Sampai di rumah. Mia melamunkan tawaran tidak masuk akal dari Sean. Mia berharap, Sean sedang mengigau saja. Karena sangat tidak mungkin, seorang Sean bisa tiba-tiba meminta dirinya menjadi istri. Sean itu bagi Mia, adalah langit yang tinggi. Sedang dirinya hanya bumi. Menatap saja merasa takut, apalagi mendekati.
Yang jadi pertanyaan Mia. Apa yang membuat Sean memilih dirinya, untuk jadi ibu dari anaknya. Walau hanya pernikahan sandiwara, tentu seorang ibu akan berpengaruh pada keturunannya. Tidak mungkin mencari pasangan sembarangan untuk hamil anaknya. Apa kata dunia. Seorang CEO besar, bule, tampan dan rupawan, nikah dengan seorang office girl, yang wajahnya pasaran seperti dirinya.
Pikiran kalau wajahnya pasaran, membuat Mia menetap dirinya di depan cermin. Rambutnya hitam panjang sepunggung. Ada poni di dahinya. Kenapa memakai poni, karena jidatnya besar. Alisnya hitam tebal, bulu matanya hitam dan lentik. Matanya besar dengan bola mata hitam. Hidungnya kecil dan mancung. Bibirnya juga kecil. Tubuhnya pun kecil mungil. Jika berdiri di samping Sean, tingginya hanya sedada. Tidak ada yang menarik dari dirinya. Semua biasa saja. Lalu apa yang membuat Sean ingin menikahinya, sementara para wanita banyak yang mengejar Sean.
'Apa otak Mister Sean terganggu ya? Mungkin saja dia kejedot tembok, atau lantai, sehingga pikirannya tidak normal. Kalau pikirannya normal, tidak mungkin mengajak aku menikah. Aku ini siapa. Hanya debu yang tak terlihat oleh mata. Gadis kampung yang disebut ibu tiriku sebagai pembawa sial. Apakah benar aku ini pembawa sial. Aku rasa tidak juga. Tidak ada manusia yang dilahirkan membawa sial. Hanya kurang beruntung saja. Aduh, perkataan Mister Sean tadi beneran atau tidak ya? Itu tadi kenyataan atau cuma mimpi. Tapi mister Sean sedang tidak tidur, sadar sekali menghadapi aku. Tapi yang jadi pertanyaan, kenapa aku yang dipilih. Sedang banyak sekali wanita cantik di sekelilingnya. Aku tidak pernah memelet dia, itu artinya pandangannya normal saja kepadaku. Tidak mungkin dia merasa kalau aku cantik. Aduh bingung aku! Ah lupakan saja. Mungkin dia salah bicara. Dia juga pasti lupa nanti!'
Mia berusaha melupakan pembicaraan dengan pria yang dipanggilnya Mister Sean itu. Bagi Mia itu hanya obrolan orang yang sedang mengigau. Bukan ucapan yang dipikirkan. Tidak harus ditanggapi sungguh-sungguh. Nanti juga lupa sendiri.
Tentang hidupnya saat ini, Mia belum merasa pasti akan nasibnya. Mia ingin menjalani saja apa adanya. Tidak ingin berpikir dan bertindak lebih dari kemampuannya. Cukuplah hidup sederhana apa adanya. Karena tidak ada celah untuk berbuat lebih daripada apa yang dikerjakan saat ini. Menjadi office girl bukanlah pekerjaan yang hina. Meski sering diperintahkan karyawan perusahaan untuk membeli ini dan itu, Mia merasa senang saja melakukannya. Tidak ada beban atas pekerjaan yang diberikan kepadanya. Selalu berusaha ceria dan ramah kepada siapa saja.
Lebih baik hidup di kota, daripada tinggal di kampung, bersama ibu tiri. Lagi pula di sana hanya ada pekerjaan sebagai buruh tani, atau membantu orang di warung. Menurut Mia lebih mengasyikkan menjadi office girl. Bisa bertemu orang baru juga. Selepas jam kerja bisa hidup santai tanpa ada yang memerintahnya. Mia berusaha melupakan pembicaraan dengan Sean. Ia hanya menganggap itu sebagai halusinasi saja. Walaupun sebelumnya, ia tidak pernah memikirkan Sean.
*
Tepat satu Minggu.
Mia masuk kerja seperti biasa. Membersihkan kantor bersama teman-temannya. Setelah membersihkan ruangan yang luas. Mereka berbagi tugas ke beberapa ruangan para kepala staf. Mia mendapat jatah seperti biasa, membersihkan ruangan bos. Mia mengetuk pintu ruangan bos.
"Petugas kebersihan, Mister." Mia bicara di luar pintu yang tertutup.
"Masuk." Terdengar panggilan suara dari dalam. Suara dengan logat luar yang kental.
Mia membuka pintu dan melangkah masuk. Sean menatapnya, sementara Mia menundukkan kepala. Mia tidak berani menatap bosnya. Karena bosnya itu terkenal sebagai pria yang dingin. Tapi kalau marah bisa meledak juga. Mia takut salah bicara, atau dianggap lancang saat menatap.
"Apa jawaban kamu?" Pertanyaan tiba-tiba dari Sean membuat Mia sangat terkejut.
"Hah!"
Pertanyaan Sean sungguh membuat Mia melongo. Mia sudah melupakan pertanyaan Sean satu minggu lalu. Mia pikir itu tidak nyata. Sehingga Mia tidak memikirkannya. Dan melupakan saja. Tidak mempersiapkan jawaban sama sekali.
"Aku bertanya apa jawaban kamu, atas pertanyaanku minggu lalu. Aku memberi kamu waktu satu minggu. Sekarang saatnya kamu menjawab permintaanku!" Sean tampak kesal melihat reaksi Mia yang terkejut sekali dengan pertanyaannya. Karena Sean sudah menantikan jawaban dari Mia. Agar cepat beres urusannya. Apakah miya akan menerima atau menolak. Kalau menerima itu lebih baik agar tidak mencari calon istri lain lagi. Jika Mia menolak maka Sean akan mencari wanita lain.
Mia masih melongo. Ia sudah melupakan permintaan Sean. Karena dipikir tidak nyata. Satu minggu ini juga tidak bertemu dengan Sean. Sean tidak masuk kantor. Mia tidak tahu Sean kemana.
"Mia!" Sean memanggil Mia dengan suara nyaring. Mia sungguh terkejut mendengar panggilan Sean, karena ia masih memikirkan jawaban.
"Maaf, Tuan. Saya lupa." Mia menundukkan kepala dalam.
"Astaga. Satu Minggu ini aku memikirkan jawaban kamu. Tapi kamu justru tidak memikirkannya. Aku beri kamu waktu satu hari lagi. Besok kamu harus menjawab!" Sean terpaksa memberinya waktu Mia satu hari lagi.
"Apa tadi pertanyaannya?"
"Astaga!"
*