"Katamu tadi kau ingin bicara denganku, katakan saja sekarang apa yang ingin kau bicarakan!" pinta Lilac tanpa menatap Azazel yang berdiri di sampingnya. Dia hanya menatap pria itu sekilas, kemudian kembali fokus pada pemandangan kosong di depannya. Sesekali dia merapikan rambutnya yang tertutup angin. Di ketinggian, angin selalu berembus lebih kencang.
Azazel tak langsung menjawab. Ia menoleh ke samping kirinya, di mana Lilac berada. Posisi mereka bertentangan, gadis itu —Lilac— menghadap ke arah depan, menatap udara kosong sejauh mata memandang.
Pemandangan di samping gedung sekolah memang bukan pemandangan yang cantik. Tak ada apa-apa di sana, hanya udara kosong. Ada gedung-gedung menjulang, tetapi beberapa mil jauhnya. Entah apa yang membuat Lilac betah menatap ke sana, sementara pemandangan yang jauh lebih cantik baginya adalah gadis itu.
Lilac sempurna, tak ada yang dapat menandinginya. Setidaknya di mata seorang Azazel yang selalu menganggap semua orang itu sama.
"Kau terlalu tergesa-gesa, Lily," sahut Azazel masih dengan menatapnya. Ia terpesona melihat anak-anak rambut pirangnya yang tertiup angin. Seperti helaian emas yang berkibar.
Lilac berdecak, menoleh dengan galak. "Aku tidak ingin ketinggalan pelajaran lagi!" ketusnya. Dia mengangkat dagu angkuh. "Kau hanya membuang waktuku saja!"
Lilac memutar tubuh, berniat meninggalkan tempat itu. Namun, belum lagi dia melangkah, tangannya sudah dicekal oleh Azazel. Pria itu menatapnya tajam tak terbantah.
"Apa lagi?" tanya Lilac. Nada suaranya tak ramah. Dia menatap tangannya yang berada dicekalan Azazel. "Lepaskan tanganku!" pintanya dengan gigi terkatup.
Azazel menaikkan sebelah alisnya. Sepasang susut bibirnya tertarik ke atas sedikit, membentuk seringai. Ia kagum pada keberanian Lilac yang tidak merasa terintimidasi sedikit pun dengan sikap dan tatapannya yang menusuk.
"Apa kau lupa apa yang kukatakan padamu tadi?" Azazel menarik Lilac kembali ke tempatnya semula.
Ah, bukan. Pria itu hanya mengedipkan matanya, dan dia sudah kembali pada posisinya yang tadi. Kedua tangan bertopang pada pagar balkon dengan tatapan lurus ke depan. Lilac mendengkus kasar, dia lupa jika pria menyebalkan ini dapat melakukan spa pun, termasuk menghentikan waktu.
"Senang kau mengingatnya."
Lilac mendelik. menatap Azazel dengan tatapan membunuh.
"Sebab kau sudah ingat, jadi kau tidak perlu ke mana-mana sebelum aku selesai bicara." Azazel memutar tubuhnya empat puluh lima derajat, berhadapan dengan Lilac yang masih tetap menghadap ke depan. "Kuharap kau tidak keberatan."
Lilac berdecak. Keberatan pun percuma, dia tidak bisa ke mana-mana, Azazel mengunci kedua kakinya agar tidak dapat bergerak. Bukan tidak dapat bergerak dalam artian sebenarnya, dia dapat menggerakkan seluruh anggota tubuhnya. Hanya saja tidak dapat ke mana-mana. Maksudnya, dia dapat bergerak, tetapi tidak menjauh apalagi pergi dari tempat ini.
"Sama sekali tidak keberatan!" sahut Lilac penuh penekanan. "Asalkan aku tidak terlambat mengikuti pelajaran. Jadi, cepatlah bicara dan jangan membuang waktuku lagi!"
Azazel tertawa keras mendengarnya. "Kau pikir siapa dirimu, sehingga bisa memerintahku?" tanyanya setelah tawanya reda.
Lilac memutar tubuh, sehingga kini mereka berhadapan. Dia mengangkat dagunya angkuh. "Aku Lilac Bryne, dan aku adalah seorang gadis manusia yang memiliki derajat jauh lebih tinggi dibandingkan iblis sepertimu. Apa kau sadar itu?" tanyanya menantang.
Bukannya dia tidak takut pada pria di depannya ini, dia hanya sedang berusaha melawan dan mengesampingkan rasa takutnya itu. Dia tak ingin terus menerus dihantui oleh ketakutan terhadap pria yang mengaku sebagai raja iblis.
