Axel tidak lagi dapat menolak keinginan Melva yang menginginkan kebersamaan dengannya. Sebab gadis itu mempunyai cara agar Axel mau menurut. Apalagi kalau bukan dengan sebuah ancaman. Ancaman yang akan membuat orang tua Axel malu dengan sikap anaknya.
Ya. Melva mengancamnya dengan dalil akan membeberkan kelakuannya kepada Papa dan Mama Axel. Kelakuan buruk yang hampir tiap malam pria itu lakukan. Bergonta-ganti partner ranjang sesuka hati dan acap kali meneguk minuman keras.
Atas dasar itu, Axel menurut saja apa yang Melva inginkan. Well, bukankah dia juga sedang merasa suntuk? Stres menghadapi urusan kantor yang tidak berkesudahan. Jadi, bukan karena dia takut dengan ancaman Melva. Axel hanya tidak ingin masalahnya semakin bertambah.
Kini, mereka berada di sebuah café taman yang dihiasi kelap-kelip lampu warna-warni. Begitu cantiknya hingga suasana itu kian terasa romantis. Memang saat ini raut wajah Axel sangat tidak bersahabat. Sikapnya dingin seakan tidak menganggap Melva ada bersamanya. Hingga rasa suntuk yang dialaminya kini menular pada Melva. Wanita cantik itu ikut bosan melihat Axel yang bersikap dingin padanya. Gadis itu mengaduk-aduk minumannya dengan sedotan. Manyun melihat Axel yang terus-terusan fokus pada layar hape.
“Xel.” Melva membuka suara. Axel melirik. “Kok diam aja sih?”
Kembali Axel menatap layar hapenya. Tidak menjawab pertanyaan Melva.
“Xel! Aku sedang bicara padamu!”
“Kalo kau mau bicara, ya bicara aja! Aku tidak harus melihatmu kan?”
“Kau kenapa sih? Apa yang salah denganmu?” tanya Melva menyelidik.
“Tidak ada yang salah denganku!” tegas Axel. Mendengus. Merapikan jasnya. Bergerak ingin beranjak dari tempat duduk. “Sudahlah! Aku capek. Pengen istirahat.”
Lantas, laki-laki itu bangkit. Yang kemudian, diikuti oleh Melva.
“Tunggu!” tahan Melva dengan meraih lengan Axel. Dan laki-laki itupun menahan diri untuk tidak beranjak. Menatap Melva datar.
“Axel! Kau mau kemana? Kenapa malam ini kau terasa begitu membosankan!” keluh Melva.
Axel menghalau tangan Melva. “Kau tidak perlu tahu semua tentangku. Kau bukan siapa-siapaku!” balas Axel pelan, namun penuh ketegasan.
“Bukan siapa-siapamu?” Kedua alis Melva menyatu. “Aku kira kita sedang menjalin hubungan … em … maksudku … bukankah kita adalah sepasang kekasih?”
Axel tercegang, tentu dengan mata yang membulat. Sebuah senyuman yang menyiratkan ejekan terbit di bibirnya.
“Jangan mimpi! Kau kira aku mau menjalin hubungan dengan seorang pekerja seks sepertimu!”
“Apa?!” respon Melva kaget. Kedua bola matanya menyala, menyorot mata Axel yang memerah.
“Kau hanya wanita malam yang bisa dipakai sesuka hati oleh pria-p****************g sepertiku. Kau mengobral cinta hanya karna uang. Tidak pernah sedikitpun aku menaruh perasaan kepadamu. Kau memintaku untuk membayar pelayananmu. Lalu, atas dasar apa kau bisa mengatakan kalau kau itu adalah kekasihku!” sergah Axel. Menantang.
“Axel, apa maksudmu!” pekik Melva.
Sudut bibir Axel melengkung.
“Aku tidur denganmu, menghabiskan waktu bersamamu … bukan berarti aku menganggapmu sebagai kekasih. Kau hanya wanita pelampiasan hasratku. Yang seharusnya aku pakai hanya satu malam dan tidak berlanjut sampai malam ini. Tapi kau terus mendekatiku. Menerorku dengan ancaman yang sama sekali tidak berarti bagiku!” desis Axel. Disaat itu, Melva hanya diam termangu dengan sorot matanya yang berbinar. Tentu bukan karena terharu, hatinya serasa ditikam mendengar penjelasan Axel.
