Semenjak kedatangan guru baru itu, membuat Ardina tak bisa tidur. Ia terus memikirkan Andra. Bahkan sekarang hari-harinya menjadi lebih bersemangat lagi. Ia bisa bangun pagi dan tidak terlambat datang sekolah.
Namun jam pelajaran fisika yang hanya dua kali seminggu membuatnya memanyunkan bibir. Tak kehilangan akal, Ardina sering berpura-pura lewat depan kantor guru hanya untuk melihat guru idolanya itu.
"Tumben, jam segini udah bangun, rapi, cantik lagi! Biasanya kamu paling susah bangun pagi?" celetuk Dimas, sang kakak yang tampak heran melihat perubahan adiknya.
Ardina hanya menyeringai, tanpa memberi tahu alasan.
"Ya elah, ditanya malah senyam-senyum sendiri, dah gila ya, Din? Atau lagi jatuh cintrong?"
"Rahasia, hahahah!" timpal Ardina.
Dimas hanya geleng-geleng kepala tak mengerti. "Cie cieee ... Adik kakak kayaknya lagi jatuh cinta nih, sama siapa? Kasih tahu dong!"
"Sok tau!"
"Beneran kan tebakan kakak? Hayoo ngaku, siapa cowoknya? Jangan-jangan Ferdian yang sering nganterin kamu itu?!"
"Haish, apaan sih kak! Ferdian kan cuma teman. Lagian dia anak mami, sebentar-sebentar dicariin, dih gak asik banget!"
"Hahaha ... Biasanya kan kamu sama dia terus. Keren kok dia, ganteng walaupun manja, anak mami. Hahaha."
"Ih apaan sih! Pokoknya bukan Ferdian."
"Terus? Siapa nih cowok yang adik kakak taksir."
"Pak Guru!"
"Hah? Pak Guru? Pak guru yang mana? Jangan gila lu, Din! Masa naksir sama gurunya sendiri. Jangan-jangan Pak Jhoni lagi yang ditaksir."
"Hahaha, ya enggak lah! Pokoknya aku suka Pak Guru."
"Guru yang mana?" tanya Dimas penasaran.
"Guru baru."
"Masih muda?"
Ardina mengangguk.
"Jangan-jangan dah punya istri."
"Yee ya enggak lah, seumuran kakak kok."
"Kok tahu?"
"Iya, soalnya masih muda banget," sahut Ardina nyengir.
"Aku berangkat dulu, Kak." Gadis itu melambaikan tangannya pada sang kakak.
***
Sampai di sekolah
Hari ini Ardina terlihat salah tingkah saat berpapasan dengan Andra.
"Eh ada Pak Andra ganteng ..." celetuk Ardina dengan kepercayaan diri yang tinggi.
"Ini udah masuk, kenapa kamu belum kembali ke kelas?" tanya Pak Andra.
"Nungguin Pak Andra," sahut Ardina sembari tersenyum.
"Ckck" Pak Andra hanya mendecak tak percaya kalau anak muridnya ada yang somplak begini.
Ia berlalu begitu saja, karena kalau diladeni Ardina pasti akan mengeluarkan jurus maut, alias rayuan gombalnya yang membuat tertawa orang-orang di sekitar.
***
"Ada yang bisa menjawab pertanyaan ini? Silahkan maju ke depan!" perintah Pak Andra saat menuliskan pertanyaan di papan tulis.
Dengan pedenya Ardina mengacungkan jari, lalu berjalan ke depan.
'Duh, apa yang akan dilakukan bocah ini?' batin Andra.
"Pak, sebelum saya jawab pertanyaan ini. Saya ingin bertanya pada bapak terlebih dahulu," ujar Ardina dengan mimik wajah yang serius.
"Ya, silahkan."
"Rumus kecepatan itu apa ya, Pak?" tanya Ardina.
'Tumben nih tanya bener,' sahut Andra dalam hati.
"V= s/t, kecepatan sama dengan jarak dibagi waktu."
"Itu memang benar pak. Tapi, kecepatan itu ... kayak cinta saya ke bapak. Saya maunya jarak antara kita itu dekat dan waktu untuk kita berdua itu lama. Jadi kecepatan cinta saya ke bapak itu melambat supaya kita tidak cepat berpisah," sahut Ardina sambil senyum-senyum sendiri.
Suasana kelas yang tadinya hening kini kembali riuh, seketika semuanya bersorak-sorai, tertawa dan berteriak karena tingkah Ardina.
"Aseeek suiiit suiiit ..."
"Cieeee cieee ...!"
"Anjaaayy ... Dindin bisa aje luuu."
"Dinaaa ... Ratu ngegombal dong!'
"Huu ... Dasar ih Dindin ganjen!
"Cieee cieee .... Jes, sirik aja lu!"
Pak Andra lagi-lagi mengulum senyumnya, menahan tawa karena tingkah si murid. Ia merasa kalah telak diledek oleh si murid yang begitu centil.
"Sudah, sudah!" tukas Andra mendiamkan suasana.
"Ayo Din, jawab dulu pertanyaan itu di papan tulis jangan bercanda terus," timpal guru yang tampan itu lagi.
Ardina meraih kapur tulis yang disodorkan oleh Pak Andra. Entah kenapa otaknya mendadak encer saat menjawab pertanyaan yang biasanya sulit itu. Dalam sekejap ia merampungkan jawabannya.
"Gimana pak, jawaban saya benar atau tidak?" tanya Dindin lagi.
"Kamu kembali duduk dulu, biar nanti bapak terangkan."
"Tunggu dulu pak, saya ada pertanyaan lagi buat bapak."
"Hmmm, ya ada apa lagi Din?"
"Apa bedanya kapal layar dengan dengan Pak guru?"
"Ya jelas berbeda. Kapal layar itu berlayar di laut, sedangkan saya mengajar disini."
"Salah!" tukas Ardina.
Pak Andra menaikkan sebelah alisnya. Entah apa yang akan dikatakan salah satu siswinya kali ini, tapi ia pun tak bisa marah dengan tingkah konyolnya.
"Kapal layar itu berlabuh di dermaga. Kalau Pak guru berlabuh di hati saya," jawab Ardina, kemudian gadis itu berlari ke bangkunya sembari tertawa.
"Hahahaha ..."
"Anjaaayy ... Ada aja idenya lu Dindin ...!
"Aseeeekk ... Dindin ayo pepeeeett teroooos."
Lagi-lagi kata-kata itu terus mewarnai kerenyahan suasana mata pelajaran Fisika. Yang biasanya hanya dihiasi suasana mencekam karena Pak Ihsan (guru yang dulu) terkenal killer, kini malah menjadi cair karena ulah Ardina pada Pak Andra.
Setelah selesai menjelaskan rumus-rumus fisika, seperti biasa Pak Andra mengajukan pertanyaan lagi.
"Apa ada yang ditanyakan lagi?" tanya Pak Andra sembari melihat seisi ruangan kelas.
Lagi, Ardina mengacungkan jarinya. Belum juga terlontar kata-kata dari mulutnya itu, Pak Andra sudah menyela.
"Bapak tidak akan menjawab pertanyaan kamu lagi, Din."
"Lho kenapa, Pak? Saya juga murid bapak. Teman-teman yang lain tidak ada yang mau bertanya, jadi saya aja yang bertanya."
"Ayo yang lain siapa yang mau bertanya?" tanya Pak guru tak memedulikan Ardina yang mencebik kesal.
Sementara Jessica and the genk cekikikan karena melihat raut kesal Ardina. Jessica mengacungkan jarinya.
"Saya mau bertanya."
"Ya, silahkan Jessica."
"Pak, rumah bapak sebelah mana? Boleh dong kalau kami main?"
"Huuuu ..." sahut teman-teman sekelasnya.
"Sudah, sudah, jangan bercanda lagi. Kalau gak ada pertanyaan, kita akhiri saja pertemuan hari ini. Silahkan kalian kerjakan tugas di rumah halaman 73 ya. Sampai jumpa di pertemuan berikutnya. Terima kasih. Assalamualaikum."
"Waalaikum salam warahmatullahi wa barakatuh."
Teeeett ... Terdengar bel istirahat, membuat suasana kelas kembali riuh.
"Pak, tunggu, Pak!"
Ardina mencegah langkah pak gurunya keluar dari pintu. Sementara teman-teman sekelasnya urung keluar karena ingin tahu apa yang dilakukan oleh Ardina.
"Pak, tunggu jangan pergi dulu!"
Akhirnya Andra mengalah, dia berhenti sejenak.
"Ada apa, Din?" Andra mencoba bersabar.
"Saya ada pertanyaan buat bapak."
"Maaf, Din. Kalau kamu bercanda terus, bapak jadi gak bisa percaya lagi sama kamu."
"Hahaha, kasihan deh lu! Makanya jangan usil terus sama Pak Guru. Iya kan, Pak? Pak, bapak pulangnya kemana?" ejek Jessica menimbrung obrolan mereka.
"Pak, kali ini saya serius. Emmh begini pak, saya ada pertanyaan tapi pakai bahasa jawa. Saya dengar bapak asli orang jawa," tukas Ardina lagi.
Andra menghela nafas dalam-dalam. Teman-teman sekelasnya ikut menantikan apa yang akan dikatakan Dindin selanjutnya.
"Kenapa? Saya bukan guru bahasa jawa disini, kamu bisa tanyakan langsung pada Bu Aina."
"Duh pak, please tolong jawab saja pertanyaan saya, soalnya pertanyaan ini terus berputar-putar di kepala saya."