Tawa Azazel kembali pecah, tetapi tak sekeras tadi. Ia mengakui jika Lilac adalah gadis yang sangat pintar. Kepandaiannya berbicara di atas rata-rata. Selain itu, dia juga dapat mengatasi seluruh perasaan negatif dalam dirinya dengan baik. Meskipun tubuhnya sedikit gemetar, dia berusaha menutupinya dengan sangat baik.
"Bagaimana mungkin kau bisa berpikir seperti itu?" Azazel bertanya setelah menghentikan tawanya yang hanya sepersekian detik itu. "Kau terlalu tinggi menilai dirimu, Manusia!" katanya dengan nada dingin yang mengejek.
"Benarkah begitu?" Lilac menaikkan sebelah alisnya. "Lalu, kenapa raja iblis yang terhormat mau berbicara denganku yang kau anggap rendah?" balas Lilac berani.
"Sepertinya kau juga tidak terlalu suka berbasa-basi, baiklah aku akan memberi tahu penawaran yang akan aku ajukan." Azazel membalas tatapan Lilac dengan tajam dan dingin.
"Penawaran?" ulang Lilac. Nada suaranya melembut seiring rasa penasarannya. "Penawaran apa?"
Azazel menyembunyikan seringainya di balik senyum manis. Ia sudah mengetahui, banyak manusia akan kalah pada rasa penasaran mereka, termasuk gadis di depannya ini yang sekarang menatapnya dengan tatapan penuh ingin tahu.
"Jika aku mengatakannya padamu sekarang, kau tidak akan bisa mengelak," kata Azazel sambil memainkan mata menggoda.
Lilac berdecak. "Katakan saja sekarang, tidak usah berbelit-belit!" pintanya ketus. "Kau hanya membuang waktuku. Apa kau sadar jika kau terlalu lama?"
"Baiklah!" Azazel memiringkan kepala ke sebelah kanan, sampai menyentuh bahunya. Sikapnya berubah serius, tatapannya dingin, tajam menusuk. "Sebenarnya ini tidak bisa disebut sebagai penawaran karena aku tidak menawarkan. Ini adalah sebuah keharusan."
Lilac tidak bersuara. Dia hanya menatap Azazel lekat-lekat, menatap bibir merah alaminya yang bergerak berbicara, tanpa berkedip. Seolah dia takut akan ketinggalan sebuah kata jika melakukannya.
"Apa kau bersedia?" tanya Azazel karena Lilac tidak menjawab pertanyaannya. Gadis berambut pirang itu hanya menatap bibirnya. Meskipun tidak berarti apa-apa, tetap saja ia bergetar. Sial!
"Katakan saja dulu apa yang kau inginkan, setelah itu baru aku akan memutuskan untuk menerimanya atau tidak."
Azazel menggeleng. "Sayangnya, kau tidak memiliki kuasa untuk memilih," katanya tersenyum.
Lilac membuang muka. Senyum manis Azazel terlihat sangat menyebalkan baginya. Pria itu seolah mengejeknya.
"Kau hanya memiliki satu pilihan, yaitu ikut denganku ke istanaku menjadi pengantinku, atau...."
"Kau pikir aku mau?" tanya Lilac cepat. Suaranya meninggi, wajah cantiknya memerah, embusan napasnya terasa panas. Azazel mempermainkannya. "Tidak akan!" geramnya tegas.
Azazel melipat tangan di depan d**a. Ia menyandarkan bahu bagian bawahnya, menempelkannya pada pagar pembatas balkon. "Sudah kukatakan kau tidak memiliki pilihan, kecuali ...."
Sengaja Azazel menggantung perkataannya. Ia tahu jika Lilac memiliki rasa penasaran yang besar, selain itu juga dia tidak sabaran. Ia pasti berhasil memancing emosinya. Wajah cantik itu semakin memerah, dadanya naik turun seiring tarikan napasnya yang memberat.
"Kecuali apa?" tanya Lilac cepat.
"Kecuali kau ingin melihat orang-orang yang kau sayangi, satu persatu, celaka."
Azazel mengatakannya dengan nada yang biasa saja, tetapi Lilac benar-benar marah mendengarnya. Kedua tangannya mengepal kuat di sisi tubuhnya, wajahnya mengeras, napasnya tersengal. Azazel sudah keterlaluan baginya, pria itu sangat tidak lucu.
"Jangan pernah mengganggu orang-orang yang aku sayangi, mereka tidak bersalah!" raung Lilac murka. "Masalah ini antara kita berdua, jangan pernah melibatkan orang lain!"
Azazel tersenyum miring. "Jika kau benar-benar peduli pada mereka, tak ingin mereka terluka, apalagi sampai meregang nyawa, maka ikutilah denganku!' Ia mengulurkan tangan. "Sambut tanganku, dan kita pergi bersama ke istanaku, memimpin mereka semua yang menghambakan diri padaku."
Lilac goyah, tubuhnya bergetar hebat. Jika hanya dirinya yang diancam, dia tidak takut. Namun, ini adalah orang-orang yang disayanginya, mereka yang dekat dengannya. Sungguh, dia tak ingin terjadi sesuatu pada mereka. Dia akan merasa sangat bersalah jika apa yang dikatakan oleh Azazel adalah sebuah fakta, pria itu akan menyakiti mereka.
Akan tetapi, untuk menerima permintaannya yang sangat tidak masuk akal itu, rasanya juga tidak mungkin. Dia bukan pengantin Azazel, bukan calon istri seorang raja iblis. Dia tidak ingin pergi bersama Azazel dan meninggalkan semua ini.
Dia akan melawannya. Iya, mereka semua pasti bisa bertahan dan melawan hal apa pun yang akan terjadi pada mereka. Azazel bukan malaikat, apalagi Sang Pencipta. Pria itu hanyalah seorang iblis terkutuk dan hina, tidak akan bisa menyentuh manusia jika tidak mendapatkan jalan.
Lilac menatap Azazel dengan tatapan mengejek, kedua tangan terlipat di depan d**a, dagunya terangkat angkuh. "Aku menolak!" katanya penuh penekanan. "Aku bukan pengantinmu, dan tidak tertarik untuk menjadi pengantinmu."
"Kau sungguh-sungguh?" tanya Azazel dengan sebelah alis terangkat. Ia sudah tahu jawaban Lilac pasti akan seperti ini, ia sudah membacanya. Semua pikiran Lilac seperti sebuah buku yang terbuka di depannya. Kekalutannya membuatnya sangat mudah terbaca. "Tidak akan menyesal jika terjadi sesuatu pada orang yang kau sayangi?"
Lilac kembali ragu, kepercayaan dirinya memudar begitu mendengar orang-orang yang disayanginya disebut. Mungkin benar dia dapat melindungi dirinya sendiri, tetapi bagaimana dengan yang lainnya? Mereka tidak tahu apa-apa, tidak tahu apa yang mengancam mereka, tidak akan percaya jika dia menceritakan yang sebenarnya. Bahkan dia yakin jika bercerita pada Evory, gadis itu juga tidak akan memercayainya. Evory termasuk salah satu gadis yang mengidolakan Azazel.
"Aku masih menanti jawabanmu, Lily."
Lilac tersentak mendengar suara itu, padahal nadanya biasa saja. Tidak datar, apalagi dingin, tetapi terdengar seperti suara terompet kematian di telinganya.
"Kuberi waktu selama satu minggu untuk memikirkannya." Azazel menarik tangannya yang sejak tadi terus terulur karena Lilac tak kunjung menyambutnya. Ia melipatnya di depan d**a. "Namun, untuk membuktikan bahwa aku serius, kau lihat saja besok apa yang akan terjadi kepada salah satu temanmu."
Mata biru Lilac melebar. Apa maksud Azazel berkata seperti itu? Namun, belum lagi dia bertanya apa maksud pria itu, Azazel sudah menghilang dari hadapannya, menyisakan beberapa ekor burung gagak yang langsung terbang menjauh setelah menatapnya beberapa saat.
Suasana langsung berubah, terdengar suara berisik di mana-mana. Lilac menengok kanan dan kirinya, terkejut karena mendapati dirinya sudah berada di dalam kelas. Dia duduk di kursinya, tepat di sebelah Evory yang tengah memeriksa buku catatannya.
"Astaga, aku lupa mengerjakan tugas dari Mr. Shawn!" Evory memekik dengan penuh drama. Kedua tangannya memegang kepala. Dia menatap Lilac sambil menggigit bibirnya. "Lily, apakah kau sudah mengerjakannya?" tanyanya pada Lilac yang menatapnya sambil memutar bola mata.
Mr. Gorge Shawn adalah guru matematika mereka. Pria berusia di awal kepala empat itu sebenarnya cukup tampan seandainya kepalanya ditumbuhi rambut dengan sempurna. Sayangnya, separuh dari kepalanya sudah sangat licin alias botak, sehingga kadar ketampanannya menurun. Ditambah lagi dengan sifatnya yang emosian dan sangat suka menghukum siswa yang tidak mentaati peraturan, terutama saat di jam pelajarannya.
Banyak siswa yang menjadikan Mr. Shawn sebagai bulan-bulanan. Bahkan ada yang membuat kostum Halloween dengan menggunakan dirinya sebagai model. Terdengar konyol memang, tetapi para siswa justru beramai-ramai melakukannya. Sekarang, setiap Halloween tiba, kostum Mr. Shawn akan menjadi salah satu yang paling diburu para siswa di sekolah mereka.
Lilac mengangguk. "Aku sudah menyelesaikannya," jawabnya santai.
Evory tersenyum madu. "Bolehkah aku meminjamnya sebentar?" tanyanya meminta sambil mengedip-kedipkan matanya.
Lilac menggeleng. "Tidak!" jawabnya tegas. Dia paling tidak suka dengan hal contek mencontek. "Kau paling tahu aku, Evy, aku tidak suka pada hal semacam itu."
Dia membuang muka, menatap ke arah jendela kaca di sebelah Evory. Tanpa sengaja Azazel lewat di sana, sepertinya pria itu akan memasuki kelas di sebelah kelasnya. Cepat-cepat Lilac menatap ke arah lainnya, sebelum pandangan mereka bertemu. Sungguh, dia tak ingin bersinggungan dengan pria itu lagi, setidaknya hari ini. Sudah cukup Azazel membuatnya seperti orang gila.
Untungnya Mr. Shawn langsung memasuki kelas mereka, sehingga pikiran Lilac tidak mengembara ke mana-mana lagi. Dia sangat lelah karena Azazel. Pertemuan pertama mereka sungguh menguras tenaganya. Dia perlu istirahat sedikit lebih banyak dari biasanya untuk mengembalikan tenaganya seperti sediakala.
Jam bubar sekolah adalah waktu yang paling ditunggu semua siswa. Meskipun begitu, banyak juga siswa yang masih bertahan di sekolah. Mereka menghabiskan waktu sore harinya dengan berada di halaman sekolah atau di perpustakaan yang akan dibuka sampai matahari terbenam.
Lilac bukan termasuk salah satu siswa yang suka memgajbsiakn waktu di sekolah. Jika sekolah bubar, maka dia akan segera pulang —keluar dari lingkungan sekolah. Menghabiskan waktu di pusat perbelanjaan atau di kedai es krim lebih menyenangkan daripada di halaman sekolah, apalagi perpustakaan. Dia bukan seorang gadis kutu buku, jauh daripada itu, jadi perpustakaan bukanlah tempat favorit Lilac untuk menghasilkan waktu.
"Sampai besok di sekolah, Lily!" seru Evory setelah Lilac berada di depan pintu pagar rumahnya yang terbuat dari besi.
Rumah Lilac juga sama seperti rumah lainnya di komplek perumahan. Hanya saja, ayahnya memasang pagar besi agar dapat membedakan dengan mudah rumahnya dengan rumah yang lainnya. Bentuk rumah yang nyaris sama membuat seseorang terkadang sulit untuk mengenali rumahnya.
Lilac memutar tubuh, mengangguk sambil tersenyum, kemudian melambaikan tangannya saat Evory melajukan mobilnya menjauh. Dia memang selalu diantar Evory setiap pulang sekolah. Evory tidak seperti dirinya, di usia tujuh belas tahun, Evory sudah diperbolehkan untuk membawa mobil ke sekolah. Berbeda dengan dirinya yang masih belum diberikan izin.
Sampai sekarang, dia masih diantar Papa untuk pergi ke sekolah, dan pulang ikut Evory, atau jika tidak pulang menggunakan bus sekolah. Seperti dulu saat Evory kasih belum diperbolehkan membawa kendaraan sendiri ke sekolah.
Lilac langsung menaiki tangga dengan cepat. Dia sangat merindukan kamarnya, rasanya sudah sangat lama dia tidak mengunjunginya. Terdengar sangat berlebihan saat tadi pagi dia baru saja meninggalkannya. Entahlah, sepertinya pertemuannya dengan Azazel di sekolah mengubah semuanya. Susana hatinya memburuk, semakin bertambah buruk saat dia membuka kamarnya dan menemukan burung peliharaannya mati tertusuk bulu gagak hitam.
Lilac menggeram dengan kedua tangan terkepal kuat. Azazel sudah membunuh Bibi, burung kenari yang sudah dirawatnya beberapa bulan ini.