “Aku akan tersenyum, dan menegakan punggungku. Lalu mengangkat daguku dan melihatnya dengan posisi seperti itu. akan aku tunjukan pada dia bahwa dia sama sekali tidak berarti untuk hidupku. ada atau tidak adanya dia sama sekali tidak mengganggu eksistensi hidupku,” “Pintar,” “Ini tidak akan berjalan semauku. Aku perlu kontribusimu. Maukah kau bergabung dalam permainanku Erwin?” “Bagaimana kalau berbahagialah denganku ? kalau tidak bisa cukup berpura-pura saja. Aku bisa memberimu kepastian seratus persen bila Rein akan terusik melihat mantan kekasihnya berbahagia dengan kakak kandungnya sendiri. Rein itu sangat kompetitif dan orang yang inferior kompleks padaku. Kurasa dia tidak akan bisa diam saja dan melihat kebersamaan kita,” “Baguslah, tapi apa tidak apa-apa? Maksudmu mau sejahat apapun dia bagiku dia tetaplah adikmu.” “Mau mencoba cara lain yang lebih aman untuk mengobati patah hati?” “Apa?” Erwin tersenyum kali ini, wajahnya melembut dan menatap kearahku seolah-olah aku adalah objek yang berada di ruang pandangannya. “Jatuh cinta lagi,” Apa ini mungkin? Hanya karena kami menghabiskan waktu bersama aku seperti seolah sudah teramat akrab dengan dirinya. Bahkan sampai bercerita seperti ini, sesuatu yang tidak pernah aku lakukan bersama Rein. Bertukar pikiran. Mengatakan apapun yang ada dalam benakku sebebas ini. Pernahkah aku seperti ini? Kurasa ini pertama kalinya dan rasanya luar biasa. Ini terlalu mudah dan nyaman buatku. Pria itu selalu mendengarkan apapun dariku tanpa mengatakan sesuatu yang bisa menghakimiku. Sebab dia juga bukan kekasihku sebelumnya makanya aku tidak perlu susah payah membangun kesan baik baginya. Bahkan saat aku berceloteh soal keburukan adiknya pria itu tidak berkata apa-apa selain terus mendengarku lalu merengkuhku dalam dekapannya begitu saja. Sebuah bentuk sejati daripada berempati paling tinggi. Sesuatu yang memang aku butuhkan.   Dulu aku selalu bercerita tentang segalanya terhadap Gabi. Seseorang yang menjadi sahabatku sejak kecil, sosok yang aku akui sebagai saudariku sendiri. Lantas skenarionya berubah seperti ini sebab dia justru menjadi penyebab atas kepedihan yang aku rasakan di hari bahagia. Perempuan itu tega merebut Rein dariku. Aku terlalu santai, menganggap bila hubungan antara Gabi dan Rein hanyalah jenis hubungan platonic biasa, dan aku sendiri terlalu mempercayai mereka seutuhnya. Tapi sekarang siapa yang perlu disalahkan? Aku yang tak peka dan tak bisa memuaskan Rein saat menjadi kekasihnya? Lalu pria itu menjadikannya sebagai alasan untuk mencari apa yang tidak ada padaku pada sahabatku sendiri? Rasanya aku tidak akan sepesimis itu. Aku lebih suka yang kedua dimana semua ini karena Gabi yang tak kenal batas lalu berakrab-akrab ria sampai tega menggoda kekasihku. Itu memang lebih mudah untuku. Tapi buat apa? Toh segalanya sudah serba terlanjur. Tidak ada lagi teman. Bagiku perempuan itu Cuma si b*****t. Lacur rendahan yang iri dengki padaku sampai ingin memiliki pria yang aku cintai. Lantas penghiburan seperti ‘mungkin kita tidak berjodoh’ cukup untukku? Tidak. tidak akan pernah cukup sebab rasanya masih sesak sampai sekarang.   “Mau kemana Hanjie?” sekali lagi Erwin bertanya saat aku menarik koperku sendiri dan bersikap seperti orang yang hendak pamit. Seluruh tubuhku sudah sangat letih dan aku ingin tidur cepat di apartment milikku sendiri. Soal bicara omong kosongnya bisa dilain waktu. Tetapi genggaman tangannya di tanganku terlampau kuat sampai aku perlu melirik untuk mempertanyakan tindakannya. “Aku mau pulang. Aku mau tidur karena aku sudah sangat capek,” sial bagiku karena aku juga sudah berbuat kesalahan besar. Aku ingat kalau apartmentku sekarang sudah tidak lagi ada. Aku terlalu terburu-buru akan menjalani hidup baru yang bahagia bersama Rein dan menyewakan apartmentku pada orang lain. Ah.. otak yang dipenuhi cinta memang tidak bisa berpikir logis ya, memang. “Tidak bisa, aku tidak bisa membiarkanmu pergi. Kau harus tinggal denganku,” “Tapi Erwin, coba pikirkan. Kita tidak benar-benar menikah. Kita tidak perlu setotalitas itu,” “Siapa yang tahu soal apa yang terjadi dibelakang kita. Dimata keluarga dan teman-teman kita telah menikah. Jadi aneh bila kita bisa pisah rumah,” haruskah aku memberi Erwin nilai plus lagi atas kepekaannya saat ini? Kurasa ini keberuntungan yang tidak akan terjadi dua kali. Dan lagi aku juga tidak perlu menurunkan harga diriku untuk meminta ditampung dirumahnya. “Baiklah kalau begitu, aku akan kirimkan barang-barangku kerumahmu,” putusku cepat. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan dengan terlalu lama memberi jeda. “Ya, kalau begitu kita pulang sekarang ya,” kali ini dia menarik tubuhku untuk mendekat. Genggaman tangannya pada tanganku sama sekali tidak mengendur. Justru dengan posesifnya pria itu seolah tidak membiarkanku memberi jarak diantara kami. Sementara sebelah tangannya yang bebas dia gunakan untuk meraih ponsel miliknya sendiri dan mencoba menghubungi seseorang dari balik sambungan telepon. Kupikir memanggil supir adalah kebijakan yang dia buat sendiri. “Mobilnya akan tiba setengah jam lagi. Kurasa perut kita perlu diisi sambil menunggu. Mau kopi ?” tawarnya tepat sasaran. Aku memang butuh asupan makanan karena tak bisa makan saat berada di pesawat. “Ya, mau,” aku menuruti inginya begitu saja karena sesuai sekali dengan kebutuhanku. Jelas pria ini seperti orang yang bisa membaca pikiran. Peka saja tidak cukup untuk dia. Selain itu aku juga perlu tempat untuk melepas penat setelah berlama-lama di posisi yang sama.   *** “Sudah siap menjadi Nyonya Erwin?” tanyanya setelah kami duduk di salah satu kedai kopi terdekat yang mudah dijangkau. Masing-masing kami sudah memegang kopi pesanan dan juga beberapa kudapan sebagai pendampingnya. Aku melirik kearah cangkir kopinya yang berwarna hitam legam. Seingatku pria itu juga tidak menambahkan gula sama sekali terhadap kopi miliknya. Kopi hitam pekat sama seperti kesukaan Rein. Ah.. sial buat apa aku merasa diingatkan pada si b*****h itu? kenapa pula secara otomatis kepalaku tidak mau berhenti membandingkan Rein dengan Erwin yang saat ini sudah berstatus sebagai suamiku? “Aku rasa aku memang sudah ditakdirkan menjadi Nyonya Erwin,” sahutku cepat dan memberinya sebuah senyum simpul sebagai pengusir dari pikiran-pikiran menyebalkan yang menyesakan untuk dipikirkan terlalu lama. “Sepertinya memang begitu, karena itulah kau ada bersamaku,”sahutnya pula. Pria itu terlihat terlalu santai seperti tidak menyimpan masalah apapun. Padahal menilik dari kejadian ini seharusnya dia menjadi pihak yang paling keberatan karena kami sama sekali tidak seimbang. Hubungan kami semacam symbiosis parasitisme. Hanya aku yang diuntungkan disini, sedangkan Erwin dia rugi akan banyak hal. Waktu, masa depannya, bahkan kebebesannya telah aku renggut secara paksa dari dia. Haruskah aku bersyukur dia tidak membawa topik itu? tapi tetap saja aku memiliki hati Nurani. “Erwin mengapa kau menikahiku?” kurasa aku perlu sebuah kepastian. Bukan jawaban berupa kewajiban, menggantikan, atau hal-hal bullshit manis lainnya. Tapi sebuah kejujuran mutlak yang logis untuk hubungan kami berdua. Aku tidak bisa terus menjadi parasite. Sebelum berkembang terlalu jauh. Sebelum aku melangkah kearah yang salah. Aku tidak suka dengan perasaan bersalah yang membelenggu padahal beberapa saat yang lalu aku dengan percaya diri meminta dia berkolaborasi denganku untuk membalaskan rasa sakit hatiku. Kurasa aku memang perempuan yang membingungkan. “Karena aku menyukaimu,” jawaban itu tegas lugas bahkan aku tidak bisa menyangkalnya karena terlihat dan terdengar amat meyakinkan. Itu benar-benar jawaban yang tidak terduga darinya. Saking diluar ekspektasiku aku sampai tersedak kopiku sendiri dengan mataku yang membeliak keluar. Ini terlalu mengejutkan. Apa aku harus mempercayai omong kosong seperti ini? “Serius?” aku balik bertanya, bagaimana mungkin pria ini menyukaiku? Sejak kapan dan bagaimana bisa? Kami bahkan tidak pernah benar-benar bicara kecuali setelah upacara sacral itu selesai dihelat. Bagian mana yang perlu aku percayai dari itu? Erwin terkekeh kemudian. Kurasa benar, dia hanya sedang bermain-main. Ekspresiku yang melongo mungkin seperti sebuah hiburan terbaik yang bisa dia dapatkan setelah aku menjarah kehidupannya secara paksa. Sebenarnya membenciku saja sudah wajar dia lakukan kalau mau. “Maaf, aku hanya bercanda. Sebenarnya aku tidak tega dan merasa sayang bila upacara sesakral itu harus berakhir sia sia. Kita berdua tahu bahwa masing-masing dari orang tua kita sudah mengeluarkan uang yang cukup banyak untuk mewujudkan pernikahan impian kalian,” jelasnya lagi. Aku tercenung sesaat dan menghela napas panjang. Aku harap ekspresi wajahku tidak muram. Sebab bila demikian aku akan terlihat seperti perempuan putus asa yang mengharapkan sesuatu dari dirinya. “Ya, semuanya benar-benar sempurna. Interiornya, musiknya, makanannya. Kecuali mempelai prianya yang kabur,” balasku lagi membeberkan segalanya. Ingatanku kembali pada hari itu. Memang benar, topik soal pernikahanku bukan hal yang bisa membuatku bahagia. “Tapi kau luar biasa karena ada seorang pria yang menawarkan diri menjadi penggantinya hanya dalam waktu kurang dari lima menit,” Erwin mencoba memberiku sebuah hiburan kecil. Tapi aku mendecih sebagai balasannya. “Tidak bisakah kau memberiku alasan lain? Aku tidak berpikir kau akan mengambil tingkah impulsive begini,” “Aku bisa saja memberimu alasan terindah yang memang kau ingin dengar. Tapi kalau kau meminta alasan lain yang lebih logis kurasa itu karena aku merasa bisa cocok denganmu dan aku akan menikmati memiliki istri tanpa perlu repot mengencani mereka dan terlibat dalam drama picisan yang tak perlu,” “Jadi maksudmu kau tidak keberatan untuk dealing with my drama? Apa aku tidak seperti Queen of drama dimatamu padahal aku baru saja menyelesaikan sebuah drama tragedy yang terciamik disiaran telenovela?” Satu alis Erwin terangkat, “Are you?” “Of course I am. So, setelah mendengar itu mau berubah pikiran dan mundur seperti adikmu? Mau membatalkan undanganmu yang memintaku untuk tinggal bersamamu?” aku menyesap kopiku lagi, kata-kataku memang terdengar sarkas tapi aku memang butuh untuk berkata kasar sekarang. Aku sendiri tidak peduli mau dia menilaiku bagaimana. “No. Kurasa sedikit drama yang kau bawa padaku justru akan membuat hidupku yang monoton lebih baik daripada sebelumnya, istriku,” “Shut up! Perlukah kau memanggilku begitu?” aku harap telingaku cukup kebal dan hatiku berlapis baja. Sebab semburat merah muda bisa muncul kapan saja di pipiku saat aku kehilangan separuh daripada kewaspadaanku pada Erwin. Aneh saja rasanya bagiku mendengar panggilan itu darinya. “Kau tidak suka? Mau panggilan yang lain misalnya sweet heart, darlin’ , dear, wifey, or bae ?” “No way! Sudahlah Erwin ini terlalu memalukan untuk dibahas!” “Aku berharap kau terbiasa,” Erwin terkekeh sekali lagi, dia sepertinya menikmati caraku tersipu atas omong kosong yang dia lontarkan sebegitu mudahnya. “Berhentilah bersikap begitu, kau membuat ekspektasiku buyar seketika. Kau itu bukan pria serius yang pandai merayu,” “Begitu juga kau, aku tidak menyangka kalau wanita bertangan besi sepertimu bisa tersipu malu karena kata-kataku,” “Oh ya? Menurutmu begitu?” “Hmm…” Erwin mengetuk jari telunjuknya pada meja seolah pria itu sedang mencoba berpikir keras dan memikirkan kata-kata yang paling mewakilkan isi kepalanya. “Ya, dimataku kau itu perempuan mempesona yang percaya diri, berani, bossy, sedikit keras kepala, dan sangat emosional diwaktu-waktu tak terduga. Kira-kira gambaran seperti itulah yang aku dapatkan dairmu setelah interaksi kita selama ini,” “Kau memang selalu memilik argument yang tak terpatahkan untuk bisa mendapatkan yang kau mau,” “Ya begitulah, dan kurasa kau bisa membalasku lebih brutal lagi saat kita bernegosiasi di kamar tidur,”  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD