Bab 6. Sedikit Rasa yang tertinggal

1144 Words
Simon terkejut saat melihat Veronica tiba bersamaan dengan dirinya, pria itu tentu tidak ingin Veronica memaksakan diri di tengah situasi yang tidak menguntungkan baginya. Pria itu segera menarik Veronica menuju ke pantry lalu mengintrograsinya. "Kamu kenapa masuk, Vero? 'Kan dokter udah memberikan kamu surat izin tidak masuk kerja untuk 3 hari. Apa kamu mau tumbang karena sakit?" "Kalau di rumah justru pikiranku yang nggak bisa istirahat, Simon. Apalagi nggak ada siapa-siapa, yang ada aku tambah stress. Lagi pula hal buruk apa yang bisa terjadi?" tanya Veronica dengan wajah pucat yang bisa disembunyikan oleh riasan cukup tebal. "Apa kamu nggak melihat grup kantor?" tanya Simon menatap wajah sepupunya dengan serius. Veronica terkejut saat menyadari sesuatu, dia mengambil ponselnya dari dalam tas lalu mengecek WA grup kantor. Tak lama Veronica menghembuskan nafas kasar. Dadanya mencelos saat mengetahui jika dirinya dikeluarkan oleh salah satu admin WA grup tersebut. "Apakah kamu nggak melihat kalau aku sudah dikeluarkan dari grup kantor?" tanya Veronica menatap Simon sendu. Simon yang tak percaya langsung mengecek ponselnya, tak lama tangan kirinya mengepal. Pria itu menahan amarahnya saat melihat ketidakadilan yang harus diterima oleh Veronica. "Simon. Apakah menurut kamu aku harus resign dari sini dan memulai usaha baru?" tanya Veronica dengan lirih. "Maksud kamu apa?" tanya Simon yang belum mengerti arah pembicaraan Veronica. Namun, sebelum Veronica menjawab pertanyaan Simon sebuah suara menginterupsi percakapan keduanya. Suara yang sangat jelas menunjukkan ketidaksukaannya kepada Veronica. "Bagus. Begitu datang ke kantor bukannya langsung bekerja malah asik pacaran. Kamu pikir kantor ini punya nenek moyang kamu?" Veronica menggigit bibirnya, menahan diri agar tangisannya tidak pecah. Setelah berhasil menguasai diri Veronica mengangkat wajahnya dan bertatapan mata dengan Lukas. Pria itu berdiri di depan pintu pantry dengan tangan yang menyilang di depan d**a. Pose Lukas terlihat begitu kokoh dan menawan dalam satu waktu, Veronica sempat merasa terbius saat melihatnya sebelum Lukas kembali berbicara dengan nada sinis. "Ternyata ada juga karyawan yang lebih mementingkan penampilannya daripada pekerjaannya." Veronica lagi-lagi hanya dapat menghela napas kasar, memang dia akui jika hari ini berdandan cukup tebal. Itu semua untuk menutupi wajah pucatnya, tapi ternyata hal itu malah menjadi bumerang baginya, karena Lukas menganggapnya sebagai orang yang hanya tahu berias saja. Simon yang tidak tahan melihat perlakuan semena-mena Lukas kepada Veronica, langsung maju dan berhadapan dengan pria itu. Perbedaan tinggi badan mereka yang tidak terlalu jauh itu, membuat kedua pria itu seimbang jika seandainya terjadi perkelahian. "Saya tahu kalau Bapak tidak suka jika saya merebut kekasih Bapak. Tapi Itu sudah masa lalu 'kan? Kami saling mencintai dan bukannya Bapak juga mencintai tunangan Bapak? Jadi anggap saja kita impas." Simon tahu sangat beresiko baginya untuk mengkonfrontasi Lukas, tapi tidak ada pilihan lain saat ini. Lukas sama sekali tidak mau melepaskan Veronica, tidak peduli jika sekarang wanita itu sangat lemah. "Jadi menurut kamu saya harus berterima kasih karena pengkhianatan yang telah kalian lakukan?" tanya Lukas dengan sarkas. "Saya tidak meminta terima kasih dari Bapak. Justru yang ada saya berhutang maaf," jawab Simon masih menatap wajah Lukas dengan tajam. Lukas mendengkus tak lama setelahnya, dia menggosok hidung dengan jari telunjuk kanannya. Veronica yang melihat itu langsung teringat dengan kebiasaan Lukas yang melakukan itu saat marah. Veronica benci mengakuinya, tapi dia merindukan Lukas dan segala sesuatu mengenai pria itu. Tanpa disadari oleh Veronica, kedua netranya mengeluarkan air dengan deras bak bendungan yang dibuka kuncinya. Simon yang mendengar isakan Veronica segera membalikkan tubuhnya, matanya melebar saat melihat sepupunya menangis meraung-raung. Pria itu segera menghampiri Veronica dan memeriksa keadaan wanita itu. Lukas yang melihat itu hanya terdiam, namun seiring dengan air mata yang semakin deras keluar dari netra Veronica, riasan yang tebal itu terhapus meskipun tidak sempurna. Mata Lukas memicing saat melihat wajah Veronica yang sangat pucat. "Vero. Aku bilang apa, istirahat di rumah aja. Kalau seperti ini terus yang ada kamu akan semakin sakit," ucap Simon dengan nada khawatir. Veronica masih menangis dan dadanya terasa sesak, tapi dia tidak tahu harus melakukan apa. Tangisannya pun berubah menjadi isak tangis pilu. "Simon. Katakan aku harus bagaimana? Aku capek banget, Mon." tanya Veronica lirih di sela isak tangisnya. Lukas yang sejak tadi mengamati kondisi Veronica segera berdecak kesal, dia meninggalkan pantry menuju ke ruangannya karena tidak mau melihat kemesraan sepasang manusia pengkhianat itu. Di dalam ruangannya Lukas melampiaskan kekesalannya dengan mendorong semua barang yang ada di atas meja kerjanya. Dia begitu kesal saat mengetahui jika Veronica terlihat pucat. Padahal jika dipikir-pikir itu bukan menjadi urusannya lagi. "Pasti dia makan yang pedas lagi kemarin-kemarin, sampai asam lambungnya kumat dan wajahnya pucat kayak itu," gumam Lukas yang tak menyadari betapa dia mencemaskan Veronica. Intercom yang ada di dalam ruangan Lukas berbunyi, pria itu segera mengambilnya dan mengetahui dengan jelas kalau suara ini adalah sekretaris ayahnya. "Mas Lukas dipanggil Pak Johan ke ruangannya." Suara dingin nan tegas itu langsung memenuhi ruangan Lukas. "Baiklah. Bilang sama Papa kalau saya akan ke sana," ucap Lukas tak lama kemudian. Dalam hitungan menit Lukas sudah berada di ruangan Johan. Pria itu segera melepaskan kacamata bacanya saat melihat sang putra sudah duduk di hadapannya. "Papa dengar ada keributan di hari pertama kamu menjadi GM kemarin?" tanya Johan dengan raut wajah tanpa ekspresi. "Benar Pah. Kemarin ada kejadian yang tidak terduga saat aku sedang berkenalan dengan staf keuangan," jawab Lukas dengan raut wajah yang tak kalah dinginnya. Sekretaris Johan yang melihat percakapan sepasang ayah dan anak itu hanya dapat meringis di dalam hatinya, perutnya seketika mulas karena suasana canggung dan dingin yang terasa pekat ini. "Apa benar wanita itu juga bekerja di sini?" tanya Johan yang merujuk kepada Veronica. Lukas menghembuskan napas kasar, kekesalannya yang sempat mereda kini mencuat kembali. "Melihat dari ekspresi kesal dan marah kamu, Papa sudah mendapatkan jawabannya. Jadi kamu mau Papa berbuat apa?" tanya Johan dengan nada datar. "Papa tidak perlu melakukan apapun, karena aku sudah memiliki rencana sendiri dan aku harap Papa dan siapapun juga untuk tidak mencampuri urusanku dengan wanita penghianat itu," ucap Lukas dengan kilat dendam yang menyala pada matanya. Johan hanya mengangguk lalu mempersilahkan Lukas untuk kembali ke ruangannya. Di tengah perjalanan yang menuju kantor dia melihat Veronica yang sedang kesusahan membawa begitu banyaknya folder mengenai laporan keuangan dalam beberapa bulan terakhir. Bibirnya menyunggingkan senyum sinis, ternyata melihat Veronica menderita seperti ini sedikit banyak membuat hatinya menjadi lega. Setelah puas mengamati Veronica dan segala kesusahannya Lukas segera kembali ke ruangannya. Dia juga harus mempersiapkan sesuatu yang tak mungkin bisa Veronica lupakan seumur hidupnya. Ponselnya berdering menampilkan nama Helena pada layarnya. Lukas lagi-lagi tersenyum dan menganggap jika kekasih status palsunya itu sudah tidak marah lagi kepada dirinya. Dengan penuh percaya diri Lukas menerima sambungan telepon itu. Namun belum sempat Lukas mengucapkan salam, suara Helena terdengar menggelegar dan membuat telinga Lukas terasa ingin pecah. "Lukas! Aku nggak nyangka kamu kayak gitu. Kamu kok tega banget sama aku?" Lukas hanya diam mencoba menelaah kesalahan apa yang telah dia lakukan kepada Helena, tapi setelah berpikir selama beberapa menit nyatanya Lukas tidak dapat menjawab pertanyaan menjebak Helena pada dirinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD