Kami tiba di kediaman Erwin, letaknya terletak di sekitar rural area. Jaraknya dari pusat kota dapat dihitung sekitar tiga puluh menit berkendara dengan kecepatan sedang. Area yang dia pilih sebagai tempat bermukim cukup dapat diperhitungkan secara signifikan, karena teramat tenang. Aku bisa melihat banyaknya rumah mungil yang sepertinya ditinggali oleh keluarga urban. Kupikir akan wajar bagiku mendapati mansion mewah dipenuhi pelayan yang bejejer apik memberikan sambutan, sebab Erwin di mataku adalah pria dengan kekayaan melimpah yang tidak mustahil untuk dapat mencipta suasana demikian. Namun sangkaku rasanya terlalu memalukan, sebab mobil pria itu terhenti pada sebuah rumah yang cukup sederhana untuk ditinggali oleh seorang direktur muda macam Erwin. Aku sedikit terkesima atas kerendahan hati yang dimiliki pria ini. Namun dibalik segala kesederhanaan yang nampak diluar, aku yakin bahwa harga satu unit rumah ini memiliki nilai yang fantastis. Gaya rumah ala western berlantai dua yang pekat, menghiasi pandanganku. Dipadupadankan dengan batu alam dan dinding kayu pada eksteriornya menambah kesan alami dan juga hangat disaat yang bersamaan. Jendela-jendela yang terpasang pada rumah itu cukup besar, sepertinya Erwin ingin agar rumah miliknya mendapatkan sinar matahari dan juga udara yang cukup. Demi Tuhan aku langsung jatuh cinta untuk pertama kalinya terhadap rumah yang dia miliki. Sekilas pandanganku juga menyapu langsung terhadap kebun luas yang ditanami oleh bunga bunga dan juga perdu. Ditengahnya Erwin bahkan membangun sebuah wisteria. Plus dua puluh poin untuk itu.
“Rumah ini sangat mengagumkan,” aku mendecap, terbuai oleh keindahan. Dari dulu aku teramat mendamba untuk tinggal dirumah seperti ini. Seperti halnya rumah kakek dan nenekku dahulu. Namun aku dan Rein tidak sependapat soal itu, pria itu lebih memilih untuk tinggal disebuah apartment yang berada di salah satu gedung pencakar langit. Dia beralasan bahwa akan lebih praktis bagi kami berdua untuk tinggal di pusat kota. Karena letaknya yang strategis untuk melakukan apapun, dan kebutuhan yang kami mau tersedia tanpa perlu menggunakan kendaraan pribadi untuk menuju.
“Benarkah? Aku senang kau menyukai tempat ini. Dan oh ya, sekarnag tempat ini adalah rumahmu juga. Jadi jangan sungkan untuk melakukan apapun yang kamu suka. Kalau ada yang kurang kau juga diperbolehkan untuk mendekorasi rumah ini sesukamu. Tapi ada pengecualian untuk ruang kerja dan perpustakaan pribadiku,” ujarnya memutus lamunanku yang sempat tertambat pada adiknya. Jujur padahal aku sudah bertekad untuk melupakannya sejak Erwin mengajukan dirinya menjadi suamiku. Tapi pria b******k itu sama sekali tidak mau lepas dari pikiranku. Apa artinya aku masih harus menjalani proses healing yang jangka waktunya bahkan tak bisa aku perkirakan?
Aku menganggukan kepalaku padanya. Sekali lagi kembali membangun relasi. Lantai kayu yang menjadi alas rumah ini sedikit berderit ketika kami berdua memasuki pintu utama. Erwin membawa koperku untuk masuk kedalam pula, langkahnya menuju ke lantai kedua. Sepertinya itu adalah kamar yang dia siapkan sebagai kamar kami berdua. Aku tak perlu berkomentar banyak untuk hal itu, bagiku lebih baik untuk mengikutinya saja. ketika sebelah tangan pria itu menjangkau pintu kayu yang letaknya diujung ruangan, aku bisa melihat apa yang kudapati dari ruangan tersebut. Seperti dugaanku, didalam sana terdapat ranjang dengan empat tiang dan kelambu. Ranjang tersebut diposisikan dekat dengan jendela sehingga matahari dapat langsung menembus kearah tempat tidur secara bebas bila pagi tiba. Hanya saja tidak terlalu banyak pernak Pernik dan dekorasi di ruangan ini. Hanya ada lukisan sederhana yang terpajang apik di satu tempat dan beberapa buku yang tersimpan didalam rak. Ruangan ini benar-benar kalem dan sangat mencerminkan karakter pemiliknya. Tentu saja saat aku mengedarkan pandangan tidak kutemukan sentuhan feminism sama sekali. Semuanya macho dan serba gelap meskipun tidak segahar kamar Rein. Ah.. sekali lagi aku membandingkan Rein dengan Erwin.
“Kau akan tidur disini, Hanjie,” katanya seraya meletakan koperku di dekat lemari. Pria itu sepertinya hendak mempermudahku untuk menata barang-barangku. Namun perkataan itu tidak serta merta kuterima bulat-bulat.
“Bukannya ini kamarmu?” akan lebih logis bagi kami berdua untuk pisah ranjang. Sebab sekali lagi kami tidak menikah dengan landasan cinta. Dan perasaan melankolis seperti itu tidak melekat pada dari kami.
“Kamar kita,” koreksinya tegas. Pria itu sepertinya tidak sedang bercanda. Dan memang bukan tipe pria yang suka berkata konyol dan jahil.
“Aku mau tidur dikamar lain,” tuturku sama tegasnya pula. Aku tahu meskipun dia berstatus sebagai suamiku namun menjadikannya sebagai pelampiasan bukanlah hal yang benar. Aku tidak suka membuat kesalahan terlalu dalam.
“Sayang sekali tidak ada kamar lain di rumah ini. Pilihannya hanyalah kau tidur di kamar ini. Ruangan lainnya sudah kusulap jadi ruang kerjaku, sisanya hanyalah gudang rongsokan. Kau tidak berencana untuk tidur disana bukan?”
“Kalau begitu aku tidur di sofa,”
“Itu bukan tempat yang tepat untuk tidur Nona,”
“Sudah kuduga sebaiknya aku pulang kerumah orangtuaku saja,”
“Apa kau mau berbuat sesuatu yang ceroboh lagi? Mereka akan kecewa kalau tiba-tiba saja kau pulang kerumah mereka padahal kita baru saja menikah. Akan ada banyak pertanyaan tidak mengenakan padamu, dan mereka pasti akan menuduhku melakukan hal yang kasar padamu,” kali ini Erwin bergerak maju. Pria itu membawa langkahnya untuk mendekat padaku yang sedang duduk di ranjang miliknya.
“Kenapa mendekat?”
“Aku ingin jatah makan siangku. Aku sudah menahannya sejak perjalanan kita. Rasanya tidak adil bila kita melakukannya sekali saja. itupun saat kau sedang mabuk. Honestly, I want my little minx back,” tuturnya halus tak lupa dia menyelipkan sebuah seringai licik diwajahnya.
“Kau tahu alasan kita melakukannya karena aku mabuk berat saat itu, tidak ada alasan bagiku untuk melakukannya yang kedua kali,” meskipun aku tidak menampik bahwa aku memang menikmatinya. Tapi hey, aku berpikir dengan otakku. Akal sehatku. Bukan dengan nafsu duniawi macam itu.
“Tapi itu tidak mengubah fakta bahwa aku sudah mengecap kenikmatan darimu dan saat ini aku menginginkannya lagi. Aku tidak sedang mencabulimu atau hal lain, status kita sekarang sudah mewajarkan kita untuk melakukannya,”
“Simpan komentar soal itu untuk nanti. Tapi yang harus kau ketahui, sejak kapan aku bersedia menjadi pelipur laramu?” tantangku sengit. Ucapannya memang tidak salah. Dia memang berhak atas diriku sejak dia menyelamatkanku dari rasa malu. Tapi mengingat bahwa hatiku tidak untuknya, rasa bersalah akan semakin menumpuk dan aku tidak menginginkan sesuatu yang menyusahkan seperti itu mengganggu hidupku.
Namun gertakan bibir tak cukup untuk melumpuhkan Erwin, sebab selanjutnya pria itu mendorongku begitu saja hingga aku terlentang dikasurnya. Tanpa buang waktu sedetikpun pria itu sudah berada diatasku. Membatasi ruang gerakku. Mengurungku dengan seenaknya. Dan yang bisa kulakukan hanyalah menatap wajahnya lagi dalam jarak yang teramat dekat.
“Erwin,” aku tidak mengucap namanya untuk menggoda. Tidak ada keinginan untuk hal seperti itu. namun rupanya seruku diartikan demikian. Sehingga senyuman seksi yang sempat kulihat ditengah ketidaksadaran malam itu dapat aku nikmati sekali lagi saat ini.
“Hm?” dia mendekatkan bibirnya pada bibirku.
Ah… kurasa ini akhirnya, aku tidak bisa menang.
“Kerutan didahimu kurasa kau butuh anti aging sebagai pertolongan pertama,” aku tidak tahu bahwa kata-kata cukup efektif untuk menghentikan dirinya berlaku lebih. Sepertinya niatan pria itu berbuat sesuatu buyar sudah oleh kata-kataku barusan. Sebagai gantinya dia menggulingkan tubuhnya kesampingku.
“Memangnya kenapa dengan itu?”
“Kau jadi terlihat lebih tua daripada usiamu yang sebenarnya,” ujarku jujur. Tapi aku tahu pasti mengapa dia sampai memiliki kerutan permanen di antara alisnya. Kebiasaannya yang terlalu banyak berpikir pasti menjadi penyebab kerutan itu terbentuk secara alami diwajahnya.
“Memang kenyataanya aku lebih tua darimu, tidak ada yang perlu disanggah soal itu. Kau pernah dengar men aging like a wine? Semakin tua usianya maka pria akan semakin nikmat. Lagipula aku pribadi tidak pernah tertarik apalagi terobsesi agar bisa terlihat lebih muda atau paling tidak awet muda. Menurutku itu hanya buang uang dan juga waktu.”
“Kalau kutanya apa kau tak suka melihat wanita muda yang cantik dan seksi ?”
“Jujur saya aku suka,”
“Nah, karena itulah. Menurutku sebagai wanita dan juga pendapat perempuan diluar sana, kami harus pandai menjaga penampilan. Kalau tidak pria milik kami akan lebih tertarik pada perempuan lain dan direbut. Pola pikir yang unik bukan?”
“Kurasa tidak. Hanya saja dalam sudut pandangku menjadikan kalimat istriku sudah tidak menarik lagi sebagai pembenaran dari perselingkuhan hanya akan dilakukan oleh pria dungu yang tidak benar-benar mencintai istrinya. Aku tidak munafik mengatakan bahwa penampilan itu memang sumber daya daripada ketertarikan pertama itu berasal. Namun rupa akan berubah seiring berjalannya waktu. Dan yang tersisa hanyalah kepribadiannya saja, ketika kau mencintai semuanya berdasarkan landasan tersebut, kurasa hubungan yang langgeng bukan mitologi,”
“Tidak kusangka kau punya sisi romantis begini. Kau punya impian menikah hanya dengan satu wanita seumur hidupmu begitu?”
“Memang kau pikir aku ini pria seperti apa? Justru yang ingin kutanyakan adalah apa kau tidak punya sisi sentimental dalam hidup sampai kau menyikapinya sedatar itu?”
“Hah.. wanita mana didunia ini yang ingin bercerai? Kurasa mereka memilih pilihan itu karena tidak sanggup akan kondisi yang mereka alami. Dan sudah tidak memungkinkan lagi untuk berjalan dalam sebuah bahtera rumah tangga bersama suaminya,”
“Kalau menurutmu begitu, apa sekarang kau akan mengusahakan dan menjalankan pernikahan ini hingga maut memisahkan seperti janji kita berdua di altar? Karena aku ingin kau berdiri disampingku bukan sebagai mantan pacar adikku. Tapi lebih pada sebagai istriku,”
“Iam your wife, off course,” aku menunjukan padanya tepat pada jari manisku yang terselip cincin sederhana. Cincin yang dia bawa entah dari mana sebagai cincin pernikahan kami.
“Then, do what a wife do,” ujarnya. Aku tertawa.
“Sayang sekali aku tidak punya bakat untuk bersih-bersih dan memasakan makanan yang lezat untukmu setiap hari. Apa kau pria dengan pemikiran seperti itu? jika ya, maka akan kutegaskan padamu detik ini bahwa mungkin kita tidak akan sejalan. Aku tidak cocok untukmu,”
“Kau bukan seorang pelayan dirumah ini Nyonya Erwin. Aku tidak memandangmu untuk melakukan segala hal itu sebagai kewajibanmu. Tapi jika kau bisa melakukannya tentu akan sangat bahagia karena merasakan dicintai sepenuhnya olehmu. Kau itu menarik karena berlidah tajam dan berotak cerdas. Aku tak punya prinsip yang membuatku harus memandangmu lebih rendah dariku. Kalau perlu kau bisa mendominasiku jika kau mau,”
“Aw, lucu sekali mendengar omong kosong manis ini darimu,”
“Serius, aku tidak keberatan melakukannya loh. Aku sedang bersungguh-sungguh memberikanmu penawaran menarik yang terbatas,”
Aku tertawa, bukankah ini candaan lucu yang bisa kudengar dari orang kaku macam Erwin?
“Kau itu sang pria Alfa. Sosok yang disegani dan dihormati oleh seluruh karyawan di kantormu. Buat apa sosok seperti itu merendahkan dirinya untuk tunduk terhadapku?”
“Apa sebuah kesalahan bagi seorang suami untuk memuja istriku sendiri? Lagi pula kalau aku tidak salah ingat kau itu tipe wanita yang selalu menurut pada apapun yang Rein katakan padamu. Justru aneh bagiku melihatmu yang keras kepala dan sangar di ruang rapat bahkan tidak memiliki argument untuk berdebat dengan kekasihnya sendiri. Aku sendiri tidak habis pikir mengapa dulu kau selalu menuruti segala inginnya padahal dia memperlakukanmu sesuka hati,”
“Kau tahu, cinta yang pertama kali hadir dalam hidup adalah sesuatu yang tidak bisa dipahami dengan nalar dan juga akal. Dulu aku melakukannya karena aku tidak mau kehilangan dia. Oleh sebab itu aku memilih untuk mengalah daripada harus bertengkar. Kau juga suka pada wanita yang penurut bukan?”
“Tidak. Kalau untuk alasanmu yang tidak ingin kehilangan kurasa aku bisa mencoba untuk memahaminya. Karena saat itu kau mencintainya tanpa syarat. Tapi dalam sudut pandangku merendahakn dirimu sendiri bukanlah cara yang bijak dan baik untuk mempertahankan seseorang untuk berada disisimu. Seperti yang kau alami sekarang.”
“Ya, pelajaran yang teramat berharga untukku. Tentu saja. Boleh kita mengakhirinya ? aku bosan topik kita hanya berada disekeliling adikmu saja,” tuturku. Sebetulnya aku hanya sedang mencoba untuk menghindari topik ini. Sebab bagaimanapun juga didalam lubuk hatiku yang terdalam luka yang dia buat masih terlalu segar dan menganga lebar. Aku membutuhkan waktu yang tidak terbatas untuk healing.
“Hanjie..”
“Ya?”
“Biarkan perasaan itu pergi jauh dari sisimu. Rasa sakitnya akan segera hilang. Sebab aku ada disini bersamamu. Dan tugasku adalah menjauhkan pikiranmu dari Rein,”
“Dengan cara apa?”
“I will be your distraction.”
“Lucu sekali, kau yakin mau melakukannya secara cuma cuma begini? Jelas dari sudut manapun ini sama sekali bukan pertukaran yang adil. Kau itu hanya akan kujadikan sebagai pelampiasan yang secara tak sadar kubuat sebagai perbandingan. Aku tidak bisa dan tidak akan mau menjadi istrimu bila dengan setengah hati yang tidak utuh begitu,”
“Justru karena aku sadar akan konsekuensinya aku menawarkan diriku sebagai alat yang bisa kau manfaatkan. Aku tidak keberatan soal itu. lagipula aku tahu kau masih memiliki kewarasan yang tersisa untuk menarik sebuah kesimpulan bahwa aku berbeda dengan adikku. Aku hanya ingin memberimu kebahagiaan yang layak karena aku adalah suamimu.”
Aku bisa melihat jelas determinasi yang pria itu suguhkan dari matanya. Jelas sekali aku tahu betul bahwa Erwin berbeda dengan Rein hanya saja, aku tidak sanggup untuk menggunakan dia sebagai pelampisan cintaku dimasa lalu meskipun dia yang menawarkannya padaku. Meskipun pria itu berniat untuk menolongku, haruskah aku menggenggam tangan itu ?
“Aku akan menjadi wanita yang paling jahat didunia ini karena menggunakanmu sebagai alat Erwin. Padahal kau pria yang sebaik ini,”
“Tidak apa-apa. Sebab aku sendirilah yang nekat mencintai wanita jahat seperti ini. Resikonya aku yang akan tanggung,”