Episode 9 : Merasa Gagal

1788 Words
Sampai detik ini, suasana masih senyap. Tak ada suara selain dari helaan napas Fean yang kadang terdengar cukup jelas ketika pria itu menghela napasnya. Kedua mata Fean sudah semakin panas. Berkaca-kaca ia menatap Dara yang masih berdiri loyo nyaris bersandar pada jendela di sebelah meja belajar. Tatapan Dara menjadi bergetar tapi tetap kosong, seiring tubuhnya yang merunduk bersandar pada kusen jendela. Dara terlihat sangat rapuh bak patung di rumah tua yang sudah telah ditinggalkan oleh pemiliknya bertahun-tahun lamanya. Mungkin fisik Dara baik-baik saja, tapi tidak dengan mental dan juga hatinya. Wanita muda yang sudah Fean jaga sejak lama itu memang ada di sini, tapi tidak dengan jiwa dan pikirannya. Karena hidup Dara masih dikuasai Billy dan semua yang berkaitan dengan pemuda b******k itu. “Coba hubungi dia, telepon atau setidaknya kirim dia pesan.” Jujur, Fean hanya basa basi mengatakannya karena yang ingin ia lakukan malah marah, memaki Billy dan meminta Dara untuk melupakan pengecut itu. Namun Fean sadar, andai ia sampai spontan melakukannya, meminta Dara melupakan Billy, yang ada wanita yang sangat ia cintai itu akan langsung marah sekaligus membencinya. Dara tetap mematung dan bersandar pada kusen jendela. Ia memang mendengar saran dari Fean, tapi apa yang terjadi membuatnya sadar, Billy ingkar. Billy tak menempati janjinya dan pemuda itu sungguh menginginkan Dara menggugurkan janin mereka. Apakah laki-laki seperti Billy masih bisa diharapkan? Pantaskah laki-laki seperti Billy diberi kesempatan? Atau memang Billy hanya butuh waktu karena pria itu sedang merintis karier? Bila tahu begitu, kenapa Billy sampai melakukannya pada Dara? Kenapa mereka tidak berpacaran biasa saja tanpa adanya seks di luar pernikahan? Bahkan terakhir kali mereka bertemu pun, Billy masih saja meminta Dara melakukan hal yang sampai membuat Dara hamil padahal Dara sudah berulang kali menolak. Fean berangsur melangkah sambil menghela napas dalam. Ia merengkuh punggung Dara kemudian menuntunnya untuk sama-sama duduk di lantai. “Dara, kamu tahu? Aku memiliki teman dekat yang begitu pemberani. Dia seorang wanita cerdas yang juga tahan banting walau semua orang menghina bahkan berusaha menginjaknya.” Dara mengernyit dan menatap tak mengerti Fean kenapa pria itu membahas orang lain bahkan wanita lain padahal harusnya mereka fokus pada kasus Dara. Apakah Fean bermaksud berbagi kisah perihal wanita yang pria itu cintai? Pikir Dara. “Terlahir di keluarga miskin membuatnya harus selalu serba bekerja keras. Dia sampai tidak memiliki waktu untuk merawat diri hingga tampilannya jauh dari menarik. Bahkan karena penampilannya, banyak pekerjaan mapan yang menolaknya sekalipun dari segi kemampuan, dia tidak perlu diragukan. Singkat cerita, dia terpilih menjadi sekretaris dari seorang CEO yang terkenal sangat menyebalkan. Anehnya, kekasih CEO ini sengaja memilih temanku karena selain cerdas dan cekatan sekaligus tahan banting, penampilan temanku ini sangat di bawah standar kecantikan. Kekasih CEO ini yakin, si CEO menyebalkan tidak mungkin tergoda pada temanku. Namun, ... gara-gara tragedi oren jus malam itu, temanku dan CEO menyebalkannya justru menghabiskan malam bersama.” Fean menjadi sibuk menahan senyumnya karena jujur saja, yang sedang ia ceritakan merupakan kisah Azura mamah Dara. Awal mula adanya Dara dan memang efek oren jus yang sudah Danian siapkan untuk Velery sang calon istri. Yang mana, dalam oren jus sudah Danian bubuhi obat perangsang. Danian sengaja menjebak Velery karena Velery yang saat itu terobsesi menjadi top model internasional, tak kunjung mau terikat dalam pernikahan padahal hari pernikahan mereka sudah ada di depan mata. (Baca kisahnya dalam n****+ : Sekretarisku, Istriku). “Yang dimaksud menghabiskan malam bersama, ... apakah maksudnya mereka melakukan sesuatu yang terbilang intim semacam, ... hubungan seks?” Demi apa pun, Dara merasa sangat malu hanya karena bertanya seperti itu pada Fean. Bahkan sekalipun mereka sudah terbiasa bersama dan Fean pun menanggapinya dengan sangat santai. Kini, sambil tersenyum hangat, pria yang begitu awet muda dan mungkin karena kebiasaan mengumbar senyum itu, mengangguk padanya. “Iya, itu. Kenapa? Kamu merasa malu karena kamu menanyakan itu dan kita membahasnya? Enggak apa-apa, sudah sewajarnya kamu tahu. Malah, aku menyesal kenapa aku tidak membahas ini kepadamu lebih awal.” Fean berusaha meyakinkan dan membuat Dara merasa senyaman mungkin. “Sekarang katakan padaku, ... saat kamu tiba-tiba membahas pembuktian cinta, ... sebenarnya saat itu baru saja terjadi dan kamu tidak menginginkan itu terjadi. Betul begitu?” Fean sampai melongok wajah Dara karena gadis itu malah menunduk seiring kedua mata Dara yang Fean dapati kembali basah. Garis-garis kesedihan tampak nyata menyelimuti wajah sekaligus gelagat Dara. Selain itu, Dara juga terlihat sangat menyesal sekaligus malu. “Kamu tahu apa yang kamu lakukan salah, dan kamu tahu, bukan dengan begini harusnya kamu menyikapi keadaan.” “Nasi yang sudah telanjur menjadi bubur masih bisa dinikmati bahkan bisa kita beri bumbu sesuka hati, asal kita mau, Dara. Kamu harus jadi wanita hebat karena sebentar lagi kamu akan menjadi seorang mamah!” Fean masih memberikan semangat. “Kamu ingin tahu kelanjutan kisah temanku? Dia hamil gara-gara malam itu. Dia mengandung anak CEO menyebalkan itu. Namun demi bertahan bekerja di perusahaan yang memberinya gaji besar hingga dia bisa menopang kehidupan adik dan ayahnya, dia sengaja menyembunyikan kehamilannya. Apalagi si CEO menyebalkan selaku anak dari janinnya ini sudah bersiap menjalani pernikahan dengan calon istrinya. Dia sungguh setegar itu, bahkan ketika keadaan berbalik dan CEO ini berniat bertanggung jawab. Temanku terus menolak, dia melawan CEO tanpa sedikit pun takut pada ancaman yang CEO berikan. Dan mereka, ... mereka adalah orang tua kamu sementara bayi itu, ... bayi itu kamu!” Dara langsung tercengang mendengar kisah terakhir yang Fean sampaikan. “Azura Anatasya Putri, ... dia wanita yang sangat pemberani. Wanita spesial yang mampu membuat seorang Danian mendapatkan masa depan cerah. Wanita yang juga telah memberi penerang sekaligus kebahagiaan bagi keluarga besar Handoko. Karena tanpa Azura, Danian hanyalah CEO menyebalkan yang diperbudak oleh cinta. Sebodoh itu papahmu pada cinta. Dia akan mengamuk, menghancurkan semuanya termasuk menghancurkan kehidupannya padahal yang harusnya dia amuk adalah mantannya.” Perlahan tapi pasti, Fean membingkai pipi kiri Dara menggunakan tangan kananya. Senyum Fean perlahan kembali dihiasi air mata. “Kamu tahu maksudku.” Dara membiarkan air matanya mengalir seiring ia yang balas menatap Fean. “Jangan menjadi lemah hanya karena cinta. Jangan mengikuti jejak papah kamu. Jadilah seperti mamah kamu, jangan pernah takut pada apa pun apalagi kamu tidak sendiri.” Fean berangsur menggenggam kedua tangan Dara. Genggaman yang makin lama makin erat sekalipun kedua matanya masih fokus menatap kedua mata Dara yang jauh lebih basah dari kedua matanya. “Bahkan binatang tidak pernah tega melukai apalagi membunuh anaknya. Dia bukan laki-laki yang pantas untuk dicintai, Dara. Dia berani berbuat, dan dia wajib bertanggung jawab. Alasannya ingin fokus pada karier, ... alasannya benar-benar tak masuk akal karena dari awal dia sudah tahu apa yang dia lakukan padamu bisa membuat kamu hamil. Kamu harus jadi wanita cerdas seperti mamah kamu. Kamu punya semuanya bahkan jauh dari yang Billy miliki!” Apa yang Fean katakan membuat Dara tertampar karena Fean seolah mengetahui semuanya padahal Dara belum menceritakan kasusnya dan Billy pada siapa pun, termasuk pada Azura. Dara sungguh belum mengabarkan balasan Billy yang malah memintanya untuk menggugurkan janin mereka. “Dara, berjanjilah. Mamah kamu saja memberimu kesempatan untuk ada dalam kehidupan ini apa pun yang terjadi. Kamu paham maksudku?” “Jangan pernah kamu melukainya karena dia tidak bersalah. Dia ada karena kalian, jadi jangan menambah dosa dengan menjadi pembunuh! Jangan!” Apa yang Fean katakan barusan membuat tangis Dara pecah sepecah-pecahnya. Dara berangsur menunduk seiring tubuhnya yang terguncang pelan akibat tangisnya. “Berjanjilah ...,” mohon Fean menunggu balasan Dara. Dara mengangguk-angguk. “Aku akan memastikan untuk yang terakhir kalinya,” ucap Dara masih berlinang air mata selain kedua matanya yang masih fokus membalas tatapan Fean. “Bila dia tetap sama, aku yang akan melupakannya. Aku yang akan membuangnya!” Fean mengangguk-angguk. “Iya, ... begitu saja. Jangan pernah memohon apalagi mengemis pada orang seperti dia. Kamu jauh lebih memiliki semuanya ketimbang dia!” Dara mengangguk-angguk dan perlahan menunduk. Kedua jemari tangannya sibuk menyeka sekitar matanya. “Sekarang kamu tidur, tenangin diri kamu, dan ....” Fean tak kuasa melanjutkan ucapannya. Dara menatap bingung Fean, menunggu kelanjutan ucapan pria itu. Padahal, alasan Fean tak kuasa melanjutkan ucapannya karena ia terlalu hancur melihat Dara seterpuruk sekarang. Fean berangsur memeluk Dara, meminta maaf, dan juga berjanji dirinya akan lebih menjaga Dara. “Dia sangat bergantung kepadamu. Kamu harus selalu sehat dan juga jangan emosional karena semua yang berkaitan dengan kamu juga akan berdampak kepadanya.” *** “Apakah kalian bertengkar?” ucap Danian yang menunggu di depan pintu kamar Dara. Ia memastikan waktu pada layar ponselnya, tepat pukul empat pagi. Fean terdiam bingung bersama rasa panas yang masih menguasai kedua matanya. Karena terlalu lama menangis, matanya yang agak sipit memang menjadi benar-benar sipit sekaligus sembam. “Apakah kami terlihat begitu?” “Tadi aku enggak sengaja dengar kamu sibuk minta maaf ke Dara. Kamu enggak selingkuh, kan?” balas Danian masih menghakimi Fean sambil bersedekap. “Apakah kami boleh menikah dalam waktu dekat?” todong Fean padahal pertanyaan Danian saja belum ia jawab. Danian langsung tercengang dan refleks menelan salivanya beberapa kali di tengah tatapannya yang masih fokus pada kedua mata Fean. “Dari tadi aku tanya kamu, tapi kamu justru balik tanya keluar dari pembicaraan.” Fean menghela napas pelan. “Aku serius. Dara sudah dewasa dan aku ingin fokus mengurusnya. Daripada bolak-balik restoran, apartemen, rumah, dan juga ke sini, lebih baik menikah karena dengan begitu, kami akan selalu satu arah.” “Dara beneran mau sama kamu?” Jujur, sampai detik ini Danian masih penasaran bahkan ragu, Dara yang lebih pantas menjadi anak Fean, mau menikah dengan Fean. “Ada yang lebih baik dari aku untuk Dara?” todong Fean. Danian tidak bisa menjawab karena daripada kepadanya, Dara memang lebih dekat dan paling dekat pada Fean. Mungkin karena dari Dara lahir, Fean sudah fokus mengurus Dara dan selalu menyempatkan waktu untuk quality time. Dara dan Fean sangat dekat hingga sering membuat Azura dan Danian selaku orang tua Dara iri karena putri mereka justru jauh lebih dekat bahkan ketergantungan pada Fean. Karena meski usia menjadi perbedaan mencolok di antara keduanya, Fean selalu bisa menyeimbangi Dara. Sesakit ini, ... aku benar-benar merasa gagal telah membiarkan Dara ada di titik ini. Fean menghela napas pelan sekaligus dalam. Dara, tenanglah. Semuanya akan baik-baik saja, aku akan membuat semuanya kembali baik-baik saja. Fean bertekad untuk memperbaiki kekacauan yang telah sangat melukai sekaligus merapuhkan Dara. “Sudah jam segini, jangan pulang. Kamu tidur di kamar tamu saja. Jangan dibiasakan menyetir tanpa kenal waktu apalagi dari kemarin kamu belum tidur.” Meski berat, Danian yang menjadi tidak bisa fokus menatap Fean berkata, “Aku tidak mau Dara menjadi janda hanya karena kamu mati lebih cepat.” Karena meski sadar Fean memang yang terbaik, melepas sang putri melangkah ke jenjang pernikahan nyatanya tetap membuatnya merasa sangat kehilangan. Danian sampai berderai air mata, sesenggukan dan membuat Fean memberinya pelukan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD