PART. 1 MIA AULIA PRATIWI
"Menikahlah dengan saya!"
Sean mengucapkan kalimat itu kepada Mia. Mia tidak mendengarkan ucapan Sean. Bukannya tidak mendengar, tapi Mia pikir Sean tidak bicara dengan dirinya. Mia masih terus menyapu lantai. Sebagaimana tugasnya setiap pagi di ruangan kantor Sean.
"Mia!"
Mia sangat terkejut mendengar panggilan Sean. Selana tiga bulan bekerja, Sean tidak pernah mengajaknya bicara. Apalagi sampai memanggil namanya.
"Tuan memanggil saya?"
"Kamu tidak mendengarkan apa yang aku katakan?"
"Maaf, Tuan bicara apa?"
"Menikahlah dengan saya!"
"Hah!"
Mia terkejut luar biasa. Bagaimana mungkin, seorang bos besar di perusahaan meminta dirinya yang orang kampung untuk menikah.
Mia Aulia Pratiwi, usia 19 tahun. Baru lulus SMA tahun tadi di kampung halamannya. Gadis yang datang ke kota mengikuti teman ayahnya. Teman ayahnya bekerja di kantor ini. Karena itu teman ayahnya tahu ada lowongan pekerjaan di sini. Mia memutuskan untuk ikut ke kota. Karena di kampung sudah tidak punya apa-apa, dan tidak ada siapa-siapa lagi keluarga. Ibunya sudah pergi sejak ia berusia dua tahun. Dan tidak pernah bertemu sampai sekarang.
Sean Michael William, pria berusia 37 tahun. Duda tanpa anak. Bercerai dari istrinya tujuh tahun lalu. CEO Yang dipaksa ibunya untuk segera memberikan cucu. Sementara Sean sendiri, masih merasa trauma dengan pernikahan yang sudah lewat.
Alasan Sean memilih Mia, karena Sean drama berhubungan dengan wanita cantik, terpelajar, dan kaya raya. Bagi Sean wanita seperti itu tidak setia. Tidak bisa diharapkan kesetiaannya. Lebih baik dijadikan teman saja. Teman yang bisa memenuhi semua keinginannya. Kenapa Sean memilih Mia. Karena Sean yakin sekali Mia bisa diatur sekehendak hatinya. Orang tuanya akan setuju atau tidak, Sean tidak peduli. Bagaimana anaknya nanti, Sean yakin bisa membimbingnya menjadi anak yang bisa dibanggakan.
Menikahi Mia hanyalah ingin menitipkan benihnya kepada Mia. Tidak ingin hidup selamanya dengan wanita kampung itu. Begitu anak lahir mereka akan langsung bercerai.
Sean menatap Mia yang masih berdiri di hadapannya dengan mulut ternganga.
"Menikahlah denganku. Aku akan membayar kamu 300 juta. Kita akan bercerai setelah kamu melahirkan. Karena aku hanya membutuhkan anak dari kamu."
"Tuan tidak salah? Saya bukan bibit unggul. Saya hanya gadis kampung tamatan SMA. Tuan seorang CEO, lebih pantas menikah dengan wanita yang punya kedudukan."
"Aku ingin anak dari wanita yang masih polos. Tidak ingin anak dari wanita yang kaya raya."
"Tapi ... "
"Aku beri kamu waktu satu minggu untuk memikirkan. Kalau kamu sudah setuju kita akan masuk perjanjian."
"Oh."
"Sekarang pergilah. Oh ya. Jangan bercerita kepada siapapun tentang ini. Aku tidak mau orang lain tahu kalau kita menikah. Karena aku hanya ingin menikahi kamu secara siri."
"Oh. Baik. Saya permisi, Tuan."
Mia ke luar sambil membawa alat kebersihan yang tadi ia bawa masuk ke dalam ruangan Sean.
Masih belum hilang rasa terkejutnya atas permintaan Sean yang tiba-tiba. Membayangkan saja tidak pernah kalau akan diminta menikah dengan bosnya itu. Bagaimana bisa yang membayangkan, seorang bos besar, bule, tampan, kaya raya, ingin menikah dengan dirinya. Ia banyak gadis kampung, tidak cantik, tidak berpendidikan, lalu apa yang membuat bosnya itu ingin menikah dengannya. Kenyataan ataukah hanya candaan. Candaan terasa tidak mungkin, karena bosnya bukan orang yang suka bercanda. Orangnya pendiam dan tidak banyak bicara. Berbicara seperlunya saja. Bahkan tidak pernah memerintah dirinya.
Mia duduk di kursi yang ada di dapur.
"Kenapa, Mia?" Jumaidi teman office boy bertanya.
Hampir saja Mia menceritakan, apa yang baru saja terjadi di ruangan kantor Sean tadi. Untungnya Mia sadar, kalau itu tidak boleh diceritakan kepada orang lain. Sesuai dengan permintaan Sean.
"Tidak apa-apa." Mia menggelengkan kepala.
"Kamu sudah sarapan?"
"Sudah."
"Aku belum. Aku sarapan dulu ya." Jumaidi duduk di kursi. Piring dan sendok diletakkan di atas meja. Lalu membuka nasi bungkus yang dibawa.
"Pak Sean itu duda ya?"
"Iya."
"Punya anak?"
"Tidak. Tapi pacarnya banyak. Aku diceritakan oleh temanku. Katanya ganti-ganti pacarnya. Orang berduit sih gampang ya. Mungkin merasa tidak takut berdosa."
"Dia agamanya apa?"
"Yang aku tahu Islam. Tapi sepertinya tidak menjalankan kewajiban sebagai orang Islam. Ibunya juga terlihat tidak menjalankan itu. Padahal Islam itu dari ibunya. Karena ayahnya orang Amerika."
"Orang tuanya tinggal di sini?"
"Iya mereka tinggal di sini. Tapi sudah beberapa lama ini katanya tinggal di Amerika. Karena neneknya sedang sakit."
"Oh."
"Ada apa tiba-tiba menanyakan tentang bos? Kamu tertarik dengan dia? Hal biasa kalau ada orang yang tertarik dengan bos kita. Dia berhias sempurna, meski pelit bicara. Banyak wanita yang mengejarnya. Konon katanya royal juga. Perempuan yang dekat dengan dia cantik-cantik. Aku hanya ingin mengingatkan kamu, jangan pernah berharap dekat dengan dia."
"Oh. Aku sadar diri. Aku tidak pernah berharap dekat dengan dia. Aku hanya gadis kampung, tidak cantik, tidak pintar, tidak kaya. Tidak punya kebanggaan apa-apa."
"Orang seperti kita ini sebaiknya berhubungan dengannya sepadan, setara dalam kehidupan. Jangan menjadi pungguk merindukan bulan. Kisah Cinderella itu hanya dongeng, bukan sebuah kenyataan. Walaupun memang ada kejadian seperti itu, tapi mungkin satu kejadian dalam satu juta."
"Iya. Terima kasih, Mas Didi."
Beberapa karyawan lain yang bekerja sebagai office boy dan office girl juga masuk ke dalam dapur. Ada yang menyiapkan minuman, ada yang baru datang dari membersihkan ruangan.
***