Bab 13. Support System

1209 Words
Jefri terkesiap saat mendengarnya. Dia pernah bertemu beberapa kali dengan Lukas saat Veronica masih berpacaran dengan pria itu. Awal mengenal Lukas, Jefri tentu saja menyukai pria itu. Akan tetapi, perasaannya sebagai seseorang ayah selalu ragu saat Lukas mencoba memperkenalkan keluarganya. Karena itu Jefri terus mengulur pertemuan. Beragam alasan Jefri keluarkan saat Lukas mengajak mereka. Jefri merasa ragu karena Lukas jelas orang yang berbeda dunia dengan mereka. Berulang kali Jefri ingin meminta Veronica untuk mengakhiri hubungannya sebelum perasaannya terlalu dalam kepada pria itu. Namun saat melihat binar kebahagiaan yang terpancar dari wajah Veronica, membuat Jefri tidak tega untuk mengatakannya. Dan rupanya Namira menyadari itu, sehingga dia memutuskan untuk mulai melakukan investasi kecil-kecilan dengan keuntungan yang masih sangat tipis. Tapi sejak Veronica putus dengan Lukas 5 tahun yang lalu dan tragedi kelam yang tak lama terjadi, Namira semakin terobsesi untuk melakukan investasi dalam jumlah yang cukup besar. Hanya saja dalam 2 tahun terakhir ini, Jefri merasa Namira mulai kehilangan kendali. Dia terlalu sering melakukan investasi tanpa membicarakannya terlebih dahulu kepada dirinya. Mereka mulai terlilit hutang, meskipun pada akhirnya dapat membayarnya. Seperti saat ini contohnya, Jefri baru mengetahui Namira menggunakan modal usaha mereka tadi siang. Jefri merasa perlu menasihati sang istri agar berhenti dari investasi yang mulai tak benar itu, tapi sayangnya Namira malah marah besar dan menganggapnya tidak mau hidup senang. "Ayah!" Jefri tersadar saat Veronica memanggilnya, raut wajah penuh kesedihan pun tergambar jelas di sana. Pria itu mengusap wajahnya dengan kasar sebelum berkata kepada sang putri. "Kamu lebih baik mandi dulu, Nak. Baru setelah itu kita bicara, kamu sudah makan siang?" Veronica yang tak sanggup menjawab hanya menggeleng lalu menyeret langkahnya menuju lantai 2, di mana kamarnya dan adik pertamanya berada. Jefri menatap punggung anak sulungnya dengan tatapan sendu, sebelum menuju dapur untuk membuat makanan. 15 menit kemudian, Veronica sudah berada di dapur yang menyatu dengan ruang makan, wajahnya pun terlihat lebih segar. Jefri menyelesaikan masakannya yang berupa sup ayam dengan berbagai isian sayuran yang tersisa di kulkas. Dia membiarkan Veronica menghabiskan makanan, meski sang putri mengunyahnya dengan perlahan. Jefri lalu menyodorkan secangkir teh hangat ke tangan Veronica setelah sang putri menghabiskan makanannya. "Minum ini dulu, Nak. Kamu terlihat sangat lelah." Veronica menerima cangkir itu dengan senyum tipis. "Terima kasih, Ayah." Jefri menghela napas pelan, lalu duduk di sebelah putrinya. Dia memandangi Veronica yang telah lama kehilangan keceriaan nya itu. "Jadi apa kamu sudah siap bercerita?" tanya Jefri dengan tatapan serius. Veronica terdiam sejenak, menatap cangkir di tangannya. Setelah beberapa detik, dia mengangguk pelan. "Iya, Ayah ... Lukas ... dia telah kembali dan menjadi atasan aku di kantor, tapi dia terus menekan aku. Rasanya ... aku nggak sanggup lagi menghadapinya." Jefri mengangguk, berusaha menahan amarah yang mulai muncul. Tidak cukupkah ibu Lukas memporak-porandakan kehidupan mereka lima tahun yang lalu? Apakah Veronica tetap harus menjadi pihak yang bersalah di sini, sementara dia adalah korban keegoisan dari orang kaya itu? "Veronica," panggil Jefri lembut, tapi tegas. "Kalau kamu merasa nggak tahan lagi di tempat itu, kamu bisa keluar dari sana. Jangan merasa terbebani karena kami, Nak. Seharusnya kamu berkerja untuk memenuhi kebutuhanmu sendiri, bukan untuk membantu melunasi hutang kami," ucap Jefri setelah membuang napas kasar. Veronica menatap sang ayah dengan mata berkaca-kaca lalu berkata. "Tapi, Ayah ... aku nggak mau kalian kerepotan, adik-adik sudah semakin besar dan butuh biaya. Selain itu kalau aku keluar dari kantor itu, Lukas mengancamku agar tidak ada satu pun perusahaan yang mau menerima aku. Otomatis aku akan jadi pengangguran dan aku nggak mau menambahkan beban Ayah." Jefri menggenggam tangan putrinya dengan erat lalu berkata lembut. "Veronica, kamu bukan beban. Kamu anak Ayah. Kalau Ayah bisa membantu meringankan bebanmu, itu bukan kerepotan, itu tanggung jawab Ayah sebagai orang tua." "Kamu nggak perlu memaksakan diri menghadapi orang yang cuma mau menyakitimu. Hidup ini terlalu berharga untuk dihabiskan di tempat yang nggak membuatmu bahagia." Veronica menggeleng pelan, air mata menetes di pipinya. "Aku harus kuat, Yah. Aku harus tunjukkan sama dia jika aku baik-baik saja, meskipun dia terus menekan aku. Kalau aku pergi itu sama saja aku kalah dari mereka dan pengorbananku akan sia-sia. Dia juga nggak akan pernah kembali kepadaku, meskipun setiap malam aku merindukannya." Jefri menghela napas berat, lalu mengusap kepala Veronica dengan lembut. "Kalau itu memang keputusanmu, Ayah akan selalu mendukung. Tapi ingat, kamu nggak sendirian, Vero. Kalau suatu hari kamu merasa nggak kuat, kami terutama Ayah ada di sini untukmu." Jefri tersenyum bangga, meski di dalam hatinya dia masih khawatir. "Kamu pasti bisa melaluinya, Nak. Ayah percaya sama kamu." Hati Veronica terasa sedikit lebih ringan. Dukungan ayahnya menjadi kekuatan baru untuk menghadapi tantangan yang menanti esok hari. Tepat setelah sesi curhat berlangsung, ketiga adik Veronica pulang dari sekolah secara bergiliran. Adik pertama Veronica yang berusia 17 tahun tentu saja mengerti jika sang kakak habis menangis. Mata merah dan bengkak Veronica yang telah menegaskannya. Pemuda itu menahan rasa penasarannya, karena masih ada kedua adiknya yang masih kecil dan tak mengerti peliknya kehidupan orang dewasa. Malam itu saat Veronica berkutat dengan laptopnya, adik pertamanya masuk ke kamarnya. Pemuda itu menepuk pundak Veronica agar sang kakak tidak terkejut. "Kak, sudah malam. Kenapa masih bekerja?" tanya sang adik. "Begini lah, resiko jadi b***k korporat. Kakak harus menyelesaikan pekerjaan yang nggak ada habis-habisnya. Kakak berharap kamu dan adik-adik lebih baik dari Kakak," ucap Veronica dengan senyuman yang dipaksakan. Sang adik terdiam saat melihatnya dan mengerti jika Veronika dalam keadaan yang tak baik-baik saja. "Kak, keluar makan, yuk. Kayaknya kita udah lama nggak nge-date," ajak sang adik. "Tapi gimana sama adik-adik? Mereka pasti juga mau keluar juga," tanya Veronica yang jelas tak mau menikmati makanan sendirian. "Nanti kita bungkus, untuk Ayah, Ibu dan adik-adik. Tenang aja, Kak. Upah kerja freelance-ku udah cair, lumayan buat kita makan setengah bulan," ucap sang adik dengan nada bangga. Tapi Veronica tidak suka saat mendengarnya, dia segera menegur Aldo-adik pertamanya itu. "Kamu ... kerja? Kenapa nggak bilang Kakak dulu? Bagaimana kalau kamu kecapean dan itu akan mempengaruhi nilai kamu di sekolah? Jangan sampai beasiswa kamu dicabut karena nilainya jeblok?" Aldo hanya tersenyum, seakan sudah memperkirakan hal ini terjadi. Raut wajah Veronica yang memucat kini mulai dihiasi oleh semburat merah, membuat wanita itu terlihat lebih hidup. "Kakak tenang aja, kerjaan aku nggak akan mempengaruhi nilai disekolah. Ayo cepet, mumpung sekarang masih jam 8. Belum terlalu malam juga," ucap Aldo yang kini menarik tangan sang kakak. Kedua adik mereka yang tidur pada lantai 3, tentu saja tidak mengetahui jika kedua kakak mereka keluar rumah pada hari yang semakin malam ini. 10 menit kemudian, keduanya tiba di sebuah kafe kecil tempat favorit anak muda yang sedang hits. Veronica hanya diam membiarkan Aldo memilih menu untuk keduanya. Dia tak ingin merusak kebahagiaan Aldo yang merasa bangga dapat membayar tagihan makan mereka untuk pertama kalinya. "Kakak kenapa tadi menangis?" tanya Aldo dengan nada menuntut. Veronica hanya terdiam, tak mampu untuk menjawab pertama sang adik yang menatapnya tajam. Dia jelas mengetahui sifat Aldo yang amarahnya mudah tersulut itu. Menceritakan keadaannya di kantor pada Aldo hanya membuat keadaannya semakin runyam. Veronica berpikir cepat untuk memberikan alasan yang masuk akal kepada Aldo. Namun kesialan rupanya tak mau pergi dari dirinya. Karena beberapa saat kemudian sebuah suara sinis memecahkan kesunyian di antara sepasang kakak dan adik itu. "Wah. Lihat ini siapa yang ada di sini? Jadi rupanya selain berselingkuh dengan Simon, kamu bermain-main juga dengan berondong!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD