"Apa kau baik-baik saja, Lil?"
Pertanyaan itu didengar Lilac saat dia membuka mata. Yang pertama dilihatnya adalah langit-langit ruangan yang berwarna krem, bau obat-obatan pekat memasuki indra penciumannya, membuatnya menyadari di mana sekarang dia berada. Ruangan dokter di sekolahnya. Astaga apa yang telah terjadi padanya?
Lilac bangun dengan pelan, menumpukan siku sebelah kiri ke atas matras, tangan kanan memijit pelipisnya yang berdenyut. "Apa yang terjadi padaku?" tanyanya pada Evory yang berdiri di samping tempat tidurnya. Dia membantunya untuk duduk dengan nyaman, Evory menyusun beberapa bantal, menumpuknya di belakangnya untuknya bersandar.
"Kau pingsan saat Mr. Adams memperkenalkan diri di depan kelas kita." Evory meringis. Menurutnya kejadian itu sedikit memalukan. Entah apanyang terjadi sehingga Lilac berteriak mengusir seseorang atau sesuatu. Kedua tangannya berada di atas kepala, seolah melindunginya dari suatu benturan. Setelah itu pingsan, dan dia membawanya ke sini.
"Mr. Adams?" ulang Lilac setelah Evory menyelesaikan ceritanya. "Siapa dia?"
Evory memutar bola mata jengah. Lilac tidak mengenal Mr. Adams, guru baru mereka, itu merupakan sesuatu yang sangat menyebalkan. Di saat nyaris semua siswa perempuan di sekolah mereka mengidolakan guru baru mereka yang tampan, Lilac justru bertanya siapa pemilik nama itu.
"Kau tidak amnesia, 'kan, Lil?" Mulut Evory meruncing saat bertanya. "Sangat menggelikan saat kau bertanya seolah Mr. Adams bukan siapa-siapa."
Lilac memejamkan mata, bahunya mengedik tanpa peduli. "Aku masih ingat semuanya tidak ada yang terlupa. Hanya saja aku lupa siapa itu Mr. Adams."
Lilac tidak bercanda, dia mengatakan yang sebenarnya. Dia benar-benar tidak mengenal guru yang namanya seperti yang disebutkan Evory. Nama itu asing di telinganya. Mungkin memang benar ada guru baru yang bernama Mr. Adams, dan dia masih belum mengenalnya. Entahlah.
Evory berdecak. "Kupikir kau hanya pingsan, bukan tidak lupa ingatan. Namun, sepertinya kau memang amnesia, padahal kepalamu tidak terbentur apa pun saat kau pingsan tadi." Dia meraba dahi Lilac, memeriksa suhu tubuhnya. Jika demam, berarti Lilac hanya meracau saja.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Lilac memprotes. Dia menepis tangan Evory menjauhkannya dari dahinya. "Jika kau pikir aku demam, maka aku salah Evy. Aku hanya tidak mengerti dan tidak tahu kenapa aku berada di sini!" belalaknya.
Iya, Lilac yakin jika telah terjadi sesuatu yang tidak masuk akal. Seingatnya dia di dalam kelas, duduk di sebelah Evory yang membeku seperti sebuah boneka porselen. Tak hanya Evory, tetapi juga seluruh teman-teman sekelasnya. Mereka semua dijadikan patung hidup oleh Azazel yang masuk ke kelas mereka menggantikan Miss Cameron. Azazel mengancamnya karena dia tidak mau mengikuti pria itu ke dunianya, dan menolak untuk menjadi pengantinnya. Azazel marah, kemudian berubah menjadi ratusan burung gagak yang mematukinya. Setelah itu, Lilac tidak ingat apa-apa lagi. Dia terbangun, dan menemukan dirinya tengah berbaring di ranjang di ruang kesehatan sekolahnya.
"Azazel!" Lilac berseru tanpa sadar. Dia menatap Evory yang juga balas menatapnya sambil memutar bola mata. "Apa?" tanyanya melihat cara Evory menatapnya.
Sekali lagi Evory berdecak. "Bukankah sangat tudak sopan memanggil gurumu dengan nama depannya?" Dia balas bertanya. Wajahnya menunjukkan protes. "Yeah, aku tahu Mr. Adams memang sangat muda untuk dipanggil Mr. Panggilan itu kurang cocok untuknya, aku sangat mengerti. Namun, bagaimanapun dia tetap guru kita."
"Apa?" Lilac terbelalak. Azazel guru baru mereka? Astaga, dia tidak sedang bermimpi, 'kan? Lilac menepuk-nepuk pipinya sedikit lebih keras, dan rasanya sakit. Pipinya juga terasa panas, artinya dia tidak sedang bermimpi. Lilac menggelengkan kepala, masih berharap jika Evory hanya bercanda seperti biasanya.
"Astaga, Lily, bisakah kau tidak berteriak seperti itu?" Evory memukul-mukul bagian atas telinganya. Lilac berteriak di dekat telinganya sehingga rasanya berdengung. Memang bukan salah Lilac, salahnya yang mencondongkan tubuh ke arahnya. Niat hati ingin berbisik, gosip terbaru yang beredar di sekolah mereka terbilang panas karena menyangkut guru baru mereka. Sepertinya semua yang berhubungan dengan Mr. Adams akan selalu menjadi topik perbincangan yang panas mulai saat ini. "Kau membuat telingaku berdengung. Rasanya aku mendengar suara sekumpulan lebah saat kau bicara."
Lilac memutar bola mata. Evory sangat berlebihan menurutnya, mana ada suaranya seperti suara lebah. Lagipula, dia tak bicara setelah terkejut saat mengetahui Azazel benar-benar menjadi guru di sekolah mereka. Azazel Adams, nama yang aneh. Lilac yakin jika nama belakang pria itu adalah nama palsu, maksudnya bukan nama belakang Azazel sebenarnya. Dia yakin, Azazel tidak memiliki nama belakang.
"Apa kau tahu, seluruh sekolah membicarakan Mr. Adams." Evory memberi tahu seolah apa yang dikatakannya adalah sesuatu yang sangat penting. Senyumnya sangat manis, tatapannya penuh minat, ekspresi tubuhnya menunjukkan ketertarikan yang sangat. "Anak-anak kelas dua belas bahkan sudah membuat sebuah klub penggemar untuknya."
Lilac melongo. Klub penggemar? Bukankah itu terlalu berlebihan? Dia yakin, jika mereka mengetahui siapa Azazel sebenarnya, tidak akan ada satu pun lagi perempuan yang mengidolakannya. Siapa yang mau memiliki idola yang ternyata seorang iblis? Lilac melirik Evory, menggeliat jijik melihat raut wajahnya yang tak ubah seperti para siswa perempuan yang sangat suka bergosip. Baiklah, Evory memang menyukai gosip. Bisa dikatakan dia adalah pencari berita dan gosip yang handal. Dia tak pernah ketinggalan semua berita di sekolah selama ini adalah karena Evory.
Namun, reaksinya sekarang sedikit berlebihan. Melalui senyumnya yang terkesan genit, Lilac dapat menyimpulkan jika Evory sangat tertarik pada Azazel. Astaga! Padahal Evory yang memintanya agar menjauhi dan tidak terpengaruh pada Azazel. Sekarang justru Evory yang terlihat sangat bernafsu untuk mendekati pria itu.
"Kutebak, pasti para pemandu sorak itu," sahut Lilac malas. Dia sungguh tak tertarik pada topik obrolan mereka pagi ini. Ini masih pagi, bukan? Jangan katakan jika sekarang sudah siang, atau bahkan sore. Dia tak ingat n ketinggalan kelas.
Evory mengangguk penuh semangat. "Tepat sekali!" Dia menjentikkan jarinya tepat di depan wajah Lilac. "Apa kau mau menjadi anggotanya?" tanyanya.
"Tidak, terima kasih!" Lilac menggeleng cepat. "Aku tidak tertarik...."
"Tunggu sampai kau benar-benar melihatnya!" potong Evory cepat. Mata berkilat indah, seperti seseorang yang sedang jatuh cinta. "Kau pasti akan menarik kata-katamu itu." Dia tersenyum manis, membayangkan betapa tampannya Mr. Adams. "Aku yakin kau juga akan mengatakan hal yang sama denganku jika kau sudah bertemu dengannya." Dia mengibaskan rambut sepunggungnya. Rambut itu dicat dengan warna brunette sehingga membuatnya terlihat semakin mirip gadis barat daripada gadis Asia.
Lilac mengedikkan bahu. Dia benar-benar tak peduli. "Terserah kau saja, tetapi aku yakin aku tidak akan sepertimu," katanya mencibir. "Kuharap kau tidak benar-benar tertarik padanya. Maksudku, hubungan guru dan murid bukan sesuatu yang bisa dibanggakan."
Evory mendelik tajam mendengarnya. "Aku tidak sebodoh itu, Lil!" dengusnya, "Aku hanya mengaguminya, buka jatuh cinta!"
Lilac mengangguk. "Kuharap seperti itu," katanya tanpa tersinggung sedikitpun. Dia tahu Evory tak pernah serius dengan emosinya. Mereka berdua sama, oleh karena itu persahabatan mereka dapat terjalin dengan lama.
Sebagai seorang sahabat, Lilac merasa perlu untuk memperingatkan Evory tentang bahayanya berdekatan dengan Azazel. Di tak ingin Evory kenapa-kenapa, tadi Azazel sudah mengancamnya akan mencelakai orang-orang yang dekat dengannya, hanya karena dia menolak untuk bergabung bersamanya. Astaga, ini sangat menyebalkan. Dia tak pernah mengira jika pria di mimpinya bisa ditemuinya di dunia nyata.
Lilac mengembuskan napas sedikit kuat melalui mulutnya. Dia tidak tahu apanyang harus dilakukannya sekarang. Dia hanya bisa berharap Azazel tidak melaksanakan ancamannya, dia tak ingin terjadi sesuatu pada teman-temannya, mereka tak bersalah. Apa yang terjadi padanya tadi pagi membuatnya yakin jika Azazel memang benar-benar bukan seorang manusia. Sepertinya benar apa yang diceritakan Evory tentang Azazel, dia percaya padanya. Sebenarnya dia sudah tahu cerita tentang Azazel, tapi dia mencoba untuk menyangkal semuanya, dan menganggap semua itu hanya mitos dan takhayul belaka.
Namun, dengan semua kenyataan ini membuatnya harus percaya, walaupun dengan terpaksa bahwa Azazel memanglah seorang raja iblis.
***
Saat mereka keluar dari ruang kesehatan, ternyata hari masih siang. Padahal Lilac berharap hari sudah sore agar dia bisa langsung pulang saja ke rumah. Meskipun tidak akan aman karena Azazel.pasti dapat menemukannya di mana pun dia bersembunyi, setidaknya mereka tidak bertemu lagi di sekolah hari ini.
"Kupikir sekolah sudah bubar, ternyata masih siang."
Evory tertawa mendengar perkataan Lilac. "Apa kau bercanda?" tanyanya disela tawa. "Aku tidak akan mau menemanimu di ruang kesehatan jika selama itu kau pingsan."
Lilac hanya memutar bola mata, terlalu malas untuk berdebat dengan Evory. Apalagi saat ini sahabatnya sedang jatuh pada pesona Azazel yang memang tak biasa. Jujur saja, seandainya dia tidak mengetahui siapa Azazel sebenarnya, mungkin dia juga akan memujanya seperti teman-teman perempuan sekolahnya.
"Ayo, ke kantin!"
Lilac membiarkan Evory menarik tangannya menuju ke tempat yang disebutkannya tadi. Tempat yang menjadi favorit hampir seluruh siswa saat jam istirahat. Tempat mereka bebas melakukan apa pun, kecuali perundingan dan seks tentunya.
Seluruh kursi sudah ditempati, tidak ada yang kosong lagi yang bisa mereka duduki. Kantin penuh saat mereka tiba. Lilac mengembuskan napas melalui mulut dengan cukup keras sehingga menarik perhatian Evory.
"Tenang saja, Lil, kita pasti bisa duduk. Seperti biasanya." Evory tersenyum madu. Dia melangkah ke arah meja yang ditempati oleh para pemuda dari klub basket. Beberapa dari pemuda itu menyukai Lilac, dia sudah mengetahuinya. Tentu mereka tidak akan keberatan memberikan kursi mereka untuk gadis yang mereka sukai.
Lilac hanya tersenyum melihatnya. Evory memang sangat pandai memanfaatkan segala sesuatu. Lilac hampir melangkahkan kakinya untuk menyusul Evory karena sahabatnya sudah mendapatkan kursi untuk mereka duduki, dua orang pemuda anggota klub basket memberikan kursi mereka padanya, sebelum sebuah bisikan menyentuh gendang telinganya.
"Ikut denganku!"
Sepasang alis pirang Lilac bertaut. Dia sangat hafal.demgan suara ini. Suara yang berat dan dalam khas suara laki-laki dewasa. Suara dari pria yang tadi pagi mengancamnya. Suara Azazel. Lilac mencoba mengabaikan, tetapi kembali bisikan kali ini dengan lebih keras
"Jangan coba-coba melangkahkan kakimu ke sana, jika kau tak ingin menyesalinya. Aku tahu kau sangat menyayangi Evory ...."
Lilac memutar leher ke kanan dan ke kiri, mencari keberadaan Azazel. Dia yakin pria itu pasti berada di sekitar sini. Meskipun tidak menutup kemungkian dia kembali ke dunianya, atau di mana pun karena bukan manusia sepertinya bisa berada di mana saja dalam sekejap mata.
Iya! Sekarang Lilac memercayai jika Azazel bukanlah manusia, melainkan raja iblis seperti cerita yang selama ini didengarnya dari mulut ke mulut, juga seperti tertulis dibuku yang dibaca Evory beberapa minggu yang lalu.
Gerakan kepala Lilac berhenti saat tatapannya tertuju pada pintu kantin. Sosok pria yang selama ini selalu hadir dalam mimpi di setiap malamnya, berdiri tegak di sana. Lilac memicing, menatapnya menantang. Dia tak mau menuruti permintaan Azazel, tetapi juga tak ingin sesuatu terjadi pada sahabatnya. Dengan sangat terpaksa Lilac memutar tubuh, menyeret kakinya menemui Azazel yang menunggu di depan pintu kantin.
Melihat Lilac melangkah mendekat, Azazel berbalik untuk meninggalkan tempat itu. Langkah kakinya pendek dan lambat, sengaja untuk menunggu Lilac yang tengah berjalan ke arahnya tanpa memedulikan seruan Evory yang memanggilnya. Azazel tersenyum miring, gadisnya ternyata bisa Hadi penurut juga.
"Apa yang kau inginkan?" Lilac langsung bertanya tanpa berbasa-basi terlebih dahulu. Ingat, dia bukan gadis-gadis teman sekolahnya yang mengidolakan bahkan menyukai Azazel, dia adalah satu-satunya gadis yang tidak tertarik pada pesonanya.
"Langsung pada titik permasalahan. Sangat dirimu sekali." Azazel tersenyum mengejek. "Tidakkah kau ingin berbasa-basi?" tanyanya menaikkan sebelah alis tebalnya.
Lilac mendengkus kasar, mengerang dalam hati merasakan udara yang keluar dari rongga hidungnya. Rasanya sedikit panas, tidak hangat seperti biasanya, seolah seekor naga yang bernapas api. Sepasang alisnya berkerut melihat reaksi para siswa yang berpapasan dengan mereka. Para siswa itu menatap mereka dengan aneh, seolah tidak pernah melihat sepasang manusia berjalan berdampingan. Baiklah, Azazel memang guru mereka, baru, dan memiliki banyak penggemar. Namun, bukan pemandangan yang aneh ketika seorang guru berjalan bersama siswanya.
"Mereka tidak bisa melihatku, hanya bisa melihatmu."
Lilac berdecak. "Bagus sekali, sekarang mereka akan mengira aku gila karena berbicara sendiri!" gerutunya dengan mulut meruncing.
Tawa Azazel pecah. Perkataan Lilac terdengar sangat lucu di telinganya, tingkahnya sangat menggemaskan. Seandainya saja ia bisa menyentuhnya lebih intim, sudah dilumatnya bibir yang mengerucut itu. Sayangnya ia tidak bisa melakukannya. Mereka baru saja bertemu, ia baru saja menemukannya setelah beratus-ratus tahun menunggu. Masih harus menunggu beberapa saat lagi agar ia bisa menyentuhnya agar Lilac tidak terbakar dan menjadi abu.
"Berhenti tertawa, tidak ada yang lucu!" bentak Lilac dendam mata membelalak. Dia tak lagi peduli dengan apa yang dipikirkan para siswa tentangnya. Dia hanya ingin tahu kenapa Azazel memanggilnya. "Katakan saja kenapa kau memanggilku!" pintanya ketus. Dia mengangkat dagu sambil terus melangkah di samping Azazel.
"Bisakah kau santai sedikit?" tanya Azazel tanpa menatap. Ia fokus pada koridor yang mereka lalui, padahal Lilac yakin jika Azazel tidak akan menabrak meskipun berjalan dengan mata terpejam. "Kau menang selalu terburu-buru!" sungutnya
"Itu tidak benar!" Lilac membantah dengan tegas tuduhan Azazel. Dia menggelengkan kepalanya. "Aku hanya ingin semuanya segera berakhir..Asal kau tahu, sangat tidak menyenangkan melihatmu dengan tatapan aneh, seolah saja kau mahkluk asing. Jadi, cepat katakan apa yang kau inginkan, aku tidak ingin dihukum karena terlambat masuk kelas Apa kau mengerti?"
"Itu tidak akan terjadi." Azazel menggeleng. "Kay tenang saja," katanya tersenyum. Senyum yang membuat wajahnya terlihat semakin tampan.
Lilac mengakuinya, Azazel semakin tampan saat tersenyum. Oleh sebab itu, dia membuang muka, tak ingin terpesona seperti yang terjadi pada Evory dan yang lainnya.
"Setiap kita berbicara, waktu akan berhenti bagi yang lainnya."
Lilac menatap Azazel cepat dengan tatapan tidak mengerti. Apakah Azazel membuat semuanya menjadi patung seperti tadi pagi?
"Tidak seperti itu, Lily." Azazel membantah apa yang ada dalam pikiran Lilac. "Kau sendiri busa melihat teman-temanmu bergerak, mereka mengobrol dan bercanda."
"Lalu?" tanya Lilac memutar bola mata. Dia menghentikan langkahnya saat mereka berada di balkon."Bisa saja, 'kan, kau menipu pandanganku. Aku yakin itu tidak sulit bagimu."
Azazel mengangguk. "Iya, aku bisa melakukannya," akunya sombong. "Namun, aku tidak melakukannya sekarang. Aku hanya menghentikan perputaran waktu."
"Maksudmu?" tanya Lilac sedikit ragu. Dia merapikan anak-anak rambutnya yang diterbangkan angin menutupi wajahnya, menyelipkan di telinganya.
"Kau pasti paham maksudku." Azazel menumpukan kedua tangan pada pagar balkon untuk menyangga berat tubuhnya. Ia sedikit membungkuk, tatapan lurus ke depan. "Aku menghentikan waktu, tetapi tak menghentikan aktivitas manusia. Oleh sebab itu mereka terus bergerak tanpa menyadari jika jarum jam tak lagi berputar."
"Kau sangat berlebihan sekali," komentar Lilac tanpa rasa kagum. Berlebihan katanya, tetapi terlihat biasa saja baginya.
"Tidak!" Sekali lagi Azazel menggeleng. Ia memutar kepala, menatap Lilac yang berdiri di sampingnya. Dia menyandarkan punggung pada pagar pembatas. "Apa pun akan kulakukan untukmu."
Lilac menoleh ke samping kanannya, menaikkan pandangan menatap Azazel yang juga tengah menatapnya. "Ini semua tidak ada hubungannya denganku. Kau melakukannya atas kemauanmu sendiri."
"Terserah jika kau tidak percaya." Azazel memutuskan kontak mata mereka lebih dulu. Ia kembali menatap ke arah udara kosong di depannya. "Aku hanya ingat n memperingatkanmu untuk tidak dekat-dekat dengan laki-laki mana pun. Kau adalah pengantinku, hanya aku yang boleh dan bisa dekat denganmu."