Veronica tersentak, matanya menunjukkan raut wajah sedih bercampur marah saat Karmila selesai berkata. Ingatannya melayang saat 5 tahun yang lalu saat wanita ini mengancamnya untuk memutuskan hubungan dengan Lukas.
Awalnya Veronica tidak mau, tapi Karmila mengancam akan menghancurkan usaha sang ayah. Karena itulah Veronica terpaksa harus meminta bantuan dari Simon agar alibinya berjalan sempurna.
"Veronica, aku tidak akan berbasa-basi lagi. Jangan pernah bermimpi jika kalian akan dapat bersama. Kamu dan Lukas bagaikan langit dan bumi," ucap Karmila dengan nada angkuh.
"Maaf, Bu Karmila. Sekali lagi saya tegaskan sama Ibu, jika saya tidak akan mengambil tindakan yang dapat menghancurkan keluarga saya," sahut Veronica dengan tegas.
"Bagus kalau kamu sudah mengerti di mana posisimu berada. Kamu pasti sudah bertemu dengan Helena, tunangannya Lukas 'kan," ucap Karmila dengan mengulas senyuman mengejek.
"Kamu bisa lihat betapa berbedanya kamu dengan Helena, Lukas dengannya sangat sepadan jika bersanding, tidak seperti kamu yang hanya ...."
Karmila menggantung ucapannya, wanita yang selalu berpakaian elegan dan mahal itu menatap penuh penghinaan kepada Veronica dari atas kepala sampai ujung kaki.
Wanita itu menatap Veronica seakan dia adalah pengemis yang tak patut merasakan udara yang sama dengan wanita itu.
Veronica merasakan dadanya berdegup kencang. Dia mengumpulkan keberaniannya untuk menjawab ibu dari mantan kekasihnya itu.
"Bu Karmila ... saya sudah menerima kenyataan, kalau saya dan Lukas tidak mungkin bersama lagi. Jadi bisakah Ibu menghentikan penghinaan Ibu kepada saya?" pinta Veronica dengan wajah memelas.
Karmila menatapnya tanpa ekspresi, lalu mencondongkan tubuhnya ke arah Veronica.
"Kalau begitu, pastikan tetap begitu. Lukas sangat mencintai Helena dan mereka akan menikah sebentar lagi. Dia bahagia sekarang dan saya hanya ingin memastikan tidak ada orang yang merusak kebahagiaannya – terutama kamu."
Suasana tegang menyelimuti keduanya. Veronica terdiam, tetapi tidak menundukkan kepala. Dia mencoba menunjukkan keberaniannya di hadapan Karmila, mempertahankan harga dirinya, sebagai satu-satunya yang dia miliki saat ini.
"Saya mengerti, Bu Karmila. Saya hanya ingin Kak ... Pak Lukas bahagia," ucap Veronica dengan menahan agar tangisannya tak pecah.
Karmila tersenyum tipis, tetapi senyum itu lebih terlihat seperti ancaman dalam pandangan mata Veronica.
"Bagus. Ingatlah satu hal, Veronica. Jika kamu berani mendekati Lukas lagi, saya tidak akan segan-segan menghancurkan usaha ayahmu. Saya punya kekuatan untuk melakukan itu, dan kamu tahu kalau itu bukan ancaman kosong."
Veronica merasakan darahnya mendidih, tetapi dia menahan diri untuk tidak melawan. Sebab dia tahu, Karmila tidak main-main akan setiap perkataannya.
"Saya sudah berjanji untuk tidak mengusik kehidupan Pak Lukas, Bu. Jadi tidak ada yang perlu Ibu khawatirkan."
Karmila menatapnya selama beberapa detik, memastikan kata-kata Veronica bukan sekadar alasan belaka.
"Kalau begitu, pegang kata-katamu itu dan jika kamu mengingkarinya ... kamu tahu akibatnya, veronica! "
Karmila melangkah meninggalkan Veronica yang masih terdiam di tempatnya. Hilang sudah selera makan Veronica, dia akhirnya menandaskan minumannya yang esnya hampir mencair setengahnya.
Dengan langkah gontai, Veronica menuju ke ruangan divisi keuangan untuk mengerjakan tugas yang diberikan oleh Lukas. Tidak ada seorang pun di ruangan itu sebab jam makan siang masih berlangsung 5 menit lagi.
Veronica akhirnya memfokuskan diri pada pekerjaannya, rasa sakit pada matanya akibat terlalu banyak membaca laporan dengan tulisan yang cukup kecil mulai terasa. Tapi Veronica mengabaikannya, yang terpenting tugas ini harus selesai secepatnya.
Dua orang rekan Veronica yang mulai merasa kesulitan karena wanita itu lambat memproses laporan yang terbaru, saling berpandangan tanpa suara. Jika keadaannya seperti ini selama beberapa hari, otomatis bonus untuk para sales akan tertunda pembayarannya.
Keduanya akhirnya saling berbalas pesan, mereka memikirkan bagaimana cara menolong Veronica tanpa kentara. Sejujurnya di dalam benak keduanya, mereka tak mempercayai rumor apapun mengenai Veronica.
Hanya saja mereka lebih memilih untuk diam untuk sementara ini. Lawan mereka adalah Lukas, sang GM baru yang juga adalah putra pemilik perusahaan ini. Melawan tanpa rencana sama saja dengan mengubur liang lahat mereka sendiri.
"Vero," panggilan itu membuatnya menoleh.
"Astaga Veronica! Jangan kerja lagi. Stop dulu atau mata kamu akan semakin iritasi!"
Sang teman yang terkejut saat melihat mata Veronica yang memerah langsung berteriak dan menimbulkan gema di dalam ruangan ini.
Semua orang memandang ke arah ketiganya dan berdecak kesal. Mereka menganggap Veronica akan membuat drama yang akan membuat semua orang kasihan padanya.
Merasa tidak ada hal yang penting, membuat mereka semua kembali fokus pada pekerjaannya dan mengabaikan ketiganya.
"Tapi aku nggak bisa berhenti sekarang. Laporannya belum selesai," ucap Veronica dengan lirih.
Sang teman hanya dapat menggeram kesal, tak menyangka jika Lukas berpikiran picik seperti ini. Menghukum Veronica untuk kesalahan yang sudah lalu dan mengacaukan pekerjaan divisi keuangan.
"Veronica!"
Bentakan itu membuat Veronica mengurungkan niatnya untuk berkutat pada laptopnya. Wajahnya memandang sendu kedua teman yang masih berdiri di pihaknya, setidaknya untuk saat ini.
"Vero. Pekerjaan memang penting, tapi apa jadinya jika sampai mengorbankan kesehatan kamu. Kamu sakit, perusahaan nggak akan peduli. Dan saat kita udah nggak bisa memberikan benefit bagi perusahaan, kita akan ditendang dengan tidak terhormat. Apa itu yang kamu mau?"
Ucapan teman lainnya yang cukup keras, membuat Veronica tak kuasa untuk menahan air matanya. Wanita itu menangis tersedu-sedu layaknya anak kecil, tapi bukannya merasa lega, Veronica merasakan beban yang semakin menghimpit dadanya. Mencekik tenggorokannya dan membuatnya tak bertenaga.
Kali ini semua mata tertuju pada Veronica, melihat betapa hancurnya wanita itu saat ini. Tapi rupanya hati mereka sudah dikuasai oleh kebencian yang tak mendasar, hinaan bahkan cacian pun tertuju pada Veronica.
"Jadi apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku capek banget. Cape!" teriak Veronica dengan d**a mengembang kempis.
"Bagaimana kalau kita coba ngomong dulu sama Bu Nana mengenai tugas dari Pak Lukas buat kamu, karena memang tugas ini nggak masuk akal," ucap sang rekan pria dengan berkacak pinggang, merasa kesal karena tugasnya ikut terbengkalai karena Lukas.
"Ayo sekarang kita ketemu sama Bu Nana, tadi aku udah WA beliau," ajak teman Veronica yang lain sembari menarik lembut tangan wanita itu.
Veronica hanya pasrah saat kedua rekannya mengajak ke ruangan manager keuangan. Menurut kabar yang beredar, manajer keuangan mereka adalah tipe orang yang tegas dan tak takut untuk melawan atasan jika merasa benar.
Para atasan pun tidak akan berani memecat sang manajer, karena pengalamannya yang lebih dari 20 tahun di bidang keuangan dan perpajakan.
"Ada apa kalian bertiga menghadap saya?" tanya sang manajer menghentikan pekerjaannya sejenak.
"Bu Nana, Pak Lukas memberikan tugas kepada Veronica yang tak masuk akal."
Wanita yang bernama Nana itu mengerutkan dahinya sebelum meminta penjelasan dari anak buahnya itu. Tak lama mengalirlah cerita mengenai Lukas yang memerintahkan Veronica mengerjakan laporan keuangan selama 3 bulan terakhir secara manual.
Wanita itu menopang dagu seraya memikirkan langkah apa yang harus diambil tanpa mempermalukan Lukas. Dan saat dia melihat Veronica, hembusan napas kasar pun meluncur begitu saja.
Penampilan Veronica yang kurang tidur dan pucat, semakin membuat wanita itu terlihat lebih tua daripada yang seharusnya.
"Veronica, kamu boleh pulang sekarang dan mulai besok kamu tidak perlu mengerjakan laporan yang tidak masuk akal itu." Titah bu Nana yang ditanggapi diam oleh Veronica.
"Kamu tenang saja, saya yang akan berbicara langsung dengan Pak Lukas. Bisa-bisanya dia menggunakan alasan pribadi untuk mengerjai kamu."
Veronica tersenyum tipis saat ocehan itu berakhir, dia merasa diperhatikan dan keberadaannya bukan sebatas angin lalu.
"Kamu dengar itu, Vero. Cepat pulang dan istirahat, besok kita masih harus bertempur dengan list para sales yang mendapatkan komisi. Jangan sampe semua tukang jualan itu ngamuk-ngamuk nggak jelas."
Sesampainya di luar ruangan, kedua rekan Veronica membantu wanita itu untuk merapikan barang-barangnya. Mereka juga memesankan moda transportasi daring agar Veronica tidak harus berdesak-desakan di dalam bis.
Akan tetapi, sebelum kaki Veronica melangkah keluar gedung kantor, sesuatu yang dingin dan kental mengenai wajahnya. Reflek Veronica memejamkan matanya.
"Ini balasan untuk pelakor!" jerit seorang wanita berusia 40 tahunan dengan tatapan mata tajam.