Bayar Masing Masing

1252 Words
 “Elen, kau tidak apa apa?” tanya Wyne sambil menghampiriku. Aku mengangguk. “Heh, kau punya mata tidak?” hardik Alea sambil menampar pipi gadis yang menabrakku. “Maafkan aku” gadis yang menabrakku berlutut di lantai. Aku sangat terkejut melihat Wyne menampar gadis itu. “Kau tau? Harga sepatu Elena sama dengan gajimu setahun menjadi pelayan kafe!” Nancy mendorong kepala gadis itu dengan telunjuknya. Aku memijit pelipisku, bukankah gadis gadis ini adalah anak dari orang kaya? Mengapa mereka tidak diajari tatakrama? Hanya sepatuku yang kotor, sedangkan gadis yang menabrakku, baju atasannya basah oleh kuah soto.  “Sudah tidak apa apa, berdirilah,” ucapku sambil mengangkat tubuh gadis tadi. “Elen, tapi dia mengotori sepatumu,” ucap Wyne tidak terima, dia sangat ingin merisak gadis itu. Aku mengambil tisu basah di tasku lalu mengelap sepatuku. “Sudah bersih bukan?” ucapku. Aku membuka cardigan rajut yang kupakai, untung saja tadi Lela memaksaku memakai cardigan. “Bajumu basah, pakai ini biar ga masuk angin” ucapku sambil melingkarkan cardigan di bahu gadis itu. Semua orang di kantin tercengang, mereka tidak mempercayai apa yang baru saja dilihatnya. “Terima kasih,” ucap gadis itu sambil menangis. “Hey, kenapa kau menangis? Apa ada yang sakit?” tanyaku khawatir. “Apa matahari terbit dari barat?” bisik seorang siswa. “Elen, ada apa denganmu?” ucap Nancy emosi. “Kita harus memberi pelajaran pada gadis sialan ini” tambah Nancy. “Kalian sedang syuting sinetron atau apa? Masalah kecil seperti ini saja dibesar besarkan, dia tidak sengaja dan dia sudah minta maaf padaku” ucapku tenang. “Kau aneh sekali,” ucap Alea. “Siapa namamu?” tanyaku pada gadis malang itu. “Rahma” jawabnya ragu, Elena sudah sering merisaknya, tidak mungkin dia melupakan namanya. “Kau tidak mengenalnya?” tanya Wyne. “Dokter memvonisku mengalami amnesia parsial” jawabku. “Pantas saja kau aneh sejak pagi,” ucap Putri. Aku menghela nafas, aku sangat kecewa tidak ada yang mengkhawatirkan kondisi Elena. “Rahma, pergilah, ganti bajumu dengan baju kering” ucapku. Rahma berterima kasih padaku, lalu pergi meninggalkan kami. ** Sudah lima belas menit aku menunggu Lela didepan mobil, kami berjanji akan pulang bersama. Kulihat dia terburu buru menghampiriku yang sudah memasang wajah kesal. “Maafkan aku terlambat” ucapnya. “Dasar keong” sindirku. Lela melambaikan tangan kepada teman temannya, teman temannya membalas lambaian tangan Lela, aku tersenyum ke arah mereka, namun mereka membeku saat melihat senyumanku, dengan kikuk mereka membalas senyumanku. “Apakah aku semengerikan itu?” lirihku. Lela terbahak melihat reaksi teman temannya. “Selama ini kau tidak pernah tersenyum kecuali pada Farrel dan geng Queen-mu, pantas saja mereka sangat terkejut” kekeh Lela. “Aku akan sering tersenyum, bukankah senyum itu ibadah” ucapku sambil membuka pintu mobil. “Aku masih merasa mimpi bisa ke kampus nebeng mobilmu,” Lela terkikik. Biasanya Lela memakai sepedanya untuk ke kampus, jarak rumah dan kampus tidak begitu jauh. “Siapa bilang nebeng? Pak nyalain argonya,” pintaku pada pak Joko. Pak Joko tersenyum melihat tingkah kami. “Kau tahu, seluruh kampus gempar dengan berita kau menolong Rahma,” ucap Lela. “Benarkah?” “Apa kau mengatakan kau mengalami amnesia parsial?” Aku mengangguk. “Semua orang bersyukur dengan amnesiamu, mereka bilang kau lebih manusiawi sekarang, bahkan ada yang mendoakanmu agar ingatanmu tidak kembali,” “Memang aku sejahat itu dulu?” “Rahma, gadis yang kau tolong itu, sudah menjadi langganan di buli olehmu, disuruh mengerjakan tugas atau membeli makanan adalah tugas sehari harinya. Kau pernah menguncinya di kamar mandi, merusak sepedanya bahkan mengoloknya sebagai simpanan om om” jelas Lela. “Ampuni Baim ya Allah” aku menadahkan kedua tanganku keatas.. “Teman temanku pun tidak percaya saat kubilang kau sudah bertobat, mereka ingin membuktikan ucapanku saat aku bilang kau mengajakku pulang bersama” “Jadi tadi teman temanmu sengaja mengantarmu?” tanyaku tidak percaya. “Begitulah” ** Kami pulang ke rumah yang dekat dengan kampus, pak Joko dan bi Siti sudah menyiapkan semuanya. Baju bajuku sudah dibawa kesini, saat ini aku sedang berada dikamar memilih milih pakaianku, mengapa kebanyakan pakaianku kurang bahan seperti ini? “Lela, apa aku selalu berpakaian seperti ini?” tanyaku sambil mengangkat sebelah alis. “Yup, haram bagimu memakai pakaian dibawah lutut” kekeh Lela. “Lihatlah baju ini, bagaimana memakainya?” tanyaku membentangkan sebuah baju. “Itu baju model crop top, bagian perut bawah mu sudah pasti terekspos,” ucap Lela. “Apa aku tidak masuk angin memakai baju seperti ini?” aku bergidik membayangkan aku memakai baju seperti itu. “Kau hanya memakai baju agak sopan hanya saat di kampus, tapi kalo dari penilaianku, penampilan kau dan gengmu itu jauh dari kata sopan” kekeh Lela. Ponselku berdering, ternyata Wyne menelponku. “Hallo” sapaku. “Elen, ada tas keluaran terbaru, tasnya sangat bagus dan limited edition. aku tunggu kau di Mal Indah Karsa jam 7 malam. Jangan sampai terlambat!” Lalu Wyne menutup teleponnya. “Apa apaan dia?” kesalku. “Kenapa?” tanya Lela. “Dia bilang ada tas baru di Mal Indah Karsa, dan dia menyuruhku kesana,” ucapku “Dia menyuruhmu membayar tagihan tasnya,” ucap Lela malas. “What? Apa dia gila? Dikira gw ATM berjalan kali ya?” aku terpancing emosi. “Kau selalu seperti itu, tuan Marcel pernah menegurmu karena dalam sebulan tagihan kartu kreditmu mencapai 700 juta,” ucap Lela. “Apa?” aku sedikit berteriak, 700 juta bisa dipakai untuk membeli rumah cash keras tipe 36 di duniaku, disini Elena hamburkan untuk mentraktir teman temannya. Aku pergi ke Mal Indah Karsa diantarkan oleh pak Joko, aku bertemu Putri di lobi. “Hai Elen,” Lalu dia mengaitkan lengannya padaku manja. Aku hanya tersenyum saja. Putri menyeretku ke sebuah toko aksesoris mewah, di sana mereka menjual tas dan sepatu dari brand mewah berlogo LV. Di dalam toko Wyne, Alea dan Nancy telah berada disana sedang mengagumi sebuah tas. Saat mereka melihatku, kompak mereka menghambur ke pelukanku. “Elen, lihatlah tas nya sangat bagus, sangat cocok untuk kita” ucap Wyne melepaskan pelukannya. “Iya bagus” komentarku. “Lihatlah sepatunya juga sangat bagus” Alea mengacungkan sebuah wedges. “Iya bagus” tidak ada kata lain yang bisa kuucapkan. Mereka sibuk memilih tas, sepatu dan dompet. Sedangkan aku hanya duduk duduk saja, aku kurang tertarik dengan dunia fashion lebih tepatnya aku tidak pernah mengikuti tren fashion. Aku hanya membeli baju baru saat lebaran saja, itupun dibelikan oleh Ibuku. “Elen, kau tidak pilih tas atau sepatu?” tanya Alea. “Tidak, koleksi tas ku masih banyak,” aku beralasan. Saat mereka selesai memilih, barang barang mereka telah berada di kasir, saat kasir meminta mereka untuk membayar, kompak mereka melirik ke arahku. “Apa?” tanyaku. “Kau akan membayarnya untuk kami bukan?” tanya Wyne dengan senyuman manisnya. “Kenapa harus?” tanyaku. “Kau adalah ketua geng kami, sudah seharusnya kau membayar semua ini,” ucap Putri. “Aturan dari mana itu?” tanyaku cuek. “Bayar saja, ga usah pelit!” nada Nancy naik setengah oktaf. Mereka sudah gila, batinku. Total tagihannya adalah 178 juta. Mereka masing masing membeli tas, sepatu dan dompet. Harga tas kira kira 20 jutaan, sepatu berkisar 17 jutaan dan dompet sekitar 5 jutaan. “Maafkan aku, kalian kan tahu aku mengalami amnesia, aku lupa sandi kartuku, sampai sekarang ayahku belum mengurus semuanya,” ucapku. “Apa?” mereka kompak berteriak. “Bayar masing masing saja, apa susahnya? Kalian kan anak orang kaya,” ucapku cuek.                
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD