BAB 17. SEKAR DAN KELUARGA KUSUMA

1080 Words
. . Sekar sedang berada di sebuah restoran mewah beserta keluarga besarnya. "Kapan si Tanu meresmikan pernikahan kalian?" Tanya Gilang Kusuma, ayah Sekar. Sekar menimbang dalam hati mau mengatakan yang sebenarnya atau mencari alasan? "Yah, Tanu masih sibuk dengan bisnis barunya. Pasti setelah bisnisnya stabil tak lama kami akan secepatnya menggelar pernikahan." Akhirnya hanya itu yang bisa dia katakan. Memang keluarga Sanjaya sedang mempersiapkan tender besar dengan keluarga Atmaja. Trah tertinggi di negara X. "Kudengar dia sedang bersiap-siap menjalin kerja sama dengan keluarga Atmaja. Kalau kalian jadi menikah dan tender Tanu berhasil maka kita juga akan dapat bagian. Kamu jangan sampai melepas Tanu, ingat itu," peringat Gilang melihat calon menantunya yang sangat potensial. Bisa dibilang tambang emas buat keluarga Kusuma yang masih berada di level 3. Andai saja, mereka berbesanan tentu itu bisa menaikkan level mereka setingkat lebih tinggi dari sebelumnyam "Tentu ayah, tidak seperti putri Om Aji," lirik Sekar ke arah keluarga Aji Kusuma yang memang menghadiri acara makan malam keluarga kali ini. Aji datang bersama Anggi dan Tania. Ketiganya tersentak mendengar cibiran Sekar. Mereka pikir dengan terlepasnya Bulan dari keluarga Kusuma, bisa membuat nama nya tidak disangkut pautkan dengan Bulan dan aib yang dia lemparkan ke muka Aji. "Dia bukan anak om. Anak Om hanya Tania," sanggah Aji penuh ketegasan. "Ya ya," sahut Sekar acuh. "Oh iya, ternyata Bulan menikah dengan orang rendahan. Selain gigolo ternyata dia juga driver ojol," ejek Sekar tanpa ampun. Rasanya memang menyenangkan kalau bisa menjelekkan Bulan dengan mulutnya, meski Bulan tak ada di sini. "Yang benar kamu? Beberapa hari setelah Bulan kami usir ada seorang pemuda minta ijin menikah dengan Bulan. Karena kami sudah tak mau berhubungan dengan Bulan, makanya Om nggak mau," sahut Anggi, ibu tiri Bulan. "Tapi lelaki itu memang sama kayak si Bulan, tak tau malu. Dia malah minta surat kuasa pada om kamu. Dia minta om kamu untuk menandatangani surat kuasa ke wali hakim," lanjut Anggi lagi memicu dengusan dari arah Kuncoro Kusuma. Ayah dari tiga bersaudara Kusuma. "Untung saja si Bulan itu sudah kau usir, Ji. Ayah nggak mau ya, punya cucu mantu modelan gitu," titah Kuncoro menatap tajam ke arah Aji. "Pasti yah, Anggi nggak akan biarkan Bulan dan ibunya yang oenyakitan itu bikin malu kita. Sudah benar Mas Aji usir tuh biang onar," sahut Anggi mendahului Aji menjawab sang Ayah. "Anggi, jangan biasakan menyela saat laki-laki bicara. Tidak sopan," sungut Kuncoro tak suka Anggi yang menjawab perintahnya. "Suami kamu belum bisu kan?" Tanya Kuncoro lagi. "Maaf yah," ucap Anggi dan Aji bersamaan. "Jangan dibiasakan." "Baik, yah," sahut kedua suami istri tersebut. Anggi dan Aji menunduk malu karena kena teguran Kuncoro di depan keluarga inti mereka. Sekar yang melihat bagaimana kakeknya mempermalukan keluarga Bulan hatinya kian berbunga. "Sekar, apa kamu sudah yakin kalau suami Bulan hanya seorang driver ojol dan gigolo?" Tanya kakek Kuncoro membuat senyum Sekar langsung menghilang. Bagaimana dia bisa memastikan hal itu? Dia hanya melihat jaket yang dipakai lelaki yang mengaku sebagai suami Bulan seperti jaket driver ojol. Apalagi dengan gigolo? Kan dia yang akhirnya bermalam dengan gigolo yang sengaja dia sewa untuk menjebak Bulan. Dia mengatakan omong kosong itu kan memang sengaja untuk membuat keluarga Bulan dan juga Bulan tak punya muka di keluarga Kusuma. Tapi mengakui kebenarannya juga tidak mungkin Sekar lakukan. Itu namanya akan memalukan Sekar. Dan bisa jadi dia juga akan terusir dari kekuarga Kusuma. Bisa apa dia tanpa nama besar Kusuma? "Tentu saja kek. Mana pernah Sekar bertindak gegabah begitu?" Akhirnya Sekar menjawab dengan jawaban yang paling aman buatnya dan juga keluarganya. "Kamu memang kebanggaan keluarga Kusuma. Apa jadinya keluarga ini kalau tidak ada penerus sehebat kamu," puji kakek Kuncoro menatap Sekar dengan tatapan bangga. Hal itu membuat Aji kesal luar biasa. Padahal selama ini, perusahaan Kusuma bisa tetap bertahan hingga kini karena sumbangsih Bulan di dalamnya. Setiap ada projek, hanya Bulan yang memberikan ide brilian. Sayangnya Sekar selalu mengakui kalau itu adalah kinerjanya. Idenya. Kuncoro percaya apapun yang dikatakan oleh Sekar. Apalagi Sekar memang lulusan universitas luar negri. Berbeda dari Bulan yang hanya tamatan SMA. Siapa yang percaya kalau ide-ide yang diakui Sekar adalah pemikiran Bulan seorang. Yang tak pernah mengecap bangku kuliah. Pasti tak akan ada yang percaya kalau tidak melihat sendiri. "Dan Sekar. Kalau bisa kamu dan Tanu segera diresmikan." Kuncoro menatap Sekar tajam. "Pasti, kakek. Secepatnya," sahut Sekar dengan senyum lebar menghiasi wajahnya. *** "Sekar itu sok banget. Masih cantik juga Tania dibanding dia. Tanu pasti lebih tertarik pada anak kita," sini Anggi saat mereka sudah berada di rumah. Selama acara makan malam, keluarga mereka tidak berani menyela karena tak mau kena teguran dari Kuncoro lagi. Meski Anggi ingin sekali menyela setiap Kuncoro memuji Sekar setinggi langit. "Iya ma, sok kecantikan banget. Padahal kalau dia nggak licik masih kalah jauh dari mbak Bulan," sahut Tania lupa masih menyebut Bulan di rumah ini. Apalagi di depan Aji. "Jangan pernah menyebut nama itu di rumah ini. Apalagi di depan papa," peringat Aji tak suka. Tania memang memanggil Aji dan juga Anggi dengan panggilan mama dan papa. "Maaf pa, Tania lupa," sesal Tania menunduk. "Jangan diulang," titah Aji tegas tak mau dibantah. "Tapi mas. Apa benar yang dikatakan Sekar kalau anak itu sudah menikah?" Tanya Anggi penasaran akan fakta yang dikatakan Sekar di pertemuan tadi. Aji langsung menatap istrinya dwngan tatapan tak suka. "Iya iya. Kan aku cuma penasaran," sungut Anggi berlalu meninggalkan Aji yang duduk termangu. Meski di depan semua orang dia bilang tak mau membahas Bulan. Tapi sebagai seorang ayah ada rasa rindu dan penasaran atas apa yang kini anaknya alami. Pertanyaan yang tadi ditanyakan Anggu juga terngiang-ngiang di pikiran Aji. Rasa sedih karena harus merelakan anaknya menikah tanpa kehadirannya. Dia mengingat momen saat Bulan lahir. AJI lah yang menemani Maya melahirkan. Aji juga yang memberi nama Bulan untuk putri pertamanya. Sayang, sejak kelahiran Bulan, usaha miliknya perlahan mengalami penurunan. Itulah yang membuatnya perlahan membenci Bulan. Banyak yang mengaitkan antara kebangkrutannya dengan kelahiran Bulan. Lambat laun Aji juga sependapat dengan mereka. Padahal di hati kecilnya dia menyadari kalau merosotnya kinerja perusahaannya karena tak hadirnya Maya di perusahaan. Selama ini yang memberikan masukan dan ide brilian memang Maya ibu dari Bulan. Akan tetapi semenjak melahirkan waktu Maya tercurah hanya untuk putri mungilnya. Tak ada waktu membantu Aji. Tapi, Aji memilih mempercayai apa yang orang katakan. Hanya demi menyelamatkan harga dirinya. Aji berlindung dari isu 'anak pembawa sial'. Dibanding dirinya yang dituding tak becus mengurus perusahaan. Defini ayah durhaka memang si Aji ini. Poor Bulan, dibenci atas sesuatu yang tidak dia lakukan hanya demi menutupi ego sang ayah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD