“Semua dokumen balik nama untuk semua aset dan properti keluarga Pradipta sudah ku urus. Marcel, kau hanya memiliki 10% dari aset dan properti keluarga Pradipta sekarang,” paman Tomi menatap lurus ayahku.
“Apa kau akan diam saja melihat semua hartamu dirampas oleh Elena?” Ibu tiriku murka.
“Semua itu memang miliknya,” lirih Ayahku.
“Bukannya tante menikah dengan ayahku karena cinta? Mengapa sekarang ribut masalah harta?” cibirku.
Wajah ibu tiriku memerah menahan amarah, jelek sekali.
“Dengan 10% dari asetku kau akan hidup bahagia dan tidak kekurangan harta sampai tua, anggap saja itu rasa terima kasihku untukmu telah merawat ayahku,” ucapku dingin.
Lela dan paman Tomi terkikik mendengar ucapanku, sungguh suatu tamparan keras untuk wanita yang haus akan harta.
“Lalu bagaimana dengan Clara? dia juga putri seorang Pradipta,” cecar Ibu tiriku yang masih belum menyerah setelah dipermalukan.
“Tante, bukankah dia akan menjadi menantu keluarga Atmajaya? Dia tidak akan kekurangan harta. Bukankah kau selalu bilang Clara tidak pernah silau terhadap harta?” aku tersenyum menyebalkan.
Hingga saat ini Elena tidak pernah memanggil Susan dengan panggilan Ibu.
“Hanya itu saja yang ingin aku beritahukan kepada kalian, senang sekali aku bisa menghadiri pertunangan kalian,” Sindirku.
Lalu aku berlalu meninggalkan mereka, dan pulang ke vila diantar paman Tomi.
**
Vila keluarga Pradipta
“Aku puas sekali melihat wajah wajah frustasi mereka” kikik Lela.
Saat ini kami sedang berbaring di kamarku, setiap malam Lela tidur di kamarku, mengobrol hingga larut malam sudah menjadi kebiasaan kami.
“Elen, kapan kau akan masuk kampus?”
“Besok sepertinya. Aku akan pindah jurusan”
“Apa? Kau akan pindah jurusan apa?”
“Manajemen Bisnis.”
“Ini adalah semester genap, kau harus menunggu sampai semester depan.”
Aku mengangguk paham, semester 4 baru dimulai minggu kemarin, sebenarnya aku tidak membutuhkan kuliah, aku sudah lulus S1 diduniaku, namun tetap saja Elena membutuhkan ijazah.
Sebuah pesan masuk kedalam ponselku.
[Aku perlu bicara denganmu] nama pengirimnya adalah Husband Wannabe.
Aku hampir muntah melihat nama yang tertera di ponselku, Elena sungguh alay. Buru buru ku ganti nama Husband Wannabe dengan Sampah Daur Ulang.
Aku tidak membalas pesan yang dikirimkan oleh Farrel.
“Siapa?” tanya Lela.
“Kepo” aku menjulurkan lidah.
“Farrel?” tebaknya.
Aku mengangguk, lalu aku memperlihatkan nama Sampah Daur Ulang kepada Lela, Lela terbahak melihat nama yang kugunakan untuk Farrel di ponselku.
“Kau sudah benar benar membencinya?”
“Sebenarnya, aku melupakan semua ingatan ku dengannya, hanya sebagian kecil saja yang aku ingat, kau tau sendiri kalau aku menderita amnesia parsial,” kilahku agar Lela tidak curiga.
“Syukurlah, aku senang mendengarnya, Tuhan emang baik, menghapuskan ingatan dan rasa cintamu yang menyakitkan” ucap Lela.
Aku menganggukkan kepalaku. Saat ini aku hanya menyukai wajah tampannya yang mirip Cha Eun Woo, selain itu maaf saja. Mentang mentang tampan maksimal bisa menyakiti wanita seenaknya saja.
Yang membuat aku benar benar membencinya adalah, mengapa dia harus melamar adik tirinya Elena? Masih banyak wanita cantik dan baik diluaran sana. Mengapa harus Clara?
Farrel seperti menaburkan garam dan cuka diatas luka.
**
Keesokan harinya, aku mulai masuk sekolah. Aku berangkat bersama Lela diantarkan pak Joko.
“Pak, apakah kita bisa beli rumahi rumah di sekitar kampus?” tanyaku.
Jarak antara vila ini dan kampus lumayan jauh, sepertinya tenaga dan waktu kami akan terkuras di perjalanan.
“Tidak usah beli Nak, keluarga Pradipte memiliki rumah di dekat kampus, jjaraknya hanya sepuluh menit menggunakan mobil,” jawab pak Joko.
“Kita pindah kesana saja Pak, bolak balik vila kayaknya makan waktu dan tenaga,” pintaku.
“Kau tidak akan pulang ke rumahmu?” tanya Lela.
“Malas banget aku liat muka muka orang munafik tiap hari,” kekehku.
“Benar juga,” ucap Lela.
“Memangnya kau mau kembali lagi kesana?” tanyaku.
“Tidak juga,” Lela mengulum senyumannya.
Malam tadi Lela menginap di kamarku, dia menjelaskan secara rinci teman temanku di jurusan Desain, terutama geng sosialitaku. Ternyata Elena membentuk sebuah geng dengan nama Queen beranggotakan Elena, Nancy, Putri, Wyne dan Alea.
Mereka semua adalah gadis cantik nan sombong yang hobi menindas orang lain, tidak ada yang berani mengusik geng Queen ini, karena ayah Elena adalah pemilik yayasan kampus mereka.
Mahasiswa lain lebih memilih menghindari dan tidak mencari masalah dengan geng Queen ini, karena mereka takut dibuli atau bahkan di keluarkan dari kampus.
“Lela, nanti pas jam istirahat kau temani aku makan di kantin ya,” pintaku.
“Dih, males banget. Geng Queen memiliki kursi khusus di kantin kampus, tidak ada yang berani makan disana,” jelas Lela.
“Kekanakan sekali,” cibirku.
“Kau yang membuatnya,” kekeh Lela.
Aku memijat lembut pelipisku, di dalam film yang kutonton memang diceritakan Elena memilki geng bernama Queen, dan mereka hobi mencari masalah dan merisak orang lain, tapi aku tidak menyangka akan separah ini. Aku yakin banyak orang yang membenci Elena di kampus.
Saat memasuki kelas, kulihat Clara sedang menyombongkan berlian ungu dari keluarga Atmajaya. Aku sama sekali tidak meliriknya, Wyne dan Putri bergegas menghampiriku.
“Elen, kau sudah sehat? Maafkan aku tidak sempat menjengukmu,” ucap Wyne.
“Iya maafkan aku juga tidak sempat menjengukmu,” tambah putri.
“Teman macam apa kalian?” batinku.
“Tapi kalian sempat ya menghadiri pertunangan Farrel dan Clara,” sindirku.
Mereka sangat keterlaluan, saat di pertunangan Farrel dan Clara, aku melihat semua anggota geng Queen hadir memberikan ucapan selamat.
“Jangan marah, aku hanya menuruti perintah ayahku, dia memaksaku datang karena ayahmu mengundang keluarga kami langsung,” Wyne memberi alasan.
Aku duduk di sebuah kursi kosong dan tidak menghiraukan mereka, sahabat macam apa mereka, seharusnya mereka merusak pertunangan Farrel dan Clara demi Elena, Elena adalah teman mereka. Bisa bisanya mereka datang ke pertunangan mantan tunangan sahabatnya disaat Elena meregang nyawa.
Aku akan mengakhiri hubungan pertemanan tidak sehat ini, Elena selalu dimanfaatkan tanpa pernah diperhatikan.
Aku menyimak dengan serius saat dosen menerangkan pelajaran, aku sangat suka belajar hal yang baru, walaupun aku tidak pernah belajar desain, tapi aku cukup menikmatinya.
Saat jam makan siang, aku pergi ke kantin, Alea dan Nancy telah berada di kursi khusus yang disediakan untuk geng Queen. Alea dan Nancy tidak satu jurusan denganku, mereka mengambil jurusan Hubungan Internasional.
Aku mencari sosok Lela, namun tidak menemukannya, tiba tiba Wyne dan putri menyeretku ke kursi khusus geng Queen.
“Sudah lah jangan marah karena hal kecil, Elen!” sepertinya Wyne atau Putri mengadu pada Alea.
“Kau seperti anak kecil saja,” tambah Nancy.
“Aku pesan makanan dulu,” aku malas membalas perkataan mereka.
Saat aku baru saja lima langkah meninggalkan meja.
BRAK!
Seseorang menabrak tubuhku, aku terhuyung ke belakang. Sepatuku kotor terkena jus alpukat.