EPISODE|| Rencana

2109 Words
EPISODE 12 ______________________________________________________________________________             Tidak ada yang bisa menjelaskan perasaan Noah saat ini selain kata BEBAS. Tidak ada lagi helaan napas kesal, lelah dan umpatan amarah yang keluar dari mulutnya. Lalu tidak ada lagi dendam di hatinya, gejolak amarah di dirinya. Semua meluap bersamaan pemandangan yang tersuguhkan di depannya.             Setibanya Noah di Korea Selatan, cahaya terang di mana-mana. Bangunan tinggi menjulang seperti tombak dengan mata panah di atas. Jalanan ramai oleh kendaraan beroda 2, 3, 4 dan 6. Orang-orang banyak juga yang berjalan kaki dari satu tempat ke tempat lain. Memakai mantel dengan warna dominan hitam dan kream untuk melindungi tubuh mereka dari udara malam yang cukup dingin.             Korea Selatan lebih indah dari yang Noah bayangkan. Ini pertama kalinya Noah mengunjungi negara dengan julukan Negeri gingseng. Bahasa yang berbeda terdengar memenuhi telinganya. Namun, Noah tidak merasa aneh ataupun keberatan karena perbedaan itu justru terasa unik di telinganya.             Noah, Samantha, Elan, Sonya dan kedua asisten Noah yang merupakan pria berdiri di tepi jalan pusat kota Korea Selatan. Pusat politik, budaya, sosial dan ekonomi dimana lagi jika bukan kota Seoul. Mereka berada di tepi jalan sehabis keluar dari restoran tradisional pinggir jalan yang merupakan rekomendasi Sonya karena kata perempuan itu restoran kecil justru punya makanan yang ena-enak. Meskipun restoran berbintang dengan bangunan megah juga menyuguhkan makanan yang enak.             Sekarang mereka sedang menuju apartemen yang akan menjadi tempat tinggal  selama satu bulan ke depan. Tidak membelinya, hanya menyewa selama satu bulan ke depan.             Semua membawa koper olehnya beberapa orang menatap mereka sesaat, sebelum akhirnya kembali melangkah. Namun milik Noah diambil alih oleh dua asistennya. Jarak apartemen cukup dekat dan mereka tidak perlu menaiki transportasi umum atau kendaraan lainnya untuk menuju ke sana.             “Bisakah lain kali kita mengunjungi kedai makan itu lagi?” Noah tidak tahu mengapa tiba-tiba dia mengatakan hal semacam itu. Hanya saja ada sesuatu yang membuatnya tertarik untuk kembali. Bukan. Salah jika kalian mengira pemilik kedai adalah alasannya.             Perempuan yang berusia sekitar 55 tahun itu lebih cocok menjadi ibu Noah, atau mungkin bibi Noah. Ah, tentu saja Noah menyukainya tetapi hanya sebatas bibi saja dan tidak lebih.             Keheningan di tepi jalan terintrupsi oleh suara Noah itu. Mereka sedang menunggu jalanan sepi sesuai dengan intruksi lampu rambu lalu lintas.             “Makanan mana yang membuat Anda ingin kembali lagi?” Sonya bertanya dengan sopan. Senang rasanya mendengar Noah antusias berada di negeri orang. Biasanya di kerap marah jika tiba di negera orang karena beberapa makanan tidak sesuai dengan lidahnya. Hanya beberapa.             Tanpa berpikir lagi Noah lantas menyembut, “Tteokbokki?” ucapnya sedikit ragu. Dia menggaruk kepalanya. “Eh, benarkah penyebutannya seperti itu?” Noah menoleh ke Sonya meminta koreksi jika pengucapannya salah.             Untunglah Sonya menggeleng. Walaupun memang tidak ada hukum khusus yang akan ia dapatkan ketika tak sengaja salah mengucapkannya.              “Itu salah satu makanan yang terkenal di Korea. Wajar jika Tuan juga menyukainya.” Sonya tersenyum lagi. Perempuan satu ini memang ramah dan mungkin salah satu kebiasannya adalah megumbar senyum hangat kepada siapapun. Yang tidak tahu bisa mengira dia sedang menggoda. Padahal, itu hanyalah bentuk kesopanannya.             Di sosial media memang sedang ramai makanan itu. Noah kerap melihat gambarnya berlalu lalang di beranda. Namun tidak pernah berpikir untuk mencicipinya atau bahkan berniat memakannya.             Noah mengangguk paham. Pada akhirnya memang benar. Noah sampai menambah porsi makannya dan rindu lagi dan lagi rasa masakan yang sebenarnya masih tersisa di lidahnya.             “Lalu, bisakah kita memesannya? Maksudku di restoran bintang 5 apakah juga menyediakan makanan tersebut?” Noah tidak mungkin bisa makan di restoran pinggir jalan itu lagi mengingat mungkin dia akan sibuk ke depannya. Maksudnya adalah, Noah pasti nantinya akan makan bersama rekan bisnis dan konyol jika membawa mereka ke tepi jalan untuk menikmati makan siang, sore dan malam.             Sonya mengingat-ingat lagi karena hampir satu tahun dia tak pernah ke negara ini. “Ada beberapa restoran yang menyajikan menu itu dan beberapa juga tidak. Tuan bisa memintaku untuk menemukan restorannya jika besok Anda berniat sarapan dengan menu yang sama.”             Tangan Noah terangkat ke udara dan bergerak cepat. Bermasuk menolak dengan sopan. “Ah, tidak perlu Sonya. Maksudku lain kali saja jika kita tidak sibuk.” Noah tersenyum tipis.             Sonya mengangguk paham. “Baik jika begitu.” Tentu saja Sonya tidak keberatan.             “Haruskah kita menyebrang sekarang?” Pertanyaan itu menyita perhatian semua orang pada pria yang kini tampak mengantuk, bersandar di tiang rambu lalu lintas. Persis seperti seseorang yang hilang harapan untuk hidup atau mungkin lebih tepatnya hilang akal.             “Elan …,” tegur Samantha, menarik tangan pria itu agar berdiri dengan baik. Perempuan itu sempat terkejut melihat kekasihnya seperti itu. “Perempuan itu terlihat malu dengan kelakuan kekasihnya. “Sebentar lagi kita akan sampai di apartemen. Sudah kukatakan jangan makan terlalu banyak karena itu hanya membuatmu mengantuk!”             Omelan Samantha disambut gelak tawa oleh yang lainnya. Sementara Elan memasang wajah cemberut setengah mengantuk. Memang benar, selain Noah, Elan juga makan dengan sangat lahap. Mereka juga menikmati soju. Minuman yang hampir tidak ada di Washington.             Sebenarnya Elan tahu zebra cross adalah tempat penyebrangan. Tetapi anehnya, di sini semua orang berkumpul di tepi jalan hanya untuk menunggu rambu berubah menjadi merah.  Orang-orang seakan lebih senang berjalan kaki daripada menggunakan kendaraan. Okelah, itu sesuatu hal yang bagus. Menyehatkan dan mengurangi polusi udara.             “Berapa menit lagi kita baru bisa menyebrang?” kesal Elan. “Aku ingin menyebrang sekarang!” Baru satu langkah pria itu ditarik kembali oleh Samantha.             “Boleh saja, jika kau ingin tetabrak mobil kargo,” sahut Noah ketika sebuah mobil kargo lewat dengan kecematan rata-rata.                   “Zebra cross ini sama seperti zebra cross yang lainnya. Kita hanya perlu menunggu lampu berubah dan kita bisa menyebrang.” Sonya menjelaskan persis seperti pemandu tur.             “Aku tahu, hanya saja terasa aneh di seberang sana orang-orang seakan melihat ke arah kita.” Elan menatap tak suka ke depan sana di mana puluhan orang juga hendak menyebrang. “Hanya karena kita membawa koper. Apakah mereka tidak pernah melihat koper atau mereka tidak pernah melihat orang Amerika?”             “Heh, Elan, jaga mulutmu!” tegur Samantha memukul lengan pria itu. “Sabar Sayang, kau ini terlalu banyak bicara,” tegur Samantha akhirnya dapat membungkam mulut Elan.             Lagi-lagi ucapan Samantha itu disambut gelak tawa. ______________________________________________________________________________             Perjalanan dari Washington ke Seoul membutuhkan waktu sekitar 14 jam 30 menit yang mana mampu menguras tenaga Noah serta kelima orang yang ikut bersamanya. Punggung Noah terasa pegal karena harus duduk terus menerus.             Untunglah, mereka tiba di apartemen tepat waktu sebelum Noah benar-benar tumbang karena rasa pegal dan mengntuk yang bercampur menjadi satu---sehingga Noah bisa mengistirahatkan tubuhnya.             Tanpa berganti pakaian atau membersihkan dirinya, Noah langsung membanting dirinya di ranjang. Membiarkan kopernya terongok di samping ranjang. Besok dia bisa menyuruh asistennya untuk merapikan semua barang yang dibawanya. Toh, tidak banyak barang yang ia bawa.             Malam ini, Noah memutuskan untuk segera mengistirahatkan diri karena besok pagi akan ada rapat dan pemilihan lokasi bangunan yang akan digunakan untuk mengurus binsis selama satu bulan ke depan.             Baru saja Noah akan menutup kelopak mata setelah mematikan lampu kamar, suara dering ponsel mengagetkannya. Bagaimana bisa Noah tidak menghela napas keras dan mengeram kesal? Orang itu mungkin tidak tahu bahwa di sini sudah pukul 12 malam.             Bersamaan dengan menyalakan lampu kamarnya, Noah mengambil ponsel tersebut di atas nakas. Karena dia menggunakan nomor baru yang sesuai dengan zona Korea Selatan tak banyak yang memiliki nomor ponselnya. Ellards, Aselin dan kelima orang tadi. Hanya mereka. Dan satu nomor baru tanpa nama ini membuatnya kebingungan.             “Halo?”             Jika Noah memilih untuk mengabaikan panggilan itu yang ada tidurnya malam ini akan terganggu karena siapa yang akan memastikan orang itu tidak akan menelfon lagi nantinya? Bisa saja Noah mematikan ponselnya tetapi bagaimana jika ada panggilan penting dari ayahnya?             “Noah! Mengapa kau melakukan ini padaku?! Apa yang sudah kuperbuat padamu?!”             Suara itu mengubah ekspresi wajah Noah. Noah merasa kecewa tetapi bukan sebuah perasaan kecewa atas apa yang ia inginkan tak terkabulkan. Melainkan, mengapa harus perempuan itu yang menelfonnya dan mengapa perempuan itu tahu nomor ponsel Noah?             Siapa lagi jika bukan perempuan menyebalkan yang terus berupaya menganggunya. Terkutuklah Zelia! Perempuan itu selalu saja mengikutinya kemanapun Noah pergi. Tidak perlu keraguan lagi tentang siapa yang memberi tahu Zelia nomor ponsel Noah. Ellards bisa menjadi tersangka paling kuat.             “Kau tidak salah apa-apa. Aku hanya tidak bisa mencintaimu dengan kesepakatan apapun yang kita buat, dengan cara apapun yang kau upayakan,” jawab Noah dengan mata terpejam. Semoga saja dia ketiduran agar tidak perlu berdebat dengan Zelia melalui panggilan telepon.             “Ini tidak adil! Kita belum memulainya dan kau langsung mengakhirinya?!” teriak Zelia di seberang sana. “Kau akan rugi Noah! Karena terdengar membiarkan bibit anggur yang kau tanam setelah susah payah merawatnya!”             “Lalu aku harus bagaimana? Dan apa katamu? Anggur? Aku bahkan tidak suka menanam. Perumpamaan macam apa itu, Zelia. Rupanya kau berbakat menjadi pelawak.”             Di seberang sana terdengar dengusan keras.             “Bukankah kau sendiri yang mengatakan bahwa jika aku tidak bisa mencintaimu maka aku bisa berhenti? Lagi pula, kau tidak mengatakan harus berapa lama kita bersama. Kau tidak menyebutkan berapa lama itu berarti aku bisa berhenti kapanpun, ‘kan? Jika kau merasa dirugikan, salahkan saja dirimu sendiri karena kau yang membuat kesepakatan ini ada.”             Bagaimana bisa Noah tidak marah. Zelia mengajaknya berdebat di tengah malam begini.             “Jadi menurutmu ini adalah kesalahanku?!” Zelia bertanya tak terima.             “Asal kau tahu, aku tidak ingin disalahkan.”             “SIALAN KAU NOAH!”             Sepertinya Noah tidak akan bisa ketiduran. Bahkan Noah sampai menjauhkan ponselnya  dari telinga karena suara keras itu dan melotot ke arah ponselnya yang sebenarnya tidak salah apa-apa.             “Kau tahu di sini pukul berapa? Pelankan suaramu!” Noah menegur dengan setengah kesal.             “Apa peduliku Noah? Kau sudah mengecawakanku!” Lalu di seberang sana Noah mendengar suara kaca yang di lempar ke benda keras. Apakah mungkin Zelia sedang mengamuk? Namun, Noah hanya diam.             “Aku sudah melayanimu Noah dan kau sudah setuju dengan perjodohan kita. Mengapa kau tidak mengajakku berlibur?!”             Noah menghela napas pelan. “Apakah kau pikir aku di sini sedang liburan? Tidak sepenuhnya. Jadi, kau tidak perlu marah-marah seperti itu karena aku tidak mengajakmu. Bukankah kau bisa membeli tiket sendiri, mengapa harus marah padaku,” ucap Noah sengaja menggoda Zelia agar perempuan itu semakin kesal.             “Kau!”             Sebisa mungkin Noah menahan tawa.             “Aku sangat kecewa padamu!”             Noah menghela napas sekali lagi.  “Kalau kau kecewa padaku. Berhentilah menghubungiku. Semudah itu bukan? Sudahlah, aku ingin tidur. Jangan menggangguku lagi aku sudah bosan mendengar suaramu.”             Tuut!             Siapa yang bisa memarahi Noah di sini? Dia bisa menolak perempuan itu bahkan dengan umpatan serapah. Menang? Bisa jadi Noah yang menang  kali ini tetapi sayangnya itu bukan perlombaan, ‘kan?             Noah tidak lagi memberi kesempatan Zelia untuk berbicara. Lantas Noah memblokir nomor ponsel perempuan itu, kemudian memulai kembali tidurnya agar esok hari bisa bekerja dengan maksimal.             Bangun tidur dengan lingkaran hitam di sekitar kelopak mata adalah ide buruk.             __________________________________________________________________             Sementara itu, di lain benua, perempuan berbalut setelan kerja sedang berdiri di atas sepatu berhak tingginya menghadap ke keramaiaan pusat kota Washington, mengamatinya melalui dinding kaca dengan pikirannya yang hanya terpusat pada Noah. Pria b******k yang sayangnya berhasil merebut hatinya.             Pecahan vas kaca berserakan di samping meja kerjanya. Zelia melampiasakan kekesalan pada benda malang itu.             Zelia pantas marah karena Noah sudah mengingkari kesepakatan mereka begitu saja. Andai Ellards tidak memberitahunya mungkin Zelia akan menunggu pria itu di depan ruangannya.                        “Bodoh! Harusnya aku tahu bahwa dia hanya akan mempermainkanku!” Jemari tangan Zelia terkepal kuat-kuat. “Kau harus menanggung akibatnya, Noah,” gumam Zelia dengan ucapan yang serius. “Aku tidak pernah main-main. Tunggu pembalasanku!”             “Dengan siapa kau berbicara Zelia?” Suara bariton itu mengagetkan Zelia, lantas berbalik mendapati ayahnya dengan setelan jas rapi. Kerutan di kening pria itu tampak jelas terlihat.             “Jika Ayah tidak salah dengar, kau mengatakan Tunggu kedatanganmu? Memangnya kau ingin kemana?”                         Zelia sesekali melirik ke arah pecahan kaca. Menarik ayahnya menjauh dari sana agar tidak banyak lagi pertanyaan yang dilontarkannya.             Keingintahuan ayahnya cukup membahayakan. Zelia langsung mendekati pria itu dan mengatakan, “Tidak ada. Aku hanya butuh liburan.” Zelia merangkul pria itu keluar dari ruangannya karena siang ini ada rapat perusahaan. Tujuan ayahnya memanggil mungkin juga untuk itu.             “Liburan? Dengan siapa dan kemana?” Rovando memang cukup protektif. “Kita bahas itu nanti, ya? Bukankah sekarang kita akan rapat?” sahut Zelia, sengaja mengalihkan pembicaraan. Yang jelas, dia tak ingin mengatakan bahwa Noah melukai hatinya. Rovando bisa marah lagi jika sampai tahu dan bisa-bisa Zelia dipaksa untuk meninggalkan pria itu.             Zelia tidak mau itu terjadi.             “Bagaimanapun caranya aku harus bisa mendapatkan, Noah,” batin Zelia di sela langkah menuju ruang rapat.  ____________________________________________________________________________________________ Sampai jumpa di episode 13
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD