Episode 8 : Ingkar

1573 Words
Senyum hangat menghiasi wajah Azura yang tengah fokus menatap sang putri. Masih sangat pagi, tapi Dara sudah menemuinya yang tengah menyiapkan sarapan di dapur. “Aku mau bahas hal penting!” lirih Dara benar-benar takut. Ia sampai tidak berani menatap Azura. Tatapannya terus menepis tatapan sang mamah. Azura mesem, terus berusaha bersangka baik sekalipun kenyataan Dara yang terlihat sangat gelisah, sudah langsung membuatnya tak bisa tenang. “Hal penting apa? Apakah ini semacam kejutan?” Iya, Azura sangat berharap, kejutan indahlah yang akan Dara berikan dan sampai membuat putrinya itu tidak bisa tenang layaknya sekarang. Ya ampun kejutan! Batin Dara yang refleks menggigit kuat bibir bawanya. Bagaimana bisa kedatangan Billy yang akan mengabarkan kehamilan Dara, malah dikira sebagai kejutan? Yang ada justru aib. Dara dan Billy telah membuat aib untuk keluarga mereka! Pikir Dara. “Dara ...?” “A-nu, Mah ....” “Iya, enggak apa-apa, katakan saja.” Azura masih menuntun Dara, berharap putri pertamanya itu mau terbuka kepadanya layaknya ketika Dara melakukannya pada Fean. Selang lima menit dari kedatangannya, Dara masih sibuk membiarkan kedua tangannya saling remas di depan perut. Selain itu, kedua kakinya juga tak mau diam, masih kerap mondar-mandir dan akan kembali bergerak asal walau Dara kembali berdiri di hadapan Azura. “Sayang ...?” Azura kian sabar bersama senyuman yang tetap ia pasang walau jauh di dalam hatinya saja, ia sudah menjerit karena khawatir. Dara sampai menahan napas saking takutnya ia pada Azura. Di hadapannya, di seberang meja dapur, Azura meninggalkan roti panggang yang awalnya tengah mamahnya itu polesi selai kacang selaku selai kesukaan keluarga mereka. Azura menghampirinya kemudian memberinya pelukan sangat hangat. Kedua tangan Azura dengan telaten membelai kepala dan juga punggung Dara. Kenyataan yang membuat Dara tak kuasa menahan kesedihan sekaligus air matanya. Dara merasa sangat bersalah, selain Dara yang merasa jijik pada dirinya sendiri. Mendengar isak dan juga sesenggukan sang putri, Azura juga ikut berlinang air mata sekalipun sebisa mungkin wanita paruh baya itu tetap berusaha tenang sekaligus tersenyum. “M-maaf, Mah ... maafkan aku karena aku sudah keterlaluan. Aku salah ... a-ku!” Dara tak kuasa melanjutkan ucapannya. Kalau Billy benar-benar mencintaiku, harusnya dia enggak membiarkan aku berjuang sendiri, kan? Pikir Dara. “Sudah enggak apa-apa. Ceritanya pelan-pelan saja.” Azura berbisik lirih tepat di sebelah telinga kanan Dara yang juga sampai ia cium. Namun, baru juga bibirnya menempel di telinga Dara, anaknya itu langsung panik ketakutan dan sampai mendorongnya hingga ia terjatuh. “J-jangan!” ucap Dara. Untuk kali ketiga, kata itu terucap bersama Dara yang masih memunggungi Dara. “Aku mohon jangan lakukan!” Dara masih meracau tidak jelas sambil membekap kedua telinganya karena apa yang Azura lakukan yaitu berbisik kemudian mencium telinga kanannya, membuatnya teringat agenda pembuktian cinta yang Billy lakukan secara paksa kepadanya. Malam itu, Billy juga melakukannya. Billy kerap berbisik dan mengabsen tubuh Dara melalui ciuman meski tentu saja, ciuman yang Azura dan Billy lakukan berbeda. Karena ketika Azura melakukannya penuh kasih sayang seorang ibu yang begitu mencintai anaknya, Billy melakukannya penuh nafsu dan terus melakukannya dengan memaksa meski Dara sibuk menolak sambil menangis ketakutan. Dara kenapa? Ya Tuhan, putriku kenapa? Azura gemetaran hebat bersama jantungnya yang benar-benar menjadi berisik. Karena yang ia tahu, tanggapan berlebihan Dara yang begitu ketakutan, tak beda dengan tanggapan dari mereka yang mengalami trauma. Namun, apa yang membuat Dara trauma dan begitu tiba-tiba? Karena tak mungkin juga putrinya itu mengigau. Bahkan ketika Azura memutuskan untuk memeluk Dara tanpa sepatah kata karena Azura takut, suaranya makin memperparah keadaan Dara. Semuanya tetap sama, Dara kembali memberontak, mendorongnya sekuat tenaga hingga Azura kembali terlempar dan berakhir terjatuh di lantai. “Danian!” Azura sengaja berteriak, memanggil sang suami karena ia terlalu bingung dengan keadaan putri pertama mereka. Di luar sana, di balik kemudinya, Fean yang masih menyimak melalui kamera pengawas, mendapati kekacauan Dara yang membuat Danian sekeluarga panik. Tampak Danian yang datang dan langsung membopong Dara. “Kita bawa Dara ke rumah sakit!” ucap Danian. “Kamu pikir Dara kita mengidap sindrom atau malah gila?!” omel Azura emosi. Ia berdiri sambil menatap Danian dengan tatapan marah. Apalagi baru saja, putri mereka justru mendadak lari, pergi meninggalkan mereka sambil menangis. Fean yang menyaksikan itu berangsur memejamkan kedua matanya. Tak lama berselang, suara Azura yang mengikuti langkah Dara terdengar sangat berisik. Tak lama setelah itu, dering tanda telepon masuk di ponsel Fean yang ada di saku sisi kanan celana panjang berbahan levis yang Fean kenakan, sukses mengusik Fean. Ternyata itu Danian. Suara Danian terdengar sangat panik. Danian meninta Fean untuk datang ke rumah secepatnya. *** Dara terduduk melamun di bawah sower yang mengalir deras. Semuanya masih sama, dari pakaian, termasuk tas yang dihiasi kamera pengawas Fean, masih melekat di tubuh Dara. Kedua tangan Dara mendekap kedua lututnya, sedangkan pikiran Dara begitu kacau. Adegan malam pembuktian cinta secara paksa oleh Billy, juga tanggapan pria itu yang malah memintanya menggugurkan janin mereka. Kenapa cinta serumit ini? Aku pikir cinta akan sepenuhnya membuatku bahagia, tapi nyatanya cinta justru membuatku terjebak dalam bahaya bahkan dosa. Dara terus menyesali keadaannya, selain Dara yang juga merasa kecewa kepada dirinya. Di luar sana, di depan pintu kamar mandi yang Dara kunci, Danian dan Azura masih sibuk membujuk. Keduanya terdengar sangat mengkhawatirkan Dara, sekalipun di beberapa kesempatan terdengar pertengkaran antara Azura dan Danian. “Enggak bisa dibuka pakai kunci serep karena dikunci dari dalam dan kunci pun masih dibiarkan terpasang, Sayang!” keluh Danian. “Kalau begitu minggir, biar aku dobrak pintunya!” tegas Azura terengah-engah. “Biarkan aku yang mengurusnya.” Kali ini terdengar suara Fean yang selalu terdengar tenang. Di luar, Fean memang datang. Tak seperti biasa, Fean juga terlihat sangat sedih. Fean yang biasanya sangat bersemangat sekaligus ceria apalagi bila menyangkut kebahagiaan Dara, terlihat seperti orang sakit. Fean menunduk sedih di antara Danian dan Azura yang langsung memperhatikannya. “Sebenarnya kalian kenapa? Kenapa kalian mendadak sedih-sedih seperti ini?!” lirih Danian sangat marah. “Biarkan aku yang mengurusnya,” ucap Fean yang perlahan mengangkat wajah sekaligus tatapannya. Ia menatap Danian dan Azura silih berganti di tengah hatinya yang masih diliputi banyak luka. Bukan karena kehamilan Dara, tapi ini menyangkut kehancuran Dara yang ia yakini sampai mengalami trauma sentuhan di beberapa bagian sensual. Percaya tidak percaya, cinta Fean pada Dara tidak pernah luntur sedikit pun. Malah, kenyataan Billy yang lepas tanggung jawab, membuat cinta Fean pada Dara dan juga janin dalam rahim Dara, menjadi bertambah. Fean makin mencintai Dara dan juga janinnya. Dan Fean juga bersumpah untuk makin menjaga Dara melebihi sebelumnya. Fean memastikan dirinya tidak akan kecolongan lagi layaknya pembuktian cinta paksa yang Billy lakukan pada Dara. Azura menggunakan kedua tangannya untuk membekap mulutnya bersama tangisnya yang pecah sepecah-pecahnya. Tubuhnya diboyong pergi oleh Danian meninggalkan Fean terjaga sendirian, padahal Azura masih ingin tinggal. Azura ingin tahu, memastikan apa yang sebenarnya terjadi pada Dara. “Semuanya baik-baik saja,” lirih Danian berusaha menenangkan sang istri. Ia masih mendekap erat tubuh langsing Azura yang sampai ia angkat. Azura yang masih belum bisa mengontrol emosi termasuk air matanya, menatap Danian dengan tatapan marah. “Ini pasti berkaitan dengan cinta, sementara untuk urusan cinta, Dara mirip kamu yang akan lemah bila sudah berurusan dengan cinta! Kenapa Dara justru mirip kamu! Kenapa Dara tidak mirip aku sajaaaa!” Azura sampai berteriak di depan wajah Danian. Kendati demikian, Danian hanya terpejam pasrah sebelum akhirnya justru membopong Azura. “Dara, bila kamu sudah merasa lebih baik, ... aku ada di sini dan akan tetap ada di sini untuk kamu. Aku akan tetap menjadi orang yang bisa kamu andalkan. Cukup katakan, ... cukup katakan semua yang kamu mau, aku pasti akan melakukan semuanya untuk kamu.” Fean bertutur sarat kesabaran, membuat Dara yang awalnya hanya bengong saking bingungnya harus mengatakan apa pada orang tuanya mengenai kehamilannya, menjadi menangis. “Kita sudah bersama-sama sejak awal. Ayo, kita lakukan semuanya. Kamu tahu kan, menyiksa diri sendiri tidak akan mengubah keadaan? Kamu yakin, Billy akan terluka bila kamu terluka? Kamu yakin, apa yang kamu lakukan mampu mengubahnya.” “Sekarang buka pintunya, ... ayo kita selesaikan semuanya. Aku akan melakukan semuanya, termasuk membuat Billy melakukan apa yang kamu mau!” Fean mengakhiri ucapannya sambil memejamkan erat matanya, tak kalah erat dari kedua tangannya yang mengepal di sisi tubuh. Benarkah om Fean bisa membuat Billy melakukan semua yang aku mau? pikir Dara. Namun, sisi lain dalam hatinya berkata, untuk apa mempertahankan laki-laki b******k yang bahkan tega menyuruh kita mengugurkan janin kita, padahal sebelumnya dia berjanji akan bertanggung jawab? Dia yang memulai, dan dia juga yang lepas tangan. Kendati demikian, sisi hati Dara yang lain juga masih meminta Dara untuk lebih bersabar demi janin yang tengah Dara kandung. Sambil terus berpikir, Dara membiarkan Fean mengurusnya. Fean mengambilkan pakaian ganti lengkap untuk Dara, menunggu Dara ganti pakaian, dan langsung menuntun Dara ke meja rias yang bersebelahan dengan tempat tidur. Fean mengeringkan kepala Dara menggunakan pengering rambut. Dan sepanjang itu, batin Dara benar-benar berperang. Haruskah ia tetap mempertahankan Billy dan menunggu pertanggung jawaban dari pria itu? Haruskah Dara berharap pada pria yang juga menyia-nyiakan kesempatan yang ia berikan. Billy benar-benar tidak datang sekalipun Dara menunggunya hingga tengah malam. Padahal di luar sana, bulan tampak terang-benderang, tak ada halangan semacam hujan. Dara terdiam membisu di balik jendela kaca yang sengaja Dara buka. Billy benar-benar tidak datang, dan malah Fean yang kembali datang. Untuk pertama kalinya, Fean ingkar. Pria itu tak mampu menempati janji, membuat Billy melakukan semua yang Dara inginkan. Namun, benarkah Fean yang ingkar? Bukankah semua keputusan ada di Billy karena yang Dara harapkan memang Billy?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD