3. Awal Pertemuan

1001 Words
Axel tercegang, disusul dengan tawanya yang menggelitik. Namun, tawa itu lebih mengarah seperti ejekan. Setidaknya Melva dapat merasakan itu. Axel selalu bersikap seperti itu padanya. It’s oke! Dia dapat terima. Asal laki-laki ini tidak memutuskan hubungan dengannya. Dia siap menerima perlakuan tempramental Axel. “Kau kira, kau akan menjadi wanita terakhir yang aku tiduri? Ha?” Tawa laki-laki itu pecah. Membuat wajah Melva kembali mengerut. Kesal. “Kau dengar ya! Sampai detik ini, aku masih belum mau berhenti meniduri perempuan-perempuan cantik di luar sana. Gairah ku tak berhenti di dirimu! Aku masih ingin merasakan kehangatan-kehangatan dari perempuan lain. Dan itu, sudah menjadi kebiasaanku. Kebiasaan yang sulit aku hentikan!” Melva diam saja. Menundukkan pandangan, mencoba menenangkan hatinya yang terluka karena ucapan Axel hari ini. “Jika ramalan perempuan tua itu benar, maka aku semakin tertantang untuk tidak berhenti melakukan kebiasaanku. Aku akan terus bergonta-ganti teman tidur. Dan … mari kita lihat, wanita mana yang akan dapat menghentikan kebiasaan bejatku ini!” Ucapan Axel jelas terdengar tegas dan menantang. Atau mungkin dia memang tidak senang pada ramalan perempuan tua itu. Entah apa yang membuat pemuda itu menunjukkan sikap tempramentalnya. Satu yang pasti, dia sedang tidak ingin diganggu. Tapi wanita yang berada di sebelahnya ini benar-benar membuatnya kesal. Wanita malam yang dia bayar dan menjadi teman tidurnya selama dua minggu ini terus mengekornya. Padahal Axel hanya ingin memakai tubuhnya satu malam saja. Tidak lebih. Sejak pertama kali Axel memakai tubuhnya, Melva ketagihan ingin terus bersama pria itu. Dia berusaha mendekati Axel karena disamping Axel memiliki wajah tampan, dia juga sangat mapan. Royal pada wanita atau mungkin pada siapa saja. Selama Melva menjajakan dirinya, baru kali ini dia mendapatkan pemuda seperti Axel. Melva sangat menyukainya meskipun dia harus menghadapi sikap Axel yang dingin dan terkadang dengan emosi yang masih labil. Axel sudah pergi sejak tadi. Sejak Melva termenung di tempatnya berdiri. Meski tengah melamun, Melva sadar akan kepergian Axel. Dia tidak berniat menahan Axel kembali karena dia sadar, Axel pasti sedang menghadapi tekanan pekerjaan. Dan dia butuh ruang untuk menyendiri. Begitu pikir Melva. *** Jalanan begitu sunyi ketika Axel melajukan mobilnya. Tidak heran karena waktu sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Sejak beranjak dari café tadi, Axel hanya berputar-putar di sekitar jalanan. Pemuda itu benar-benar terlihat seperti orang yang sedang depresi. Bahkan, kemeja yang dia pakai saja sudah tidak terlihat rapi. Kusut dan berantakan. Begitu pula dengan rambutnya. Sementara wajahnya? Ah! Laki-laki itu lusuh bukan main. Street …. “Aaaa ….” Seorang gadis berteriak. Tentu histeris. Sebab Axel menghentikan laju mobilnya dengan tiba-tiba. Membuat wanita yang ingin menyeberang jalan itu terkejut bukan main. Reflek menyilangkan kedua tangannya ke muka. Silau karena lampu mobil Axel. Tak hanya wanita itu, Axel juga demikian. Kaget karena mendapati seorang gadis yang tiba-tiba menyeberang di tengah jalan sunyi seperti ini. Sedang apa gadis ini? Bukankah ini sudah tengah malam atau bisa disebut dini hari? Lalu, kenapa dia masih keluyuran! Pikir Axel pelik. Apa lagi sih ini! Belum selesai masalah yang satu, sekarang hadir pula masalah yang lain. Segera Axel turun dari mobilnya. Tergesa-gesa mendekati gadis yang tengah mengenakan dress putih itu. “Siapa kau? Sedang apa kau di sini!” bentak Axel kesal. Berkacak pinggang. Gadis itu menurunkan tangannya yang masih menyilang di wajah. Memasang ekspresi marah karena menyadari pria yang hampir menabraknya bukannya meminta maaf, tapi malah membentaknya. Pancaran emosi pun terlihat jelas di kedua bola mata gadis itu. “Apa kau buta? Kemana matamu! Apa kau tidak lihat kalo aku sedang menyeberang jalan!” sergah gadis itu. “Aku tau kau sedang menyebrang jalan! Tapi bukan itu maksud dari pertanyaanku!” “Lalu? Apa maksud dari pertanyaanmu?!” “Kau seorang wanita. Kenapa keluyuran di jam malam seperti ini. Apa kau setan?” Gadis itu mangap. Terkejut mendengar tuduhan Axel yang bicara seenak udel. “Kau bilang apa?” tanyanya menantang. Menemui mata Axel, meski dia harus mendogak karena memang Axel jauh lebih tinggi darinya. “Bukankah setan yang bergentayangan di jam-jam seperti ini?” Axel mempertegas ucapan dengan tatapan tajamnya. Sedetik kemudian, sudut mulutnya terangkat. Muncul sebuah dugaan yang membuat sorot matanya seperti mengejek. “Atau mungkin kau seorang wanita malam yang sedang mencari kehangatan dari pria-p****************g?” Sontak ekspresi gadis itu semakin mengeras. Dadanya bergemuruh dahsyat. “Dasar laki-laki sialan! Tidak punya sopan santun! Kau sadar tidak dengan ucapanmu itu!” Gigi-giginya merapat. Menahan ledakan emosi yang tiba-tiba menyerang d**a. “Jika bukan itu, lalu apa?” teriak Axel. “Kau keterlaluan!” Plak! Satu tamparan keras menyapa wajah Axel. Axel meraba pipinya yang terasa perih. Matanya memerah, menyorot tajam bola mata gadis yang berani menampar pipinya. Dan karena dilandasi emosi, dia langsung mencengkram rahang gadis itu. Membuat gadis itu tersentak kaget. “b******k! Sialan kau! Berani sekali kau memukul wajahku!” Jelas Axel mengamuk. Seumur hidupnya, baru kali ini ada yang berani menyentuh pipinya dengan kasar. “Kau yang mulai duluan! Kalau kau tidak mau dipukul seperti tadi, maka jaga ucapanmu!” raung gadis itu memekik. “Kau tidak perlu marah jika dugaanku itu tidak benar!” Axel mendorong wajah cantik itu dengan sangat kasar. Hingga tubuh gadis itu terdorong ke belakang. “Tapi kau menuduhku dengan sangat kurang ajar!” protes gadis itu seraya mengelus rahangnya yang terasa perih. “Aku tidak menuduhmu. Aku hanya menduga. Kenapa kau malah menampar wajahku!” amuk Axel. Urat-urat di lehernya semakin menegang. “Apakah responmu ini membenarkan ucapanku kalau kau memang wanita malam?” Axel dengan tatapan intimidasinya semakin merapat ke tubuh gadis itu. Menatapnya tajam seperti singa kelaparan yang melihat mangsa, meski harus menunduk karena gadis itu memiliki tinggi hanya sebatas dadanya. Reflek gadis itu berjalan mundur perlahan. Bergerak menjauhi d**a Axel yang semakin mendekati tubuhnya. Gadis cantik berambut panjang itu tidak menjawab. Justru tiba-tiba merasa takut karena menyadari tatapan Axel yang mengancam. Kedua bola mata laki-laki itu berbinar. Memancarkan kemarahan disertai gairah yang berapi-api. Axel menyeringai seram. Gerahamnya bergemelatuk, menahan semua rasa yang menjadi satu di dalam sukmanya. “Kalau itu benar … bisakah aku memakai tubuhmu malam ini ….”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD