Bab 5. Threat

2106 Words
Sampai beberapa menit masih tak ada yang bersuara. Semua terkesima menatap ke depan kelas mereka, di mana pria berambut hitam itu berdiri tegak di sana dengan tatapan mengarah pada mereka –para siswanya. Tatapan tajam yang mengingatkan Lilac akan suatu tempat yang didominasi warna abu-abu. Udara di sekitar Lilac seakan menipis, dia kesulitan bernapas, dadanya terasa sesak, seolah ada sebongkah batu besar yang menghimpit. Berapa kali pun dia mengucek mata, wajah pria yang berdiri di depan sana tetap tidak berubah. Wajah itu adalah wajah Azazel. Datar, dingin, dan tanpa senyum. Lilac meneguk ludah kasar, mencubit pahanya sendiri untuk memastikan dia tidak sedang bermimpi. Rasanya sakit, kulit paha kanannya terasa memanas. Dia tidak bermimpi, ini nyata, Azazel menjadi guru baru di sekolahnya. "Dia tampan!" komentar Evory penuh semangat Dia menyenggol rusuk Lilac dengan sikunya, meminta perhatian sahabatnya itu. "Ternyata gadis-gadis pemandu sorak itu tidak berbohong!" Namun, Lilac tak menghiraukan. Dia masih terkejut dan sedikit syok. Jadi, Azazel itu nyata? Mimpinya adalah nyata? Perlahan kepala pirang Lilac menggeleng, membantah apa yang ada dalam pikirannya. Pria itu pastikan bukan Azazel, dia hanyalah pria yang mempunyai wajah dan mata yang sama. Iya, pasti seperti itu. "Selamat pagi, Semuanya! Perkenalkan, nama saya Azazel. Saya adalah guru baru kalian." Lilac tersedak mendengarnya. Suaranya, dan nama pria itu. Apakah pria itu benar-benar Azazel? Lilac meneguk ludah susah payah, tenggorokannya terasa sangat kering seperti padang pasir yang gersang. Tubuhnya menggigil tanpa sadar saat tatapan mereka bertemu, napasnya berhenti beberapa saat, bahkan jantungnya terasa berhenti berdetak. Dia kembali dapat bernapas setelah Azazel memutus pandangan dengan menatap ke arah lain. Dengan rakus Lilac menghirup udara. Tangannya meraba d**a sebelah kiri di mana jantungnya berada, merasakan denyutannya yang sudah seperti sediakala. Meskipun berdetak lebih cepat dari normal setidaknya jantungnya tak berhenti seperti tadi. "Saya harap tak ada yang berbicara saat saya menjelaskan materi pelajaran, atau tidak memperhatikan. Kecuali jika kalian ingin berdiri di depan kelas selama jam pelajaran saya." Lilac melihat Evory mengangguk, gerakannya sedikit kaku seperti seseorang yang terkena hipnotis saja. Tak hanya Evory, ternyata teman-temannya yang lain pun sama. Mereka mengangguk nyaris bersamaan, tatapan lurus ke depan tanpa menengok ke kanan kiri Hanya dirinya saja yang masih bisa bergerak normal seperti biasa. Ataukah ini hanya perasaannya saja? "Tak perlu bingung, aku membuat mereka seperti itu agar tidak menyadari saat aku menyapamu." Dengan cepat Lilac mengembalikan tubuhnya ke posisi semula. Dia yang tadi menengok ke kanan dan ke kiri untuk mencari tahu keadaan teman-teman sekelasnya, sekarang menghadap ke arah depan. Lilac terperanjat, nyaris jatuh dari kursinya. Azazel sudah duduk di sisi kiri mejanya dengan menumpang kaki dan tangan terlipat di depan d**a. Mereka berhadapan. "Halo, Calon Pengantinku. Senang bertemu denganmu!" Lilac memalingkan muka, tak ingin melihat seringai yang membuat wajah itu terlihat semakin tampan. "Terima kasih, aku memang tampan," kata Azazel penuh percaya diri. Ia kembali membaca pikiran Lilac, juga pikiran semua siswa yang berada di ruangan ini. Sebenarnya tak hanya siswa di ruangan ini, tetapi seluruh sekolah. Ia dapat menjangkau seluruh dunia, membaca pikiran mereka seolah mereka berbicara langsung padanya. Lilac memutar bola mata jengah, mendongak, menatap Azazel dengan mata memicing dan bibir yang mengerucut. "Bisakah kau menurunkan sedikit rasa percaya dirimu yang terlalu tinggi itu?" pintanya dengan nada mengejek. "Aku takut kau akan jatuh. Aku yakin kau tahu jika jatuh dari ketinggian itu rasanya sakit. Satu lagi, kembalikan teman-temanku seperti semula, mereka bukan boneka!" "Tidak ada yang mengatakan jika mereka adalah boneka," sahut Azazel tak peduli. Ia mengedikkan bahu. Lilac berdecak. "Terserah apa katamu, yang penting kau mengembalikan mereka seperti semula." " Bagaimana jika aku tidak mau?" tanya Azazel datar. "Asal kau tahu,.Lily, aku tidak suka diperintah." "Astaga, apa yang kau inginkan?" Lilac balas bertanya dengan murka. Dia berdiri tepat di depan Azazel yang masih berada di posisi yang sama. "Mereka teman-temanku, dan kau membuat mereka seolah patung hidup. Jangan bercanda, Azazel!" Azazel menatap Lilac dengan sebelah alis terangkat. Gadis itu berdiri di depannya dalam jarak hanya beberapa inchi. Dengan ia duduk seperti sekarang, tinggi mereka seolah sejajar. Ia tinggal mengulurkan tangan maka Lilac akan berada dalam pelukannya. Namun, ia tidak melakukannya. Ia berusaha keras menhan tangannya agar tetap berada di posisi semula. "Aku tidak pernah bercanda dengan setiap perkataanku, Lilac Bryne. Buktinya sekarang aku berada di sini, tepat di depanmu." Lilac meneguk ludah kasar. Melirik Evory dengan ekor matanya, mengerang melihat sahabatnya masih saja seperti tadi. Evory seakan kaku, tak bergerak sedikitpun. Dia tak ingin mengakui jika Azazel bukanlah pria biasa. Mungkin benar apa yang selama ini didengarnya, mungkin cerita raja iblis bukan sekedar mitos saja. "Aku bukan mitos, Lily." Azazel menundukkan kepala sekilas, menatap ujung sepatunya yang mengilat. "Aku nyata, sebuah fakta yang sering diingkari oleh manusia." "Seolah kau bukan manusia saja!" Lilac mencibir. "Kau sama saja sepeti aku dan yang lainnya, Azazel!" Seringai tampan terbit di bibir merah pucat alami Azazel. Ia tahu, Lilac mencoba mengingkari fakta tentang siapa dirinya sebenarnya. Gadis itu tidak takut, Lilac hanya meragukan dirinya. "Jika aku manusia sama sepertimu, lalu bagaimana caranya aku bisa membawamu ke alam mimpi?" tanyanya. "Daerah itu adalah daerah kekuasaanku, mimpi para manusia sangat absurd dan aneh, sama seperti harapan mereka yang selalu ingin mendapatkan yang terbaik. Selalu ingin tetap cantik di usia yang tak lagi muda, ingin memiliki kekayaan berlimpah, dan tidak bertambah tua." "Berhenti mengoceh yang tidak penting!" bentak Lilac. "Aku tidak tertarik dengan bualanmu!" Mata birunya membelalak. Azazel mengedikkan bahu cuek. "Aku hanya berbicara sesuai fakta," katanya tanpa mengubah posisi, tetap duduk di sisi kiri meja Lilac. Hanya letak kedua tangannya saja yang berubah, ia memasukkannya ke dalam saku celana. "Kau juga pasti menginginkan hal yang sama, tak ingin menua dan mati, ingin tetap cantik seperti sekarang ini." Lilac terpaku. Sorot matanya yang tadi tajam sekarang meredup. Dia memikirkan perkataan Azazel, bahwa semua yang dikatakan pria itu adalah benar. Tak ada manusia yang ingin tua dan mati, banyak dari mereka yang ingin hidup abadi sampai-sampai membuat segala macam penelitian untuk mendapatkannya. Jujur saja, dia juga tak ingin mati, apalagi di usia semuda ini. Masih banyak hal yang belum dicapainya. Dia juga tak ingin terlihat jelek. Meskipun tidak mengagungkan kecantikan seperti yang lainnya, dia tetap bangga akan kecantikannya. "Ikutlah denganku ke duniaku, Lily. Kau tidak akan bertambah tua, memiliki kemudaan abadi, dan akan tetap cantik seperti dirimu saat ini." Azazel tidak menyiakan kesempatan. Jiwa manusia Lilac yang sedang kebingungan dan goyah merupakan saat yang tepat untuk memengaruhinya. Membawa Lilac ke dunianya sebagai pengantinnya adalah tujuan utama Azazel saat ini. Untuk manusia yang lain, sidah ada anak buahnya yang bertanggung jawab akan hal itu. Jika manusia itu lemah, maka mereka dia akan memilih untuk menjadi abdinya. Jika manusia itu kuat dan tidak tergoda,, ia akan membiarkannya. Berarti manusia itu bukan bagiannya, Michael atau Gabriel yang lebih beruntung memdspatkan mereka. Sebagai seorang penguasa kegelapan, ia tidak pernah memaksa seorang manusia pun untuk menjadi pengikutnya. Ia hanya menawarkan kepada mereka yang mau saja. Lilac memiliki kepribadian dan tekad yang kuat. Dia keras kepala, tak mudah terpengaruh, sehingga ia tidak mudah untuk bisa mendekatinya. Ia harus menunggu usia Lilac tujuh belas tahun barulah bisa memasuki mimpinya, dan menariknya yang tengah tertidur ke dalam dunianya. Hanya sedikit dari dunianya yang ditunjukkannya pada gadis itu. Bukannya ia tidak memercayainya, ia hanya ingin menunjukkannya pada Lilac jika gadis itu sudah mengingat semuanya. Sebelum itu, ia terus akan mencoba untuk memengaruhinya, Sebenarnya, ia tak ingin mengajak Lilac ke dunianya sebelum ingatannya tentang mereka kembali Namun, ia juga tidak akan menolak seandainya Lilac mau pergi bersamanya sekarang Ia yakin, gadis itu pasti akan ingat siapa dirinya setelah berada di dunianya. "Ayo, Lily, kita pergi ke duniaku untuk kehidupan abadi kita!" Azazel berdiri tegak, mengulurkan tangannya pada Lilac, berharap gadis itu mau menyambutnya agar mereka bisa pergi dan tinggal bersama selamanya. Lilac menatap uluran tangan itu. Hampir saja ia tergoda, tangannya sudah terulur untuk menyambut tangan Azazel, sebelum pikiran sehatnya kembali kala seekor kupu-kupu dengan sayap keperakan melintas tepat di depannya. Perhatian Lilac teralihkan oleh kupu-kupu itu. Dia tersenyum melihat sepasang sayap keperakan yang mengepak dengan cepat. Lilac tersadar, otak pintarnya kembali bekerja. Kemudaan dan hidup abadi memang keinginan hampir setiap manusia, tapi tidak semua manusia berpikiran picik seperti itu. Tetap hidup di usia muda dan cantik memang penting, tapi menua juga tak kalah penting karena dengan bertambahnya usia manusia semakin berpengalaman dan dapat menghargai hidup dan menjalaninya dengan lebih berwarna. Dengan cepat Lilac menarik tangannya. Ia ingin menua dan memiliki sebuah keluarga untuk tempatnya pulang Azazel menggeram tertahan, dadanya bergemuruh. Padahal sedikit lagi tangan mereka akan bersentuhan, tapi Lilac kembali menariknya. Seandainya tangan mereka bersentuhan sedikit saja, ia pasti dapat membawa Lilac langsung ke dunianya saat ini juga. "Terima kasih tawarannya, tapi aku tidak tertarik!" Lilac membuang muka. "Sekarang kuminta kembalikan teman-temanku seperti semula dan bersikaplah sebagai seorang guru yang baik dengan mengajari kami sungguh-sungguh karena aku dan teman-temanku masih memerlukan pengajaran dari Miss Cameron." Dia menatap Azazel dengan dagu terangkat angkuh. "Berhubung kau menggantikan beliau maks ajari kami seperti Miss Cameron mengajari kami." Azazel mengangkat sebelah alisnya, menatap Lilac penuh intimidasi. "Siapa kau berani memerintahku?" tanyanya dingin. "Calon pengantinmu!" sahut Lilac tak kalah dingin. Dia tidak pernah merasa terintimidasi, apalagi oleh pria di depannya ini Dia tidak takut padanya, selama mengatakan yang benar. Senyum tipis seperti seringai terbit di bibir merah alami Azazel. "Kau mengakuinya?" tanyanya tanpa menyembunyikan ejekan dalam nada pertanyaannya. Lilac menolaknya, tak pernah mau mengakui sebagai calon pengantinnya sehingga ia melakukan hal seperti ini –membuat para siswa di kelas ini seperti patung hidup– sebagai salam perkenalan. Seandainya saja Lilac mengakuinya sejak awal –di dalam mimpinya– tak mungkin ia muncul sebagai guru pengganti di sekolahnya. "Kau selalu mengatakannya, aku hanya mengulangi apa yang kau katakan padaku karena kupikir kau sudah lupa," sahut Lilac santai. Dia tidak akan membiarkan Azazel mengejeknya, dia tidak sebodoh yang dikira pria itu. "Aku tidak lupa, dan tidak menganggapmu bodoh," kata Azazel. Ia maju satu langkah kecil, jarak mereka semakin menipis, hanya beberapa inchi saja, ia dapat melihat sebuah tahu lalat kecil di pipi kanan Lilac. Selama ini ia tidak memperhatikannya, tak pernah melihat sampai sedetail ini. Meskipun dalam jarak jauh ia dapat melihat Lilac sedekat sekarang, tapi tak memperhatikan hal kecil itu. Tahi lalat kecil itu membuat wajah cantik Lilac terlihat semakin manis, menggemaskan. Dalam jarak sedekat ini, Azazel dapat melihat semua dengan jelas. Mata biru yang indah, yang sekarang sedang membalas tatapannya dengan tajam dan berani. Sepasang bibir mungil berwarna merah alami, ingin ia menyentuhnya atau lebih dari itu –mencium. Percayalah, mati-matian ia berusaha menahan diri agar tidak memaksakan kehendaknya pada Lilac. Ia ingin Lilac mengingatnya secara wajar dan alami, bukan dengan paksaan melalui sentuhan. Hidung kecil yang mancung, serasi dengan pipi yang sedikit chubby dan kemerahan. Azazel menggeleng kuat satu kali Tidak, ia tidak boleh menyentuh Lilac, tidak sebelum gadis itu mengingat semuanya. Ingatan Lilac harus kembali dulu agar dia tidak merasa dilecehkan. "Baguslah jika seperti itu karena aku bosan terus mendengar kata itu dari mulutmu!" ketus Lilac. Dia melipat tangannya di depan d**a. Dagunya masih terangkat, menatap Azazel tak kalah tajam. Sekali lagi, dia tidak akan takut dan terintimidasi oleh tatapan itu. Mata Azazel terlalu indah untuk bisa menakuti apalagi sampai mengintimidasinya Satu sudut bibir Azazel terangkat. Saat ini, seluruh pikiran Lilac seperti sebuah buku yang terbuka di depannya, dapat dibacanya dengan mudah. Jujur saja, ia sangat senang mendengar pujian itu, pujian yang dulu selalu didengarnya dari mulut perempuan yang sama, sebelum ingatan Lilac dirampas darinya. "Bisakah kau kembalikan teman-temanku sekarang, dan mulai mengajari kami?" Pertanyaan bernada memerintah itu membuat Azazel tertawa. Bukan tawa lepas, melainkan jenis tawa mengejek. "Kau memang calon pengantinku, Lily, tapi tetap tak bisa memerintahku sekehendak hatimu," katanya setelah tawanya reda. "Kau menolakku, kau pikir tidak ada konsekuen untuk itu?" Suara dingin itu terdengar mengerikan di telinga Lilac. Namun, denhan sekuat tenaga dia mencoba mempertahankan posisinya. Berdiri menantang dengan angkuh, meskipun terbersit takut di dalam hatinya seandainya Azazel tidak mau mengembalikan teman-teman sekelasnya seperti semula. "Ikutlah denganku, Lilac, jadilah pengantinku maka tidak akan ada sesuatu yang buruk yang akan terjadi. Tidak ajan terjadi apa-apa pada orang-orang yang kau sayangi, termasuk teman-teman sekelasmu ini." Lilac menelan ludah susah payah. Apa maksud perkataan Azazel? Apakah dia mengancamnya? Belum sempat Lilac bertanya, Azazel sudah menghilang. Tubuhnya meledak, berubah menjadi ratusan ekor burung gagak yang menyerang Lilac. Gadis itu menjerit, tangannya mengibas ke sana kemari untuk mengusir kawanan burung yang ingin mematukinya. "Pergi!" Lilac berteriak kencang "Jangan ganggu aku!" Dia melindungi kepalanya dari serbuan, menutupinya dengan kedua lengan, membiarkan lengannya dipatuki paruh burung yang runcing. Panas dan sakit terasa, Lilac yakin kulit lengannya yang tidak dilindungi apa pun, terluka. Lilac menjerit semakin keras melihat warna merah di kulit lengannya, dia juga merasakan basah dan hangat yang mengalir turun. Dia berdarah, burung-burung itu melukainya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD