Wajah mereka berempat seketika menjadi pucat pasi, mereka tidak sekaya itu menghabiskan uang sebanyak 40 juta untuk sebuah tas, sepatu dan dompet. Uang bulanan mereka hanya berkisar 30 juta perbulan.
Mereka tidak mungkin membatalkan barang barang yang telah mereka pesan, jika mereka melakukan itu, nama mereka akan di blacklist dari pelanggan VIP bahkan mungkin mereka tidak akan diizinkan lagi masuk kedalam toko ini. Ditambah kabar mereka tidak sanggup membayar akan tersebar di kampus. Mau ditaruh dimana muka mereka?
Dengan berat hati, masing masing dari mereka mengeluarkan kartu kreditnya, mereka memutuskan membayar dengan cicilan 6 bulan, sudah pasti setelah ini mereka akan dimarahi habis habisan oleh orang tua mereka.
Setelah berbelanja, kami singgah di kafe yang terletak di depan mal.
“Apa kau punya uang untuk membayar makananmu?” tanya Nancy dengan sengit.
“Tenang saja, aku membawa uang cash 500 ribu” ucapku santai.
Mereka melirikku dengan pandangan tidak suka, sebenarnya apa salahku? Mengapa mereka menatapku dengan tatapan bermusuhan.
“Aku sudah tidak berselera makan, aku pulang saja” ucap Wyne.
“Aku juga” ucap Putri dan Alea kompak.
Sementara Nancy meninggalkanku begitu saja. Elena, kau sangat menyedihkan, batinku. Mereka hanya berteman denganmu karena uang.
Aku mengacungkan tanganku untuk memanggil pelayan kafe, perutku sudah keroncongan dari tadi, lalu seorang pelayan menghampiriku.
“Kau Rahma bukan?” tanyaku.
Gadis itu hanya mengangguk.
“Kau bekerja disini? Kapan kau selesai bekerja?” tanyaku.
“Sepuluh menit lagi aku selesai bekerja” Rahma menelan salivanya, mungkin dia takut aku mencari masalah dengannya.
“Saat selesai bekerja, temani aku disini ya?” pintaku.
“Tapi—“ ucapnya.
“Aku tidak menerima penolakan” ucapku galak.
Aku memesan makanan dan minuman untuk dua orang. Sepuluh menit kemudian Rahma duduk didepanku bersamaan dengan makanan dan minuman pesananku datang.
“Rahma, teman temanku meninggalkanku sekarang, kau harus bertanggung jawab” ucapku.
Kulihat wajah Rahma menegang.
“Bertanggung jawab?” cicitnya.
“Ya, berhubung sekarang aku tidak punya teman, kau harus menjadi temanku!” ucapku sambil tersenyum tulus.
“Apa benar mereka meninggalkanmu karena aku? Maafkan aku Elena” lirihnya.
“Kau tidak mau jadi temanku?” sinisku.
“Bukan, bukan begitu, aku mau jadi temanmu” ucapnya ragu ragu.
Aku mengulurkan tanganku, dengan ragu Rahma menjabat tanganku.
“Kita resmi berteman” ucapku sambil menggoyang goyangkan tangan kami.
“Rahma, ku dengar dulu aku jahat sekali padamu. Aku minta maaf untuk semuanya” ucapku tulus.
“Tidak apa apa, yang lalu biarlah berlalu. Elen, apa benar kau mengalami amnesia?” tanyanya.
“Kenapa? Kau senang?” godaku.
“Bukan begitu, aku hanya belum terbiasa dengan perubahan sikapmu,” ucap Rahma sambil menundukkan kepalanya.
“Biasakan mulai sekarang, tadi aku cuma bercanda, teman temanku meninggalkanku bukan gara gara kamu,” ucapku menenangkan Rahma.
“Terus kenapa?”
“Mereka belanja tas, sepatu dan dompet, terus nyuruh aku bayar, sayangnya aku lupa password kartu debitku. Mereka marah terus pergi”
“Kenapa kamu yang harus bayar?”
“Entahlah, mereka bilang aku ketua geng mereka. Sepertinya selama ini aku sering membayarkan belanjaan mereka”
“Alasan yang aneh”
“Memang, dan kau tau berapa harga belanjaan mereka?”
“Berapa?”
“170 jutaan”
“Apa?” Rahma sedikit berteriak, orang orang yang berada di kafe melirik kami secara bersamaan.
“Sssttttt!” aku menempelkan jari telunjukku.
Rahma menutup mulutnya, lalu menunduk malu.
“Kau ini” aku terbahak melihat tingkahnya.
Ternyata Rahma sangat supel, aku senang mengobrol dengannya, dia mengingatkanku pada diriku yang dulu. Kuliah sambil kerja, aku tahu bagaimana rasa sulit dan beratnya membagi waktu kuliah, kerja, mengerjakan tugas dan mempersiapkan kuis dan yang lainnya.
Setelah selesai makan, aku meminta Rahma menemaniku berbelanja, masih jam setengah sembilan malam. Sepertinya aku kekurangan stok baju yang normal.
Rahma adalah siswa penerima beasiswa, sudah pasti otaknya cemerlang. Terlebih dia mengambil jurusan desain fashion. Aku memintanya memilihkan beberapa baju untuk ke kampus dan ke kantor.
Mulai minggu depan aku mulai bekerja di perusahaan gabungan ayahku dan keluarga Farrel, aku harus memakai pakaian yang layak agar terlihat meyakinkan dan dapat dipercaya.
Rahma sangat senang memilih pakaian untukku, dengan cekatan dia memadu padankan rok, celana, blazer, cardigan dan yang lainnya.
Rahma menyuruhku bolak balik mencoba pakaian, persis seperti desainer meminta modelnya mencoba semua pakaian hasil rancangannya.
“Cukup Rahma!! Aku bosan mencoba pakaian terus” keluhku.
“Ini yang terakhir, aku janji” ucap Rahma.
Dalam waktu satu jam setengah, Rahma memilihkanku sekitar 30 potong pakaian.
“Aku tidak menyangka kau sangat bernafsu saat memilih pakaian,” sindirku.
“Pakaian disini sangat bagus, ditambah tubuhmu sangat proporsional,” Rahma beralasan.
Aku memilih 7 potong pakaian untuk Rahma, jika dilihat dia adalah orang yang sederhana dan elegan, walaupun tidak begitu paham dengan tren fashion, aku masih bisa menilai bahwa pakaian pakaian pilihanku sangat cantik dan elegan.
Aku dan Rahma pergi ke kasir untuk membayar.
“Elen, bukankah kau bilang kau lupa password debitmu?” tanya Rahma khawatir.
“Aku masih punya kartu kredit dan aku sudah belajar tanda tanganku” ucapku santai.
Rahma menganggukkan kepalanya.
“Berarti tadi kau sengaja tidak membayarkan teman temanmu” kekeh Rahma.
“Dengan 170 juta, aku bisa memberi makan satu kelurahan orang orang miskin daripada di pakai mentraktir 4 temanku yang tidak tahu diri” ucapku.
“Aku setuju,” Rahma terkikik.
“Mbak yang ini dipisah ya” pintaku pada penjaga kasir.
Setelah selesai membayar, aku menyerahkan bungkusan pakaian yang telah ku pilih untuk Rahma.
“Ini apa?” tanya Rahma heran.
“Untukmu, aku harus membayar jasa calon desainer fashion terkenal” kekehku.
“Tidak perlu, sungguh! Aku senang membantumu” tolak Rahma.
“Ya sudah, kubuang saja jika kau tak mau. Aku tidak menyukai baju yang kupilih” aku berpura pura mencari tempat sampah.
“Jangan!” Rahma menarik tanganku.
“Ini sebagai bayaran atas waktu yang kau berikan padaku, jangan merasa tidak enak. Seharusnya kau sudah pulang dari 2 jam yang lalu” ucapku.
“Terima kasih banyak” ucap Rahma dengan mata berkaca kaca.
“Sama sama”.
Aku mengantarkan Rahma pulang ke rumahnya, aku bertemu dengan ayah dan ibunya, meminta maaf pada mereka karena telah mengajak anak gadisnya keluar hingga larut malam. Ayah dan ibunya menyambutku dengan ramah, mereka mengucapkan terima kasih padaku telah mengantarkan Rahma dengan selamat sampai rumah.
**
Setelah sampai rumah Lela buru buru menghampiriku.
“Hei kau kemana saja jam segini baru pulang, apa yang kau lakukan dengan mereka” cecar Lela.
“Aku mandi dulu, bau keringat nih” ucapku mengibas ngibaskan ketiakku.
“Dasar jorok!” teriak Lela.
Saat aku keluar dari kamar mandi, Lela telah standby duduk di kasurku.
“Cepat ceritakan!” perintahnya.
Aku terkekeh melihat tingkah Lela, jika dalam tubuh ini masih jiwa Elena akan beda cerita. Lalu aku menceritakan kejadian di mal tadi, mulai dari tidak membayarkan belanjaan geng Queen, makan dan berbelanja bersama Rahma, sampai mengantarnya pulang.
“Aku sangat senang Elen, mengapa kau tidak amnesia dari dulu saja!” ucapnya sambil memeluk erat tubuhku.
“Kau ini bicara apa, lepaskan aku” aku menepuk nepuk lengan Lela yang kuat memelukku.
“Maaf maaf, aku senang sekali kau sudah kembali ke jalan yang benar, yang kutahu Rahma adalah gadis yang sangat baik, pitar dan pekerja keras,” ucap Lela.
“Ya aku tahu, kembali ke kamar mu sana, besok bukannya kita ada kelas pagi,” usirku.