EPISODE || Tembok yang Mulai Runtuh

1931 Words
EPISODE 11 _____________________________________________________________________________________________                         “Apa yang sudah membentur kepalamu, Noah?!” murka Ellards  setelah mendengar permintaan izin Noah untuk ikut bersama Samantha dan Elan pergi ke Korea Selatan. Pria itu bahkan sampai bangkit dari duduknya.             Pada akhirnya Noah memutuskan kembali ke rumah orang tuanya malam ini. dengan tekad kuat dan keberanian sebesar semesta, Noah memberanikan diri menghadap ayahnya. Harapannya, Ellards melupakan bahwa Noah tidak masuk kantor hari ini.             Namun, Noah tahu bahwa harapannya itu tidak akan menjadi kenyataan.             “Sepertinya memang ada yang membuatmu tidak fokus akhir-akhir ini.” Suara Ellards terdengar lebih pelan dari sebelumnya. Ellards mengacungkan jari telunjuknya, siap menghitung semua kekacauan yang Noah perbuat. “Pertama, kau meninggalkan acara makan malam bersama keluarga Rovando. Kedua, entah dengan sengaja atau memang kau sudah lupa bahwa kau punya tanggung jawab di kantor dengan seenaknya kau tidak masuk ke kantor. Dan ketiga, kau … kau meminta izin padaku setelah semua kekacauan ini?” Ellards terkekeh sumbang. “Noah … Noah, apa yang sudah kau makan sampai otakmu tidak beres seperti ini?”             Pria paruh baya itu menggeleng tidak habis pikir, mengamati Noah tepat berdiri di depannya yang duduk di sofa dengan kepala menunduk. Sesaat Noah menyesal memilih cara ini untuk dapat berlibur ke Korea Selatan. Namun, Noah berusaha sebisa mungkin untuk mendapatkan izin dari ayahnya meski itu masih mustahil untuk didapatkan.             “Aku … aku hanya berusaha mendapatkan hak-ku,” cicit Noah.                 Inilah Noah sebenarnya. Tanpa efek alkohol dia tidak berani melawan ayah dan ibunya. Mustahil dia akan menang jika begini.             Lagi-lagi Ellards terkekeh. “Apa katamu? Hak? Sungguh kau menginginkan sebuah hak sementara kewajiban pun tidak kau jalankan?” remeh Ellards, mondar mandir di hadapan Noah dengan kedua tangan terkantong di saku celana bewarna Nude.             Noah menegakan kepalanya. Manik mata cokelat itu beradu tatap dengan milik ayahnya.  Dia merasa hanya akan semakin membuatnya terlihat payah dengan posisi duduk seperti itu. Ellards terlihat mendominasi karena berdiri tegap di depannya. Sembari mencari ide-ide cemerlang di kepalanya yang kacau balau memikirkan banyak hal.             “Hanya satu bulan, Ayah. Tidak lebih, aku berjanji padamu.”             Ellards menghentikan langkahnya. “1 bulan? Apa kau sedang bercanda? Kepergianmu hanya akan membuat kerugian bagi perusahaan dan Ayah tidak mau menanggung itu. Sampai kapanpun  tidak akan ada liburan untukmu,” tegas Ellards sekali lagi.             Keputusan Ellards bagai sebuah tembok kokoh yagng sulit dihancurkan oleh apapun. Noah harus mencari alat untuk menghancurkannya. Bagaimanapun caranya karena dia tak mau terjebak di dalam tembok itu.             “Ayah apakah aku salah jika hanya meminta waktu libur 1 bulan? Selama ini kau bahkan tidak pernah  memberiku waktu untuk istirahat. Hanya satu bulan dan tidak akan lebih,” mohon Noah dengan penuh harap.             Jika ini tidak berhasil, Noah akan melakukan segala cara yang dapat ia lakukan. Noah tidak akan peduli jika dia harus melanggar aturan. Tidak akan peduli jika ayahnya marah karena Noah meminta izin hanya sebatas bentuk kesopanannya pada kedua orang tuanya. Tetapi, jika mereka menginginkan Noah menjadi putra pembangkang, apa yang bisa diperbuatnya? Noah akan melakukan hal itu.             “Hanya satu bulan, Ayah,” mohon Noah memelas sekali lagi.             Memasang wajah memelas? Astaga, Noah bahkan sering menggunakan cara ini yang berakhir dengan kegagalan. Jadi, Noah rasa itu bukan alat yang tepat untuk meruntuhkan tembok itu. Noah membutuhkan sesuatu yang sangat kuat melebihi tembok itu.             Kedua sudut bibir Ellards melengkung membentuk presisi yang pas. “Ya, kecuali kau mau mengajak Zelia. Jika tidak mau bersamanya, kau tidak akan mendapat waktu libur,” gumam Ellards membuat keputusan semakin mengada-ada.               Zelia? Liburan dengan gadis itu? Liburannya tidak akan mengasyikan!             “Ayah! Bagaimana bisa aku berlibur dengannya? Perjodohan itu sama sekali belum kusepakati dan aku tidak mengenalnya dengan baik!” sahut Noah, kekesalannya sudah meluap melewati batas. “Aku butuh waktu sendiri. Aku ingin menyegarkan pikiranku yang hampir terbakar. Aku ingin berpikir jernih!” jelas Noah menggebu.             “Oh begitu rupanya? Kalau begitu, tidak ada liburan untuk-mu. Tetap bekerja seperti biasanya.” Ellards tersenyum setengah hati. “Dan kau tetap akan menemui Zelia karena bagi Ayah kau sudah menyepakati perjodohan itu.”             “Sial!” umpat Noah dalam hati.             Ayahnya selalu punya opsi yang memenangkan dirinya sendiri.             “Aku tidak mau memilih dua opsi itu,” ucap Noah tiba-tiba. Hei, dia perlu sebuah keberanian memberontak. Agar tidak selalu dalam arahan Ellards.             Ellards menatapnya dengan pelototan sengit. “Apa katamu? Kau ingin membantahku, Noah?”             Meskipun Noah kesal, namun dia hanya diam dan tak menjawab apapun selain mendengus dan mengalihkan wajahnya ke arah lain. Bagaimana bisa Noah tidak memikirkan penolakan ini secara matang-matang? Harusnya dia tahu bahwa ayahnya pasti akan menolak sampai kapanpun itu.  Mungkin cara kedua akan lebih baik. Pergi tanpa meminta izin dengan konsekuensi Ellards akan menjadikannya buronan.             Sebuah helaan pelan terdengar dari sosok di sebelah Noah, mengambil perhatian pria itu.             “Ellards, tolong pikirkan sekali lagi. Putra kita juga butuh liburan. Kau tidak bisa menentangnya terus menerus karena dia bukan anak kecil lagi!” Sejak tadi Aselin diam. Tidak menyangka bahwa ibunya punya suara yang sama dengan Noah.             Rupanya Aselin yang sejak tadi duduk di sebelahnya keberatan dengan keputusan Ellards. Noah bersyukur Aselin punya suara yang sama dengannya. Noah senang karena ada orang yang membelanya. Semoga saja suara Aselin bisa menjadi alat yang tepat untuk menghancurkan tembok Ellards.                  Tetapi Ellards selalu saja menutup telingannya dari apapun yang menentangnya. Termasuk suara dari Aselin yang berusaha menyetujui kemauan Noah.             “Apa dia sudah mendoktrinmu dengan rayuan? Kau pikir 1 bulan tidak lama? Lalu siapa yang akan mengurus pekerjaannya jika dia cuti?” Ellards duduk di single sofa bewarna merah maroon. Bersandar di sana dengan satu kaki terlipat di atas.             Terdengar helaan lelah dari sosok di sebelah Noah. Bisa jadi, Aselin menyimpan banyak hal yang sebenarnya sama dengan yang Noah rasakan. Tidak ada yang tahu isi hati perempuan itu selain mengatakannya pada Noah secara langsung.             “Jadi, kau tidak akan memberikan cuti untuk putramu sendiri, Ellards?” tanya Aselin dengan suara tegas.             “Ya. Dan tidak akan pernah.” Ellards menjawab dengan tenang. Penolakan Noah dan Aselin seolah tidak ada apa-apanya.             Mendengar keputusan yang semena-mena itu napas Noah memburu. Dadanya bergemuruh dan semua jemarinya terkepal kuat. Andai saja Noah tidak ingat dia sedang bersama siapa, mungkin jiwa pemberontaknya akan keluar saat itu juga bagai sebuah banteng yang menyeruduk siapapun di sekitarnya.             “Oke, keputusan yang bodoh,” ucap Aselin tiba-tiba. Senyumnya mengembang. Tetapi itu bukan senyum senang melainkan senyuman kemenangan.             Noah tidak akan menoleh ke samping jika Aselin tidak bangkit dari duduknya setelah mengakatan sesuatu dengan suara yang tegas. “Jika kau tidak mengizinkan putraku untuk berlibur. Bukankah lebih baik aku pulang ke rumah orang tuaku? Atau begini saja Ellards, semua binsis yang sedang kau jalani bagaimana jika aku saja yang menj---”             Dari tempat Noah duduk, dapat melihat bagaimana kedua bola mata Ellards membulat sempurna.             “Hei … hei, apa yang kau pikirkan Aselin? Ada apa denganmu?” Pria itu langsung menghampiri Aselin, merangkulnya dengan lagak seperti tak menyesali perbuatannya. “Tenanglah, semua bisa dibicarakan.” Tangan pria itu mengusap pundak perempuan yang terbalut kain merah. “Jangan menanggapinya berlebihan, Sayang,” rayu Ellards.             Dalam hati Noah menertawakan tingkah ayahnya. Hanya sebuah ancaman seperti itu, dia langsung ketakutan. Yaps, sebenarnya semua bisnis yang sedang dijalankan Ellards adalah warisan dari orang tua Aselin dan Ellards tidak punyak hak apapun selain hanya seorang pekerja yang dipercayakan untuk mengurusnya.             “Jadi, bagaimana? Kau akan membiarkan putraku berlibur bersama kedua sahabatnya atau kau lebih memilih meninggalkan jabatanmu? Kalaupun dipikir-pikir aku tidak membutuhkan persetujuanmu. Aku bisa mengaturnya sendiri.” Kini kekuasaan berpindah ketangan Aselin. Wajah Ellards memucat. Dia melirik Noah sesekali.             Ellards menghela napas pasrah. Tembok yang kokoh itu sudah berhasil runtuh dalam sekejap. Mengeluarkan Noah setidaknya untuk sementara.             “Baiklah-baiklah, kau boleh ikut bersama temanmu tetapi … bukan untuk berlibur. Kau harus mengurus bisnis Ayah di sana selama 1 bulan. Elan akan menjadi sekertarismu dan Samantha masih dengan jabatan yang sama. Lalu, Tasya akan menggantikanmu di sini.”             “Maksdumu aku bekerja sekaligus berlibur?”             “Ya, karena membiarkanmu berlibur saja itu bisa merugikan perusahaan. Kau tidak mau itu terjadi, ‘kan?”             Setidaknya, Noah masih bisa menjauh dari semua kenangan tentang Kylie.             “Baiklah, aku bersedia,” jawab Noah.             Noah meninju udara dengan kepalan tangannya. Dia berseru tertahan. Betapa senangnya Noah dengan keputusan itu.             “Lalu, bagaimana dengan Tasya? Siapa yang akan membantunya?” Tasya adalah sekertaris Noah. Perempuan 27 tahun itu sudah bekerja bersamanya selama  3 tahun. Noah memang sedikit kesulitan menaruh kepercayaan kepada orang baru. Dia kerap berganti-ganti sekertaris.             “Ayah akan mengurusnya. Sebaiknya kau siapkan semua barangmu untuk besok sebelum Ayah berubah pikiran,” jelas Ellards dengan ekspresi wajah setengah kesal.             Senyum malu-malu dan senang itu terukir di bibir Aselin. Bahagia menyertainya, karena akhirnya Noah bisa merasakan sedikit kebebasan. Mungkin kedepannya, Aselin harus jauh lebih tegas agar putra semata wayangnya itu tidak tersiksa.             Ketika Noah melangkah pergi ke kamarnya, Aselin mendekati Ellards, merangkulkan tangannya di pundak pria itu.             “Lihatlah, Noah sudah dewasa. Dia bukan lagi bocah 5 tahun yang ketakutan melihat badut. Itu artinya, kita sebagai orang tua tidak perlu lagi khawatir terhadapnya. Biarkan dia menghadapi rintangan sendiri. Dia pasti bisa melakukannya.”             Ellards mendengus pelan sebagai tanggapan. Masih menaruh kekesalan pada anak dan istrinya. _____________________________________________________________________________________             Sementara itu, di dalam kamar Noah mengeluarkan koper miliknya dari dalam lemari. Mengambil beberapa barang dan pakaian yang nanti akan dia butuhkan di sana.  Dengan sengaja tidak meminta bantuan pekerja rumah karena Noah mungkin hanya akan membawa beberapa pakaian saja. Sisanya, dia bisa membelinya di Korea             Mendengar kata Korea Selatan banyak yang terbesit di benaknya. Mulai dari bunga sakura, idol-idolnya, makanannya dan pria serta wanita yang tak kalah tampan dan cantik. Negara itu sedang terkenal akhir-akhir ini. dan berlibur ke sana sekaligus membangun bisnis baru sepertinya tempat yang pas.                         Noah terlalu asyik dengan pikirannya sendiri sampai melupakan sesuatu. Keberhasilannya ini harus dia kabarkan kepada kedua sahabatnya. Mereka pasti senang mendengar berita ini. Lantas Noah berbegas menghubungi Samantha. Duduk di tepi ranjang sembari melipat pakaian dan memasukannya ke dalam koper.             “Halo, Samantha!” Noah terdengar sangat bahagia.             “Hei, biar kutebak!”             Noah cekikikan mendengar suara penasaran Samantha. “Baik, jika tebakakanmu benar. Aku akan memberimu 100 dollar.”             “Oke! Kau pasti berhasil mendapatkan izin dari Ayahmu, ‘kan?” tebak Aselin dengan perasaan bahagia.             Noah tidak terkejut. “Benar sekali! Kau mendapatkan 100 dollar. Akan kukirimkan setelah telepon ini berakhir,” ucap Noah sembari memasukan barang-barangnya ke dalam koper.             “Sudah kukatakan, bukan? Ayahmu pasti akan menyetujuinya.”             Meskipun tidak dilihat oleh Samantha, Noah tetap mengangguk. “Terima kasih, Samantha. Kau memang selalu membuatku merasa tenang. Aku bersyukur punya sahabat sepertimu.”             “Berhentilah memujiku seperti itu. Aku tidak bisa membayar biaya perbaikan plafon karena leherku naik beberapa meter, hahaha!”             Noah ikut tertawa.             “Baiklah, kalau begitu sampai bertemu esok hari. Tolong sampaikan berita ini pada Elan, ya?!”             “Siap! Jangan khawatir. Dia akan segera mengetahuinya. Hem, jangan lupa. 100 dollar.”             “Hahaha, iya-iya. Tenanglah aku akan mengirimnya.” Tak lama setelah itu panggilan terputus. Noah segera menepati janjinya mentransfer 100 dollar ke rekening Samantha. Dan setelah selesai Noah kembali pada koper miliknya ketika suara pintu terbuka membuatnya menoleh.             “Ibu?” Noah berdiri.             “Hei, butuh bantuan?” Aselin tersenyum hangat sembari mendekat.             “Ah, tidak perlu repot-repot. Sebentar lagi akan selesai.”             Aselin mengangguk paham.             “Ada apa?” tanya Noah, mendapati kedatangan ibunya bukan tanpa alasan.             “Ibu ingin bicara denganmu, Noah. Tidak lama. Apa kau bersedia?”             Noah mengangguk terpatah. “Ya—ya, tentu saja.” Lalu, mereka duduk di bibir ranjang. Noah mulai mendengarkan apa yang dikatakan oleh Aselin dengan penuh perhatian.  ______________________________________________________________________________________________ SAMPAI JUMPA DI EPISODE 12! 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD