PART. 6 IKHLAS

1311 Words
Mia mengambil alat kerja. Lalu mulai bekerja pagi itu, dengan tugas membersihkan ruangan kantor. Setelah ruangan kantor besar dibersihkan. Kemudian Mia mengetuk pintu ruangan Sean. "Petugas kebersihan, Tuan." Mia berbicara pelan saja memanggil Sean. "Masuk." Sahutan Sean terdengar dari dalam ruangan. Mia membuka pintu, lalu membungkukkan sedikit tubuhnya. "Selamat pagi, Tuan. Saya ingin membersihkan ruangan dan juga kamar mandi." "Selamat pagi. Lakukan saja." Mia mulai menyapu ruangan dan membersihkan perabotan. Mereka berdua tidak ada yang bicara seorang pun. Fokus pada pekerjaan masing-masing. Sean hanya pindah duduk sebentar, memberi kesempatan pada Mia untuk membersihkan bagian bawah meja, bagian atas meja, dan kursi kerjanya. Sean asik menatap laptop di hadapannya. Memeriksa beberapa laporan yang masuk lewat email. Beberapa hari ini ia tidak ke kantor. Karena ada urusan di luar kota. Setelah beres ruangan kantor dibersihkan. Mia masuk ke kamar mandi, untuk membersihkan kamar mandi seperti biasa. Setelah kamar mandi beres dibersihkan. "Sudah beres semuanya, Tuan. Saya permisi." Mia pamit ingin pergi kepada Sean. "Duduk dulu. Ada yang harus kita bicarakan." Sean meminta Mia untuk duduk di hadapannya. Masih ada yang harus mereka bicarakan, sebelum pernikahan nanti malam. "Baik, Tuan." Mia duduk di hadapan Sean. "Aku ingin kamu ingat. Jangan memberitahu kepada siapapun kalau kita menikah. Pernikahan ini harus jadi rahasia untuk selamanya. Anak yang kamu lahirkan akan ikut denganku. Dia adalah anakku. Jangan pernah mengakui dia anakmu. Kamu paham?" Suara Sean sangat tegas kepada Mia. Sean tidak ingin terjadi pertentangan nantinya antara dirinya dan Mia. Karena itu bisa saja terjadi. Seorang ibu yang sudah melahirkan, tidak ingin berpisah dengan anaknya. Sean tidak ingin bertengkar karena masalah itu. Karenanya harus ditegaskan lebih dulu. "Iya. Saya mengerti." Mia sudah pasrah saja. Kepalanya mengangguk setuju dengan apa yang diucapkan Sean. "Jika bertemu dengan keluargaku. Jangan mengaku sebagai istriku. Aku juga tidak ingin mereka mengetahui kalau kita menikah. Tapi aku akan minta mereka untuk mengakui anak ku sebagai cucu mereka. Aku tidak ingin ada hubungan lebih dengan kamu. Aku hanya butuh wanita yang bersedia melahirkan keturunanku. Aku tidak tertarik untuk menjadi suami kamu." Sean kembali menegaskan hubungan di antara mereka, yang tidak boleh diberitahukan, kepada keluarga dan orang lain. Kalau orang bertanya anak siapa yang ada di rumahnya. Sean akan mengakui itu anaknya. Tapi tidak pernah mau menyebutkan siapa ibunya. "Saya mengerti." Mia menganggukkan kepala, tanda mengerti apa yang diucapkan oleh Sean. "Baik. Kalau di kemudian hari ada yang ingin kamu bicarakan lagi. Tentang kontrak pernikahan kita. Katakan saja langsung kepadaku." "Iya." "Kamu boleh pergi." "Permisi, Tuan." "Silakan." Mia berdiri dari duduk, mengambil alat kerja, lalu melangkah ke pintu. Mia menutup pintu ruangan Sean. Kemudian ia melangkah kembali ke ruangan para office boy dan office girl yang ada di bagian belakang kantor. Tiba di sana. Bu Jannah, pimpinan para office boy dan office girl menyambutnya. Wajah Bu Jannah yang judes terlihat semakin judes. "Kenapa lama sekali di ruangan bos?" Tanya Bu Jannah dengan suara cukup nyaring dan nada keras. Mia udah paham dengan tabiat Bu Jannah, sehingga tidak kaget lagi mendengar pertanyaan seperti itu. "Maaf, Bu. Bos menanyakan tentang keluarga saya di kampung. Karena tadi ada orang dari kampung, yang mencari saya menagih hutang almarhum ayah saya." Mia menjawab pertanyaan Bu Jannah dengan berbohong. Tapi tidak sepenuhnya berbohong, ada bagian yang benar terjadi. "Hutangnya di bayar bos?" Bu Jannah bertanya penasaran. Bu Jannah tahu dengan kedatangan Toto dan Fiki tadi. "Iya, Bu. Potong gaji saya setiap bulan." Mia mengakui hal itu kepada Bu Jannah. Hantu tanpa menyebutkan tentang nikah kontrak. "Oh. Beruntung sekali kamu ya." "Alhamdulillah. Karena saat orang itu datang menagih, tepat saat bos datang. Jadi saya langsung dibantu." "Berapa hutang almarhum ayah kamu?" Bu Jannah ingin tahu jumlah hutang ayah Mia. "Seratus juta," jawab Mia dengan jujur. "Seratus juta!?" Mata Bu Jannah terbelalak mendengarnya. Itu jumlah yang sangat besar menurutnya. "Iya." Mia menganggukkan kepala. "Ayah kamu untuk apa berhutang sebegitu banyak?" Bu Jannah merasa heran, mendengar orang kampung punya hutang seratus juta. Uang yang digunakan untuk apa. "Saya juga tidak tahu. Mungkin sebenarnya bukan hutang ayah saya. Tapi hutang ibu tiri saya. Karena yang tanda tangan mengambil hutang ayah saya, jadi saya yang harus membayarnya." Mia menjelaskan kepada Bu Jannah, apa yang ia pikirkan tentang hutang itu. Ingin menuntut kepada ibu tirinya, tapi tanda tangan di surat perjanjian itu adalah tanda tangan ayahnya. Tidak mungkin ia menuntut ibu tirinya. Ibu tirinya juga tidak mungkin mau membayar. "Berapa gaji kamu dipotong setiap bulan?" Tanya Bu Jannah. "Lima ratus ribu." "Lima ratus ribu!?" "Iya." "Hutang itu akan lunas setelah dua ratus bulan. Itu artinya hampir tujuh belas tahun. Apa kamu sanggup punya hutang selama tujuh belas tahun?" Bu Jannah tampak tidak yakin Mia sanggup mencicil selama tujuh belas tahun. "Anggap saja bayar kredit rumah. Kredit rumah kan biasanya lima belas tahun." Mia menjawab dengan ringan saja, seakan memiliki hutang seratus juta, dicicil dua ratus bulan, bukan masalah besar baginya. "Ya Tuhan. Kamu akan tua di sini sebagai office girl selamanya. Apa kamu tidak ingin maju?" Bu Jannah sangat berharap, anak yang menjadi bimbingannya, bisa maju hidupnya. Tidak menjadi office boy atau office girl selamanya. Bisa memiliki kehidupan yang lebih baik lagi. Memiliki masa depan yang bahagia dan sukses. "Saya tidak memikirkan itu Bu. Saya jalani saja apa adanya. Tidak ingin bermimpi terlalu tinggi. Tidak ingin mengharap sesuatu yang lebih besar. Begini saja saya sudah bahagia." Mia tersenyum, memperlihatkan keikhlasan dalam menjalani hidup. "Huh! Ciri-ciri orang yang tidak ingin maju seperti kamu ini. Ya sudahlah. Semoga kamu bisa melunasi hutang itu dengan segera." "Terima kasih, Bu." Mia lega, walau Bu Jannah judes dan ketus, tapi marah sesuai porsinya saja. Tidak pernah melebih-lebihkan. Karena itu disayangi oleh bawahannya. Bu Jannah juga perhatian, meski kadang nada bicaranya keras dan wajahnya cemberut. Mia hari ini tidak bisa konsentrasi bekerja. Karena memikirkan malam nanti akan menikah. Pernikahan yang tidak diinginkan sama sekali. Sean terlalu ganteng, terlalu kaya, tidak sebanding dengan dirinya. Dalam pikiran Mia, jika suami istri tidak satu level, maka pasti akan timbul masalah. Apalagi ini hanya pernikahan kontrak, yang harus disembunyikan dari orang lain. Tidak mungkin Mia bisa bergerak bebas lagi jika sudah hamil. Mia pasti akan dipenjara di dalam rumah Sean, sampai selesai melahirkan. Membayangkan itu hati Mia sangat sedih. Bekerja keras tidak masalah baginya, asal masih memiliki kebebasan pada dirinya. Ia pergi ke kota, untuk menghindari hal tidak baik di kampungnya. Tapi ternyata, ada saja yang membuatnya harus merasa ikhlas. Ikhlas menjadi perempuan yang dibayar untuk melahirkan. Hal yang tidak pernah terpikirkan olehnya. Berpikir akan menikah dengan seorang bos saja tidak pernah, apalagi memikirkan terjebak dalam pernikahan kontrak yang tidak diinginkan. Sayangnya Mia tidak bisa menolak. Mia harus ikhlas menerima jalan hidupnya. 'Ya Allah, aku tidak tahu ada apa di balik semua ini. Aku sungguh tidak ingin menikah dengan orang yang tidak aku cintai. Tapi aku pasrah pada jalan hidup yang sudah Engkau tentukan. Semoga dengan keikhlasan hatiku, ada hikmah yang baik dari semua ini. Semoga aku bisa cepat hamil dan melahirkan, agar segera terbebas dari pernikahan kontrak yang tidak pernah aku inginkan. Walau aku tidak punya apa-apa, tapi aku tidak ingin memiliki uang banyak dengan cara seperti ini. Karena ini sudah takdir dariMu, aku harus ikhlas menjalani. Semoga ada masa depan yang indah untukku nanti. Walau harus terpisah dengan anak yang aku lahir kan. Tolong jaga hatiku Ya Allah.' "Hey! Kamu melamun? Apa masalah hutang tadi belum selesai." "Kamu tahu masalah itu?" "Ya tahu. Banyak yang membicarakan hal itu. Aku dengar bos membantu kamu untuk membayarnya. Kamu harus mencicil berapa sebulan?" "Hutangnya seratus juta. Di cicil lima ratus ribu sebulan." "Wah, banyak sekali. Perlu waktu berapa tahun baru lunas." "Hampir tujuh belas tahun baru lunas." "Ya Allah lama sekali." "Ya, bagaimana. Hutang memang harus dibayar.. walau yang berhutang bukan aku. Aku ingin ayahku tenang di alam sana. Semoga dengan lunas hutangnya, bisa mudah mendapatkan pengampunan dan bisa masuk surga, aamiin." Mia mendoakan almarhumah ayahnya. "Aamiin. Semangat bekerja. Agar bisa membayar hutangmu, dan lunas secepatnya." "Terima kasih." *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD