"Saya tidak butuh diinfus, Pak," ucap Veronica saat dirinya benar-benar tersadar dari pingsannya.
"Tapi kamu harus mendapatkannya. Kamu tidak boleh tumbang lagi, karena saya belum puas melihat kamu menderita," ucap Lukas yang membuat Veronica meremang.
Lagi-lagi di dalam hatinya Veronica menjerit pilu, Lukas yang ada di hadapannya saat ini terasa asing. Lidah Veronica bahkan terasa kelu untuk sekadar mengeluarkan suara, dia hanya dapat memandang Lukas dengan sendu.
Untuk sepersekian detik Lukas terbius akan wajah Veronica, wajah yang membuatnya jatuh hati pada pandangan pertama saat bertemu saat ospek dulu.
Jika saja suara Karmila tidak muncul dalam pikiran Lukas, mungkin saja pria itu sudah kehilangan kendali dan memeluk Veronica.
"Sepertinya kamu sudah mengerti apa yang saya ucapkan. Sekarang biarkan infus itu habis, baru kita pergi dari sini," ucap Lukas dengan dingin sekaligus menyadarkan Veronica di mana tempatnya berada.
Hatinya seketika diliputi rasa sesak yang mencekik leher. Napasnya tanpa sadar memburu cepat. Di tengah ketidaknyamanan yang dirasakan oleh Veronica, dia memaksakan diri untuk bertatapan dengan Lukas.
Tatapan benci pria itu menyadarkan Veronica dan membuat kondisinya lebih stabil dari sebelumnya. Veronica menatap balik Lukas, menegaskan kepada pria itu jika dia bukan wanita lemah.
"Saya mengerti, Pak," ujar Veronica yang menatap sendu Lukas tanpa sadar.
Lukas hanya mengangguk sekilas dan keluar dari tempat IGD tanpa berkata apapun.
'Setidaknya Kak Lukas hidup dengan baik,' gumam Veronica saat melihat perubahan fisik Lukas yang lebih berisi daripada 5 tahun yang lalu.
Veronica lelah dan ingin tidur, tapi saat memejamkan matanya dia tidak dapat langsung menuju alam mimpi. Bayangan akan kenangan manis yang pernah dilaluinya dengan Lukas berputar terus menerus seakan mengejeknya.
2 jam berlalu keduanya akhirnya meninggalkan rumah sakit untuk kembali ke kantor. Keheningan yang tercipta lagi-lagi menyiksa Veronica. Dia sadar jika tak mungkin berbicara dalam kondisi santai dengan Lukas.
Suasana tidak nyaman pun terus dirasakan oleh Veronica saat keduanya kembali ke kantor tepat pukul 15:40. Di mana hanya tersisa kurang lebih 1 jam dari jam pulang kantor.
Berbagai sindiran pun terlontar dari para pegawai yang tak suka melihat interaksi antara dirinya dan Lukas. Mereka semua menganggap Veronica akan kembali menggoda Lukas dan membuat pria itu meninggalkan Helena, tunangan pria itu yang sangat sempurna bagi kebanyakan orang.
Veronica mengerutkan dahinya saat melihat keanehan dalam laporan keuangan yang dia kerjakan secara manual. Matanya dengan cermat menelaah laporan itu dan menandainya.
Karena terlalu fokus dengan laporannya, Veronica tidak menyadari jika ada sesorang yang berada di ruangan itu yang berniat jahat kepadanya. Orang itu mengamati segala gerak-gerik Veronica dengan cermat.
Dan saat Veronica lengah, orang itu dengan sengaja menumpahkan air minumnya ke laptop Veronica yang tentu saja menciptakan kegemparan pada ruang divisi keuangan.
Veronica menatap nyalang saat seorang rekan kerja prianya mengambil alih laptopnya, mencoba mengeringkan benda elektronik yang tak terbilang murah itu.
Sementara sang pelaku penyiraman laptop, memandang penuh kepuasan saat melihat wajah pucat wanita itu. Dia berharap jika Veronica akan dipecat secepatnya.
"Aduh. Sorry, aku nggak sengaja. Nggak tahu kenapa tangan aku tiba-tiba licin," ucap sang pelaku dengan nada penuh ejekan.
Veronica ingin menangis, laptop yang dia beli dengan hasil menabung selama 2 tahun, terancam rusak dan tak bisa digunakan lagi.
Mau menuntut kepada sang pelaku pun tak mungkin Veronica lakukan, karena dia mengetahui dengan jelas betapa liciknya rekan kerjanya yang satu ini. Wanita itu pasti akan dapat berkelit dari kesalahannya akan memojokkan Veronica.
"Veronica ...."
Panggilan itu membuatnya menoleh, raut wajah penuh ketegangan tergambar sangat jelas pada pria yang sedang memegang laptopnya.
"Laptop kamu nggak bisa nyala lagi ini. Lebih baik cepat dibawa ke tempat servicenya. Siapa tahu masih bisa terselamatkan," ujar sang teman dengan mengulas senyum canggung.
'Ya Tuhan. Kesialan apalagi yang harus aku alami setelah ini,' ucap Veronica di dalam hatinya.
Pandangan kosong yang nampak dari wajah Veronica, membuat sebagian rekan kerjanya yang berada pada posisi netral merasa khawatir.
Pasalnya Veronica baru saja pingsan, otomatis tubuhnya pasti masih lemah. Dan sekarang ditambah dengan kenyataan buruk jika benda penting yang dipakai Veronica untuk bekerja tidak dapat digunakan.
Sang pelaku yang melihat wajah pucat Veronica semakin puas di tempatnya berdiri. Tanpa memperdulikan kesusahan Veronica, wanita itu mengambil tasnya dengan santai lalu melangkah keluar dari ruangan untuk pulang.
Sekarang di ruangan itu hanya tersisa tiga orang termasuk Veronica di dalamnya. Wanita itu masih termangu di tempat duduknya dan membuat dua orang rekan kerjanya merasa khawatir.
Bagaimanapun kencangnya gosip buruk yang menerpa Veronica, mereka masih membutuhkannya, karena wanita itu termasuk dalam tim inti divisi keuangan.
"Vero, kamu ada simpan backup datanya tidak? Kalau ada, kamu bisa pakai laptop aku untuk sementara," tawar rekan kerja wanitanya.
Tentu saja Veronica tidak mampu menjawabnya, pikirannya masih berkelana entah ke mana. Melihat keadaan Veronica yang menggenaskan seperti itu, membuat salah satu diantaranya akhirnya memanggil Simon.
"Astaga Veronica! Apa yang terjadi sama kamu ?" tanya Simon dengan setengah berteriak saat mendapati keadaan sepupunya yang menyedihkan.
Simon lalu beralih menatap tajam kedua rekan kerja Veronica. Salah satu dari mereka menjelaskan masalah tersiramnya laptop Veronica yang menyebabkan benda itu tidak bisa menyala kembali.
Simon hanya dapat menghela napas kasar, tidak menyangka jika perundungan yang dialami oleh Veronica semakin parah di hari kedua ini.
"Terima kasih karena sudah menjaga Veronica, sekarang aku akan membawa dia pulang," ucap Simon yang membantu membereskan barang-barang Veronica.
Simon juga memapah Veronica, karena wanita itu seakan tidak memiliki kekuatan untuk berjalan sendiri. Lagi lagi semua orang yang melihatnya menatap Veronica sinis. Sebab saat siang tadi Veronica juga bersikap sama kepada Lukas.
Serbuan hujatan serta hinaan lagi-lagi mengarah kepada Veronica saat melihat pemandangan yang menurut mereka tidak lazim itu.
"Benar-benar wanita yang nggak tahu malu. Bisa-bisanya para pria tertipu dengan penampilannya itu."
Suara yang terdengar keras saat keduanya melintas, mau tak mau membuat Simon menghentikan langkahnya. Pria itu menatap tajam orang yang melontarkan komentar pedas itu. Seorang wanita yang sebaya dengan Simon.
Simon mengingat wanita itu saat menyatakan cinta kepada dirinya. Namun, karena Simon sudah memiliki kekasih maka wajar jika dia menolak.
Tapi siapa sangka penolakan Simon malah menimbulkan rasa sakit hati kepada wanita itu, dan sekarang dia melampiaskannya untuk menekan Veronica.
"Aku nggak menyangka kalau kamu adalah orang yang berpikiran picik," sahut Simon dengan nada sarkas.
"Memang kenyataannya seperti itu 'kan? Dia ini wanita yang nggak tahu malu. Bisa-bisanya nempel sana-sini. Buka mata kamu dong, Simon. Apa bagusnya perempuan ini sampai kamu memperhatikan dia seperti ini."
Mata Simon menggelap saat kalimat itu selesai meluncur dari bibir bergincu merah menyala itu.
Seorang wanita yang memang sejak awal bersama dengan wanita bermulut tajam itu merasa merinding saat melihatnya. Dengan cepat dia menarik tangan wanita bermulut tajam itu untuk segera meninggalkan gedung yang memiliki 15 lantai ini.
"Simon, katakan apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku benar-benar tidak tahan lagi! Rasanya aku mau mati aja."
Simon menoleh dan terkejut saat melihat Veronica yang menunduk dengan rambut terurai menutupi sebagian wajahnya. Penampilan Veronica lebih mirip seorang wanita bergaun putih yang menjadikan pohon besar sebagai rumahnya.
Seakan belum puas dengan penderitaan Veronica seharian ini, Lukas tiba-tiba muncul di hadapan keduanya dengan aura mengintimidasinya lalu menghardik Veronica.
"Jadi bukan hanya ceroboh, otak kamu juga mulai rusak. Mau lari dari tanggung jawab, heh!!"