Suara seorang wanita membuat Veronica menoleh, dia mengenali siapa yang memanggilnya. Tampak tiga orang wanita yang berpakaian trendy berdiri di dekatnya.
Salah satu dari mereka adalah Rina-rekan kerja Veronica di kantor. Saat mata mereka bertemu wanita itu tersenyum sinis, lalu berjalan mendekatinya bersama teman-temannya.
"Veronica, aku nggak nyangka kalau seleranya kamu berondong. Aku akuin, sih kalau dia ganteng banget" ujar Rina dengan nada mengejek, matanya melirik Aldo dari atas ke bawah.
Suara wanita itu yang kencang membuat perhatian semua pengunjung beralih kepada mereka. Kasak kusuk pun terdengar, membuat Veronika hanya dapat menghela napas panjang.
Tidak di kantor tidak di luar seperti ini, Veronica tak dapat sedikit menghirup udara kebebasan. Hujatan dan cercaan seakan mengikuti dirinya kemanapun dia berada.
"Dia pacar atau selingkuhan kamu? Kelihatan masih bocah banget, kamu itu p*****l ternyata."
Wajah Veronica memerah bukan karena malu, tetapi karena ucapan Rina yang semakin memojokkannya. Aldo yang duduk di sebelahnya pun otomatis mengepalkan tangan dengan wajah tegang.
"Jaga omonganmu, dasar nenek lampir," ucap Aldo dengan suara rendah namun penuh kemarahan.
"Aldo, watch your mouth. Jangan kurang ajar sama orang yang lebih tua," kata Veronica berusaha tetap tenang meski amarahnya bergejolak.
"Tapi Kak ...."
Veronica mengangkat tangannya sebagai tanda agar sang adik diam dan jangan mencampuri urusannya. Dia menarik napas panjang, lalu menatap Rina dan bertanya dengan nada dingin.
"Apa masalahmu denganku, Rina? Padahal aku tidak pernah menyinggungmu di kantor?"
"Memang kamu tidak pernah membuat masalah denganku, tapi kamu mencari masalah dengan Dika. Katanya tadi siang kamu mengabaikannya," ucap Rina dengan sinis.
Veronica hanya mengerutkan dahi sejenak, teringat jika tadi siang sempat melakukan sedikit konfrontasi dengan pria bermulut julid itu.
"Jadi kamu lagi ngebucin sama Dika, pastikan saja kamu tidak menyesali pilihan yang kamu buat," sahut Veronica dengan mengejek.
"Kamu ... beraninya bicara seperti itu sama aku," balas Rina dengan wajah memerah karena emosinya terpantik.
"Mau menggigit tapi nggak mau digigit," ucap Veronica yang ini menampilkan senyum meremehkan.
Tanpa menunggu tanggapan balasan Rina, Veronica meraih tasnya dan menggandeng Aldo keluar dari kafe. Dia tidak mau membuat kerusuhan di kafe yang pastinya akan merugikan dirinya.
"Kak Vero. Kenapa Kakak halangi aku untuk menyahuti si nenek lampir itu. Aku nggak bisa diam aja kalau ada yang ngatain Kakak begitu! Lagian siapa sih dia datang-datang malah menghina Kakak."
Veronica hanya terdiam saat Aldo meluapkan emosinya.
"Dia itu rekan kerja Kakak di kantor. Kakak sebenarnya juga nggak terima dengan perlakuannya, tapi kita nggak bisa membuat keributan di tempat umum seperti itu, Aldo."
Veronika menjeda ucapannya sejenak sembari menatap mata sang adik, memastikan pemuda itu mengerti apa yang diucapkannya.
"Yang ada malah kita rugi kalau meladeni orang sakit jiwa kayak mereka. Sekarang lebih baik kita pulang karena hari sudah semakin malam, besok kamu juga masih harus sekolah."
Aldo menghela napas panjang lalu mengangguk, meski wajahnya masih tampak kesal saat Veronica menyelesaikan ucapannya.
"Tapi kalau ada yang kayak gitu lagi sama kakak, aku nggak bakal tinggal diam."
Veronica mengacak rambut sang adik dengan lembut dan itu membuat Aldo risih setengah mati, karena sang kakak masih memperlakukannya seperti anak kecil. Padahal tinggi badannya sudah melampaui jauh Veronica.
"Kakak tahu kamu akan selalu melindungi Kakak. Terima kasih, Aldo."
Aldo mengulas senyum lebar sebagai tanda jika Veronica dapat mempercayai dirinya jika sang kakak mendapatkan kesulitan.
Setelahnya Aldo melajukan motor meninggalkan kafe, dengan diiringi perasaan yang bergemuruh di dalam d**a.
Veronica yakin jika besok gosip buruk yang menerpanya akan semakin hebat saja. Apakah dia akan sanggup lagi menghadapinya atau menyerah, Veronica juga tidak tahu.
***
Langit pagi ini berwarna kelabu sebagai tanda jika sebentar lagi akan turun hujan. Veronica melangkahkan kakinya ke kantor dengan berat.
Benar saja firasatnya, begitu Veronica akan melangkah ke ruang divisi keuangan, dia sudah melihat Rina berdiri di dekat meja pantry bersama beberapa karyawan lain. Bisikan dan tawa kecil mereka seolah dirancang agar sampai ke telinga Veronica.
"Jangan-jangan dia memang pakai sugar baby buat obat stres."
Suara salah satu rekan kerjanya terdengar cukup jelas, meski berpura-pura dibisikkan. Veronica menggertakkan giginya, mencoba menahan emosi yang nyaris meledak.
Dia tetap melangkah dengan kepala tegak, berusaha tidak peduli, meski tawa sinis itu seakan menghantui setiap langkahnya.
"Veronica."
Suara bariton yang memanggilnya, membuat langkah Veronica terhenti dan menoleh. Lukas berdiri di depannya, tinggi menjulang.
Ingatannya seketika terlempar saat mereka masih menjadi sepasang kekasih. Lukas yang memiliki tinggi badan 185 cm selalu berusaha mengimbangi Veronica yang hanya 158 cm, agar dia tidak merasa pegal saat berdampingan dengan pria itu.
Tapi sekarang pria itu bahkan tak menundukkan kepalanya dan membiarkan Veronica yang mendongak, tak peduli betapa pegalnya Veronica saat ini.
Tatapan tajam Lukas menyapu sekelilingnya, termasuk pada Rina yang mengalihkan pandangannya ke arah lain.
"Ikut saya ke ruangan saya," perintah Lukas tanpa ekspresi, tetapi suaranya penuh tekanan.
Veronica mengangguk pelan, mengikuti di belakangnya. Begitu pintu ruangan tertutup, pria itu langsung menatapnya dengan sorot yang sulit untuk diterjemahkan.
"Sampai kapan kamu akan membiarkan gosip itu membesar?" tanyanya dengan nada dingin namun menuntut.
"Apa maksud Bapak?"
Veronica berpura-pura tak mengerti dan melontarkan pertanyaan kepada Lukas yang menampilkan raut wajah penuh emosi.
"Jangan pura-pura tidak tahu, Veronica," potong Lukas, suaranya sedikit lebih keras.
Veronica terkejut, namun berusaha berpura-pura tenang di hadapan Lukas yang seakan menguliti dirinya.
"Saya sudah mendengar gosip murahan yang beredar kalau kamu berkencan dengan pria yang lebih muda di kafe kemarin. Apa itu benar? Jawab aku, Veronica!"
Kali ini Veronica tidak dapat menahan rasa terkejutnya, karena bentakan Lukas yang menggelegar. Dia bahkan memegang dadanya sebagai tanda jika jantungnya berdebar kencang saat ini
"Saya berhak untuk tidak menjawab, karena ini adalah masalah pribadi saya."
Lidah Veronica terasa kelu, namun dia berusaha untuk melanjutkan perkataannya.
"Lagipula gosip seperti ini akan reda dengan sendirinya jika saya tidak menanggapinya."
"Sudah berapa banyak laki-laki yang kamu perdaya, hah! Kamu menjual dirimu pada mereka, iya 'kan? Murahan sekali dirimu."
Suara tamparan yang diringi suara petir yang menggelegar tak lama terdengar. Lukas memegang pipinya yang terkena bekas tangan Veronica.
Tatapan Veronica berubah tajam saat memandang Lukas. Dadanya mengembang kempis menahan gejolak emosi.
"Apa maksud Bapak mengatakan itu kepada saya? Bapak pikir saya ini w************n yang suka berganti-ganti pria!"
Veronica membentak Lukas, jari telunjuknya bahkan mengacung tepat di depan wajah Lukas, membuat pria itu mengepalkan tangan dengan erat. Tak dia sangka Veronica berani untuk menamparnya.
"Tapi kenyataan memang seperti itu 'kan. Kamu berpelukan dengan pria lain, sementara aku baru saja memulai kuliahku. Apa itu namanya kalau bukan w************n?"
Lukas membalas perkataan Veronica dengan nada yang tak kalah tinggi. Keduanya saling bertatapan dengan penuh kemarahan.
Suasana panas pun tercipta di ruangan ini. Berbanding terbalik dengan keadaan yang ada di luar gedung. Hujan deras yang turun, membuat suhu udara turun secara drastis.
"Tarik kembali kata-kata Bapak sekarang juga," ucap Veronica dengan nada memerintah.
"Kenapa saya harus melakukannya kalau itu memang kenyataannya," sahut Lukas yang berkeras akan pendapatnya.
Veronica menghela napas panjang, mencoba menahan air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Tapi kali ini, harga dirinya terlalu hancur untuk tetap diam. Dia menggigit bibirnya keras-keras, menahan diri agar tidak kembali menampar pria yang dulu pernah menjadi dunianya.
"Kalau begitu, Bapak tidak perlu menarik kata-kata itu," katanya dengan nada rendah yang dingin, lebih tajam dari seribu pisau. "Tapi dengarkan baik-baik, Pak Lukas. Semua yang Bapak pikirkan tentang saya ... semua yang Bapak yakini ... semuabsalah besar."
Lukas mendengkus, senyumnya mengejek. "Oh ya? Mau memberi ceramah lagi, Veronica?"
Veronica melangkah maju, membuat Lukas mundur setengah langkah tanpa sadar. Mata mereka bertemu, dan kali ini ada sesuatu di mata Veronica yang membuat Lukas merasa sedikit terintimidasi.