"Itu balasan untuk kamu, wanita nggak tahu diri. Bisa-bisanya kamu mau mengganggu hubungan orang yang saling mencintai!"
Veronica hanya menghela napas saat menghadapi luapan amarah wanita yang baru dia sadari adalah salah satu office girl di kantor ini.
Dan sialnya wanita itu menyiramkan minuman jus mangga ke tubuh Veronica. Untung saja tas laptop yang dipakai Simon adalah anti air. Jadi sudah dapat dipastikan jika benda elektronik itu aman.
"Kalau gua jadi lo, gua udah berhenti dari sini. Bisa-bisanya lo bersikap biasa saja padahal telah berselingkuh dari Pak Lukas. Memang benar kalau wanita kayak lo itu nggak tahu malu."
Veronica hanya diam dalam menghadapi hinaan yang terus-menerus dilontarkan oleh wanita yang memancarkan aura permusuhan kepada dirinya.
Dia sadar tidak mungkin membantah ataupun memberi klarifikasi saat berhadapan dengan orang yang sangat membencinya.
"Ada apa ini?"
Veronica menoleh dan melihat salah satu rekan Simon berjalan ke arahnya dengan ekspresi yang menurutnya ... meremehkan. Saat itulah dia sadar keadaan semakin tak menguntungkan baginya.
Apalagi rekan satu divisi Simon, terkenal julid dan dapat membuat sakit hati orang yang diajaknya bicara.
"Kenapa Ibu Munah menyiram Veronica dengan jus?" tanya pria itu yang hanya pura-pura.
Tatapan mengejek dan sinis itu sangat jelas dalam pandangan mata Veronica, dia akhirnya memilih pasrah menghadapi serangan-serangan yang mungkin terjadi sebentar lagi.
"Masa Mas Dika nggak tahu apa yang udah dia lakukan?" tanya wanita itu dengan mencibir.
"Ya ... anggap saja seperti itu. Bu," jawab pria itu dengan senyum mengejek.
"Wanita seperti ini nggak akan sadar kalau kita pakai cara lembut, yang ada kelakuannya semakin menjadi," tutur sang wanita dengan nada menggurui.
Sang pria yang memang memiliki sifat ingin bergosip, tentu tak melewatkan kesempatan ini. Apalagi dia menyimpan dendam kepada Veronica yang pernah menamparnya di depan orang banyak.
Padahal apa yang dilakukan oleh pria itu kepada Veronica sangat kurang ajar dan tak dapat termaafkan. Pria itu, Dika dengan sengaja mengelus tangan Veronica dan menempelkannya pada area pribadinya.
Tentu saja Veronika mengamuk dan langsung melayangkan tamparan pada pria itu. Namun sayangnya, karena sikap luwes dan manipulatifnya, membuat Veronica yang menjadi tersangka dan Dika-lah korbannya.
Simon pun yang mengetahui hal itu marah besar dan berniat untuk menghajar Dika. Namun Veronica mencegahnya, karena dia tahu jika tidak akan dapat menang melawan pria itu. Dan sejak itu juga Simon bermusuhan dengan pria itu.
"Iya, Ibu benar sekali. Wanita seperti dia memang biasanya hanya tahu menggunakan wajahnya daripada otaknya," cerca pria itu yang semakin bersemangat untuk menjatuhkan mental Veronica.
"Tarik kata-katamu yang bilang kalau aku wanita seperti itu!" sergah Veronica dengan mata menyalang.
Namun wajahnya yang pucat, membuat Veronica seperti hanya melakukan gertak sambal di depan kedua orang itu.
"Sudahlah Veronica, jangan bersandiwara lagi. Aku tahu kalau kamu pasti sering ...."
Veronica hanya dapat menghembuskan napas berkali-kali. Kepalanya mulai terasa berdenyut, telinganya juga ikut berdenging tak lama sesudahnya.
Dia menggerutu di dalam hatinya, mengapa orang-orang yang ditemuinya sangat suka menggantung ucapannya. Apakah mereka ingin Veronica menebak maksud dari mereka.
Rasa penat semakin menjalari tubuh Veronica, dia harus pulang secepatnya dan merebahkan diri pada kasur empuknya. Akan tetapi, Veronika masih melihat jika pria itu memiliki niat untuk mempermalukan dirinya.
"Kalau Bapak dan Ibu masih ingin membicarakan saya, silakan lanjutkan besok saja. Saya cape dan ingin tidur. Bu Nana sudah mengijinkannya," ucap Veronica yang kini memilih melangkah meninggalkan gedung perkantoran, mengabaikan keduanya.
***
Veronica melangkah masuk ke rumah dengan langkah gontai. Bajunya sedikit kusut dan kotor, matanya tampak berat karena menahan tangis sepanjang perjalanan pulang.
Namun, saat ia membuka pintu rumah, suasana di dalam bahkan lebih kacau. Suara pertengkaran keras ayah dan ibunya menggema di ruang tamu.
Di ruang tengah, meja makan penuh berkas-berkas yang berserakan, bukti kekacauan yang baru saja terjadi. Sang ibu berdiri dengan tangan di pinggang, wajahnya merah padam. Sementara sang ayah duduk di kursi dengan tangan menutupi wajah, napasnya berat.
"Ibu 'kan sudah bilang, ini kesempatan sekali seumur hidup! Kalau kita berhasil, uang 100 juta itu nggak ada apa-apanya dibandingkan keuntungan yang bakal kita dapat!"
Suara menggelegar Namira-sang ibu menjadi sambutan baginya.
"Kesempatan apa, Bu?! Sudah Ayah bilang itu penipuan! Harus dengan cara apa lagi Ayah bisa menyadarkan Ibu? Sekarang uang kita lenyap, dan modal usaha toko habis. Bagaimana kita mau bayar utang bahan bangunan minggu depan?!" balas Jefri dengan nada yang tak kalah tinggi.
Untung saja ketiga adiknya masih belum pulang dari sekolah karena mengikuti ekskul, kalau tidak Veronica tidak dapat membayangkan betapa sedihnya hati mereka.
Lagipula tumben sekali saat jam segini keduanya sudah ada di rumah. Jadi siapa yang menjaga toko material mereka? Tutup lebih awal kah? Atau dijaga oleh pegawai mereka? Tanya Veronica di dalam hatinya.
"Kenapa Ayah selalu menyalahkan Ibu?! Bukannya bantu cari solusi, malah marah-marah terus! Kalau Ibu nggak ambil risiko, kita akan terus hidup begini, nggak akan pernah maju!"
"Maju? Ini bukan maju, tapi bunuh diri namanya! Ayah sudah bilang jangan ikut-ikutan investasi bodoh kayak begitu, tapi kamu keras kepala!"
Namira memutar bola matanya dengan geram, mengambil tas tangan yang tergeletak di sofa.
"Ibu nggak mau dengar ceramah Ayah lagi. Ibu mau keluar bertemu teman-teman yang seenggaknya ngerti soal investasi, bukan kayak Ayah yang bisanya cuma nyalahin!"
Namira melangkah keluar rumah, membanting pintu hingga bergema memenuhi ruangan. Veronica berdiri di sudut, mematung, menyaksikan semua dengan hati berat.
Veronica mencoba menelan emosinya. Namun, pemandangan ini membuat tubuhnya terasa lebih lemah. Ia ingin berteriak, tapi suaranya tertahan di tenggorokan.
Ayahnya, yang akhirnya menyadari kehadirannya, mendongak dari tempat duduknya. Wajahnya tampak lelah dan kusut, namun ia mencoba tersenyum menenangkan putrinya.
"Veronica, maaf kamu harus melihat semua ini." Jefri berdiri, mendekati putrinya dan menepuk pundaknya pelan.
Namun Jefri menyadari penampilan berantakan sang putri, baju kerja berwarna lilac itu terkena noda dan aroma manis mangga yang samar tercium dari tubuh Veronica.
Veronica berkata Dengan suara serak "Ayah ... semua ini ... kenapa jadi begini?"
"Terkadang hidup memang sulit, Nak. Tapi Ayah janji, semuanya akan baik-baik saja. Kita pasti bisa melewati ini."
Veronica mengangguk pelan, walaupun hatinya masih penuh keraguan. Ia tahu janji ayahnya bukan jaminan pasti. Namun, ia tetap menghargai usaha ayahnya untuk tetap terlihat kuat di tengah kekacauan ini.
Ayah dan anak itu berdiri dalam keheningan. Veronica tahu ini hanyalah awal dari badai yang lebih besar. Baik di kantor maupun di rumah.
Namun dalam pelukan ayahnya, Veronica merasa jauh lebih kuat dan siap menghadapi badai itu.
"Vero, kenapa kamu udah pulang? Terus kenapa kamu kelihatan kusut seperti ini?" tanya Jefri yang membuat Veronica terkejut.
Lidahnya terlalu kelu untuk menjawabnya, Veronica hanya menatap sendu sang ayah. Jefri yang mengerti arti tatapan itu hanya membuang napas panjang. Pria itu kembali membawa sang putri di dalam dekapannya.
"Vero. Nggak apa-apa, Sayang. Semuanya akan berlalu, semua akan baik-baik saja. Kalau lelah, kamu bisa istirahat sebentar."
Perkataan Jefri malah membuat Veronica menangis meraung-raung layaknya anak kecil.
"Ayah! Apa yang harus aku lakukan? Pria itu ... Lukas, dia kembali dan malah menjadi atasan aku di kantor."