“Dengar ya ….”Axel menunjuk wajah Melva. “Kau mau mengatakan apapun tentangku kepada orang tuaku, terserah! Aku tidak peduli. Bahkan jika aku diusir dari rumah itu, aku tidak takut. Kebahagiaanku tidak terletak pada mereka. Mereka hanya racun bagiku. Termasuk kau … w************n yang sifatnya persis seperti mereka!” cela Axel dengan sorot mata pembunuh.
“Axel! Kau keterlaluan!” Melva meradang.
“Kau yang membuatku untuk berkata seperti itu. Jika kau tidak ingin aku memakimu seperti tadi … maka, jangan buat aku kesal dengan ucapan dan tingkah lakumu!” Kali ini Axel yang menggertak. Bahkan wajahnya hampir lekat ke wajah Melva. Ya, pria itu menegaskan ucapannya melalui ekspresinya yang mengeras.
Melva terdiam. Tak lagi berniat untuk menjawab. Sebab Axel terlihat berbeda dari biasanya. Wajah laki-laki itu sedang tidak bersahabat. Entah apa yang terjadi padanya. Setidaknya, wanita yang tengah termangu itu dapat menyimpulkan, kalau laki-laki yang sudah mencuri hatinya itu kini sedang tidak enak pikiran. Itu jelas tersirat pada sikap Axel dan perubahan moodnya.
“Axel!” teriak Melva ketika menyadari kepergian Axel.
Wanita bertubuh sintal itu lantas berlari. Berusaha agar dapat mensejajarkan langkahnya dengan pria jangkung yang menjadi partner ranjangnya selama dua minggu terakhir.
“Axel!” Melva menarik lengan Axel dengan kasar.
“Apaan sih!” halau Axel jengkel. Terpaksa membalikkan badan untuk menatap Melva kembali.
“Axel. Aku tidak akan bertanya lagi tentang masalahmu. Dan aku tidak akan ikut campur dalam urusanmu. Tapi aku mohon jangan tinggalkan aku seperti tadi! Kau membuatku seakan terhina. Bahkan lebih hina dari ucapanmu!” protes Melva.
“Kalau begitu, kenapa tidak kau saja yang pergi dariku!” cecar Axel.
“Axel!”
“Melva! Plis, tinggalkan aku sendiri! Aku ingin sendiri. Pikiranku sedang kacau!”
Maka, Melva pun kembali bergeming. Diam dalam kekesalannya. Merasa kecewa pada perubahan sikap Axel. Tapi dia tidak dapat berbuat banyak. Dia tahu kalau laki-laki yang ada di hadapannya itu adalah seorang yang tempramental.
Axel menghela nafas. Sedikit merasa lega. Lega karena wanita bayarannya itu tak lagi bersuara.
“Tuan Axel Dean Wiguna. Itu namamu kan?”
Axel tersentak. Begitu juga dengan Melva. Langsung menoleh ke sumber suara. Seorang wanita tua berpenampilan aneh berada di antara mereka. Mirip seorang penyihir. Rambutnya sedikit acak-acakan dan dibiarkan terurai. Sementara mulut dan tangannya sibuk dengan sirih yang sudah berselemak di mulutnya.
“Iya, itu namaku. Apa ada yang salah? Dan dari mana anda tahu kalo itu namaku?” Axel menajamkan penglihatan dan pendengarannya. Dahinya mengernyit menyimak apa yang akan dikatakan oleh wanita aneh itu.
“Kau tidak perlu tahu dari mana aku tahu namamu. Yang jelas aku ingin menyampaikan sesuatu kepadamu,” cicit wanita tua itu serius.
Axel semakin mempertegas tatapannya. Bingung dengan apa yang dikatakan oleh wanita tua itu. Atau mungkin lebih tepatnya, penasaran. Melva pun begitu. Mereka saling menatap heran. Dan ekspresi dua anak muda itu dapat dengan jelas terbaca oleh si wanita tua. Maka dia melanjutkan apa yang ingin dia sampaikan.
“Hentikan kebiasaan burukmu bergonta-ganti pasangan. Jangan lagi membawa mereka ke ranjang.” Wanita tua itu tak henti-hentinya mengeluar-masukkan sirih yang telah menimbulkan warna merah pada mulut dan giginya.
“Apa yang sedang anda bicarakan? Aku tidak mengerti!” pekik Axel tidak mengerti. Tentu berharap penjelasan lebih.
“Aku hanya ingin mengatakan kepadamu, dari banyaknya wanita yang kau tiduri, salah satu dari mereka akan menjadi istrimu! Dan akan selamanya menjadi partner ranjangmu!” celetuk wanita tua itu.
“Apa? Hah, omong kosong!” cela Axel. Tertawa meledek. “Tahu dari mana anda kalo wanita terakhir yang ku tiduri adalah calon istriku! Tidakkah anda tahu, wanita-wanita yang aku tiduri adalah p*****r! Dan, harus anda ketahui, aku tidak akan pernah mau memperistri wanita seperti mereka!” kecam Axel dengan tekad bulatnya. Dan ungkapan itu membuat hati Melva kembali terasa seperti diremas.
“Anda tidak akan pernah tahu pada siapa anda akan jatuh cinta!” Wanita tua itu menekankan kalimatnya, hingga pupil mata Axel berada dalam satu garis lurus menatap tegas retina wanita tua itu.
“Dan aku tidak akan pernah bisa mencintai seorang p*****r!” Kini giliran Axel yang menegaskan kalimatnya.
“Baiklah, jika itu yang kau tekadkan. Tapi ingat, suatu saat nanti, ketika kau sedang mengalami yang namanya jatuh cinta, hingga waktumu terasa menghimpit karena ingin secepatnya mempersunting wanita itu, disaat itu pula kau akan mengingat kembali ucapanku! Kau … akan jatuh cinta pada wanita yang pernah kau tiduri, bahkan jauh sebelum kalian menikah!”
Axel mengalihkan pandangannya. Tersenyum miring dan jelas tidak menyukai ramalan sang wanita tua. “Tau apa anda tentang masa depanku!” cercahnya. Menantang.
“Aku tidak sepenuhnya tahu bagaimana masa depanmu. Tapi yang jelas, semua yang aku katakan jelas tergambar di wajahmu. Aku dapat membacanya. Maka, jangan tanyakan kenapa aku bisa mengatakan itu.”
Axel tidak menjawab. Baginya, wanita tua itu hanya sekedar menebak, atau bahkan ingin bermain-main dengannya. Sementara Melva, masih fokus mengamati wanita peramal itu. Sebab wanita peramal itu tadi berkata ; wanita terakhir yang disetubuhi Axel adalah calon istrinya. Maka dia berharap wanita yang dimaksud adalah dirinya.
“Baiklah anak muda. Hanya itu yang dapat aku sampaikan. Pesanku padamu, jika kau sudah menemukan wanita yang tepat, sebaiknya segeralah menikah. Kau tahu kenapa? Karna wanita itu akan menjadi ibu dari anak-anakmu. Maka setialah padanya!”
Lantas, wanita peramal itu berlalu pergi dengan langkahnya yang tertatih. Meninggalkan dua manusia yang masih bingung dengan apa yang baru saja mereka dengar.
“Axel,” tegur Melva yang dibalas Axel dengan tatapan dingin. “Kau dengar apa yang dikatakan wanita tua itu? Dia mengatakan kalau wanita terakhir yang kau tiduri adalah calon istrimu. Wanita yang akan melahirkan anak-anakmu.”
“Lalu?” Axel menyorot tajam mata Melva. Sebenarnya dia dapat menebak apa yang ingin dikatakan Melva selanjutnya. Namun, dia berpura-pura bodoh agar Melva melanjutkan kata-katanya.
“Lalu?” Alis Melva tertaut. Gadis itu melipat tangannya ke d**a dan tersenyum simpul. “Lalu kau ingin aku menjauh darimu? Bukankah aku wanita terakhir yang kau tiduri selama beberapa hari ini?”