Bab 9. Semakin Sulit

1308 Words
Veronica balik menatap Lukas yang menampilkan senyuman mengejek. Senyum yang memperlihatkan jika dia menikmati kesulitan Veronica. "Jangan berpikir untuk mati sebelum kamu membayar semua kesalahanmu padaku," ucap Lukas dengan senyum sinis yang menyiratkan dendam. Pose tangan pria itu yang menyilang di d**a sambil menatap Veronica dengan tajam, semakin menguarkan aura intimidasi pria itu. Veronica merasa seakan tubuhnya akan meleleh karena tatapan penuh permusuhan itu. Simon yang berdiri di sebelah Veronica, langsung melayangkan tatapan tajam kepada Lukas yang baru saja menghampiri mereka. Veronica akhirnya menunduk, dia tak berani untuk menyahut Lukas. Luka lama yang masih terbuka di hatinya kini kembali terasa pedih. "Pak Lukas, cukup!" sergah Simon dengan suara tegas, menatap mantan kekasih sepupunya itu penuh amarah. "Bapak sudah tidak punya hak untuk berbicara padanya seperti itu," ucap Simon dengan gigi bergemeletuk, menahan amarahnya. Lukas beralih menatap Simon dengan pandangan datar, lalu tertawa kecil. "Jangan membuatku tertawa karena lelucon konyol itu, Pak Simon. Saya mengerti kalau Anda ingin menjadi pembela setia wanita pengkhianat ini. Baik Simon maupun Veronica menunggu kelanjutan kalimat yang akan dikatakan oleh Lukas. "Tapi saya juga mengingatkan Anda untuk berhati-hati. Jangan sampai karena wanita penghianat seperti dia, Anda rela mengorbankan karir Anda yang cukup bagus di kantor ini ...." Sekarang Lukas beralih kepada Veronica, matanya memandang sinis mantan kekasihnya itu lalu berkata. "Tapi melihat pria ini yang begitu kukuh membela kamu, saya jadi curiga kalau kamu telah memberikan tubuh kamu sama dia." Suara tamparan menggema di lobi kantor yang mulai sepi di sore hari ini, Veronica yang melakukannya. Dia menampar pipi Lukas dengan penuh kekuatan, tak peduli jika tangannya terasa sakit dan panas. "Beraninya Bapak menganggap saya serendah itu," ucap Veronica yang kembali menangis. "Memang kenyataannya seperti itu 'kan," sahut Lukas dengan senyum mengejek. "Sudah cukup, Pak Lukas. Jangan anggap kami akan terus diam saat menerima perlakuan buruk Anda, Pak Lukas," balas Simon dengan tegas, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Namun Lukas semakin menunjukkan senyuman sinisnya, membuat Veronica teringat saat pria itu menghadapi pria asing yang menggodanya. Lukas bahkan tak segan-segan untuk menghajar pria itu sampai babak belur. Veronica menahan Simon, menggenggam lengannya dengan lemah. "Sudahlah, Simon. Aku tidak ingin memperpanjang masalah," ucap Veronica dengan lirih. "Aku nggak bisa membiarkan kamu terus menerus dihina olehnya, Vero," sahut Simon dengan amarah yang masih meluap. "Sudah kubilang jika tak ingin memperpanjang masalah ini." Simon hanya dapat mengusap kasar wajahnya saat mendengar suara Veronica yang sarat akan permohonan itu. Lukas mendengkus saat melihat interaksi keduanya, lalu dia berbalik dan meninggalkan keduanya dengan senyuman dingin. Veronica menggigit bibirnya, berusaha menenangkan diri. Pandangannya mengikuti punggung Lukas yang menjauh, rasa kecewa dan sedih berkecamuk dalam dirinya. Sementara Simon berdiri di sisinya, mencoba memberi dukungan di tengah situasi yang sulit bagi sang sepupu. "Ayo kita perbaiki laptop kamu," ajak Simon. Veronica menatap sang sepupu dengan lirih, membuat pria itu menyadari ada sesuatu yang aneh dengan Veronica. "Ada apa, Vero?" tanya Simon dengan lembut. "Uangku nggak cukup untuk memperbaiki laptop ini," jawab Veronica dengan menunduk. Simon menatap Veronica lalu membuang napas kasar, bertanya-tanya dalam hati, apa yang terjadi dengan sang sepupu. "Yaelah, Vero. Santai aja, kayak sama siapa aja. Tenang aja, aku yang bayarin biaya servicenya," ucap Simon yang segera menarik tangan Veronica menuju mobilnya. "Makan dulu, baru kita ke tempat servicenya," ucap Simon yang mulai merasa lapar. "Kamu aja yang makan, Mon. Aku nggak lapar," ujar Veronica seraya menyandarkan kepalanya pada kaca mobil. "Tapi kamu harus makan Vero. Muka kamu masih pucat banget. Jangan sampai Om dan Tante khawatir lagi melihat keadaan kamu seperti ini. Cukup sekali mereka merasakannya saat melihat kamu hancur 5 tahun yang lalu." Veronica menghembuskan napas perlahan dan akhirnya menyetujui ajakan Simon. Benar kata sang sepupu, tidak seharusnya Veronica membuat kedua orang tuanya merasa bersalah karena tak dapat berbuat apa-apa seperti saat itu. "Ini tempat service-nya, nggak jauh 'kan dari tempat kita makan tadi," ucap Simon yang langsung menarik tangan Veronica masuk saat mereka selesai makan malam. Veronica langsung memindai keadaan ruko berlantai 3 yang tidak luas, tapi tak menimbulkan kesan sempit. Simon segera mengulurkan tas laptop Veronica kepada seorang pria berwajah oriental. Dia bahkan menjelaskan dengan detail kronologi yang menimpa benda elektronik itu. Pria itu hanya mengangguk sambil meneliti keadaan laptop Veronica wanita itu menatap wajah teknisi itu dengan penuh harap. "Tenang aja, Mbak. Laptop Mbak nggak mengalami kerusakan yang cukup serius. Untung saja tersiram air biasa, bukan yang berwarna. Ini 2 hari juga udah kelar." Veronica menghela napas lega saat mendengarnya, Simon segera membayar setengah biaya perbaikan itu dan mengajak wanita itu untuk pulang. "Simon, Veronica!" Seruan itu membuat keduanya menoleh, tampak seorang wanita berpakaian kerja warna hijau botol dalam jarak beberapa meter dari tempat mereka. Simon langsung tersenyum sumringah saat melihat wanita itu, langkah kakinya secara otomatis menuju ke arah wanita itu. Sementara Veronica mengekor di belakang Simon. "Aku kira kamu bercanda saat bilang ada meeting di daerah dekat sini," ucap Simon yang segera menggandeng tangan Dina, sang kekasih. Melihat hal itu membuat Veronica sadar diri, dan memutuskan untuk pulang secepatnya meninggalkan pasangan yang sedang kasmaran itu. "Simon, Mbak Dina. Aku pulang dulu ya, sekarang kalian harus bersenang-senang karena jarang ketemu juga 'kan." Veronica akhirnya mengambil langkah cepat saat menyelesaikan ucapannya. Dia tidak mau menjadi pengganggu di saat romantis Simon dan Dina. Dalam perjalanan pulang, Veronica menopang dagunya dengan sebelah tangan. Dia kembali teringat kepada masa-masa indah bersama Lukas saat masih berpacaran dulu. Dalam hatinya dia berharap kehidupannya akan baik-baik saja setelah hari ini. Namun sayang harapan itu hanya menjadi angan, karena pada keesokan harinya, suasana kantor terasa lebih berat bagi Veronica. Baru saja dia melangkah masuk, tatapan sinis dan bisik-bisik para pegawai mulai mengarah padanya. Mereka membicarakan Veronica yang tidak tahu malu karena menggoda dua pria dalam satu waktu, Lukas dan Simon. Kabar itu seakan menjadi bahan gosip panas di setiap sudut kantor ini. Andai saja Veronica tidak mencegah Simon, dia sudah membeberkan hubungan mereka yang sebenarnya. Veronica menahan napas saat seorang rekan kerja di divisi lain melewatinya dengan tatapan menyindir. Sementara seorang lainnya bahkan berbisik dengan nada mengejek di dekatnya. Perasaan malu dan frustrasi menguasai dirinya, namun Veronica tetap mencoba fokus dan melanjutkan pekerjaannya. Sayangnya, belum juga waktu istirahat tiba, Lukas datang ke divisi keuangan dengan ekspresi penuh otoritas. Mata pria itu menatap Veronica tanpa perasaan. Dengan suara dingin, Lukas menaruh tumpukan dokumen di depan Veronica, yang seketika membuat meja kerjanya penuh sesak. “Kamu harus menyelesaikan semua ini hari ini. Laporan analisis keuangan dari tiga bulan terakhir, semua harus di-review dan diverifikasi ulang," ujar Lukas dengan nada yang hampir tidak manusiawi. "Dan pastikan tidak ada satu pun kesalahan." "Tiga bulan? Pak Lukas … pekerjaan ini biasanya dibagi ke beberapa orang, tidak mungkin selesai dalam satu hari …." Veronica menatap tumpukan dokumen itu dengan mata melebar. Namun, Lukas hanya menyeringai sinis. "Tidak ada yang tidak mungkin, Veronica. Kau hanya perlu bekerja lebih keras. Atau memang kamu yang tak mampu?" sindirnya halus, menekan perasaan tidak berdaya Veronica. Simon yang kebetulan menyaksikan itu dari luar ruangan, segera menghampiri keduanya. "Ini sudah keterlaluan, Pak Lukas. Bapak tidak bisa memperlakukannya seperti ini. Bapak memberikan tugas yang tak masuk akal!" ucapnya lantang yang dibalas Lukas dengan menatap Simon dengan dingin. "Jangan ikut campur, karena ini adalah urusanku dengannya. Lebih baik fokus saja pada pekerjaanmu sendiri,” balas Lukas tanpa ragu. "Bagaimana bisa saya tidak ikut campur kalau Bapak berlaku semena-mena seperti ini pada Veronica," sahut Simon tak terima. "Simon. Sudah jangan diperpanjang, biarkan Pak Lukas melakukan tugasnya. Sekarang kamu balik aja ke ruangan kamu, apa kamu nggak lihat kalau semuanya memandang ke arah kita?" pinta Veronica. "Veronica!" panggil Simon dengan nada agak meninggi. Veronica menatap sendu Simon dan membuat pria itu menyerah dan kembali ke ruangan divisi pemasaran. Sementara Lukas memandangi Veronica tanpa ekspresi. Tanpa kata, Veronica mengambil dokumen-dokumen itu, meski hatinya terasa semakin remuk. Di saat inilah Veronica menyadari bahwa harinya di kantor tidak akan pernah sama lagi selama Lukas ada di sana dengan dendam yang terus-menerus menyudutkannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD