Bab 2. Dimas Begitu Perkasa

1206 Words
Dimas menarik jarinya perlahan begitu ia selesai mengetes keperawanan Luna. Desah lirih Luna kembali terdengar, lalu isak tangis dan napas pendek-pendek Luna bersarang di telinga Dimas. Ia lantas duduk, menjangkau sabuk dan kemejanya yang ada di lantai lalu berdiri. Dengan cepat, ia mengenakan semuanya kembali. "Kamu terlalu muda buat kamu. Kamu bisa pergi!" Dimas membalik badan untuk melihat Luna terakhir kalinya. Ia lalu melangkah menuju pintu dan meninggalkan Luna. Luna masih terisak-isak di atas tempat tidur dengan kedua kaki merapat ke dadanya. Ia sadar, ia tak boleh begini. Barangkali pria itu hanya mengelabuhi dan kembali lagi. Jadi, ia pun memutuskan untuk segera berpakaian dan pergi saja. "Sial! Apa yang dia mau? Kenapa dia kayak gitu dan pergi gitu aja?" Luna tak bisa menerka apa yang diinginkan Dimas sebenarnya. Sembari berpakaian, ia terus berpikir meskipun ia tak menemukan jawaban apa pun. Luna mengusap pipinya yang basah, ia merapikan rambut sekenanya karena tak ingin terlihat baru saja dikasari oleh Dimas. Ia lantas melangkah menuju pintu. "Apa dia beneran udah pergi?" Luna bergumam seraya mengintip ke kanan-kiri. Ia menelan keras ketika tahu ia hanya sendirian di vila yang sepi. "Mendingan gue cabut sekarang!" Luna berjingkat-jingkat menuju pintu depan. Ia tak tahu bahwa tadi Dimas sengaja keluar lewat pintu belakang. Ia juga tak tahu bahwa di depan pintu vila, ia sudah dihadang oleh puluhan wartawan. Luna yang merasa ia sudah aman dengan senang langsung menarik pintu depan. Ia melangkah ke luar vila dan langsung menahan napas. "Itu tunangan tuan Dimas!" seru seseorang. Luna menoleh bingung karena di hadapannya kini ada puluhan mikrofon dan alat perekam. Luna yang merapat ke daun pintu tak berkutik menatap para wartawan yang haus akan berita tersebut. "Apa benar, Anda telah bertunangan dengan Dimas Erlangga?" tanya salah satu dari mereka. Luna menelan keras. Ia tahu keluarga Dimas kaya raya, tetapi ia tak menyangka pertunangannya akan diberitakan seperti ini. Ia agak malu, kaget serta bingung karena ia tak pernah menghadapi hal seperti ini. Haruskah ia jujur atau sebaliknya? "Apa Anda mau bertunangan dengan tuan Dimas hanya karena uang?" Luna menggeleng pelan. Meskipun sebenarnya demikian. Ia tak ingin malu dan dianggap sebagai gadis murahan yang menjual diri. Atau lebih buruk lagi, dijual oleh keluarganya! "Katakan, Nona. Seperti apa wajah tuan Dimas? Apa benar beliau memiliki paras yang sangat jelek dan kasar?" tanya wartawan lain yang begitu penasaran. Luna tersudut. Ia bahkan tak bisa melihat wajah Dimas. Namun, ia bisa membayangkan tubuh Dimas. Ia menyentuhnya! Ia merabanya dan ia telah ditindih oleh pria itu. Dimas pastinya memiliki tubuh tinggi tegap dengan otot tubuh keras dan sangat bugar. Jadi, Luna pun berimajinasi bahwa Dimas juga memiliki paras yang indah. "Apa yang terjadi di dalam? Apa Anda dan tuan Dimas sudah melakukannya? Jadi, seperti apa yang bisa Anda ceritakan?" tanya yang lain. "Tolong jawab, Nona! Apa benar rumor yang menyebutkan bahwa tuan Dimas sangat jelek dan keji?" Telinga Luna berdengung atas semua pertanyaan yang tertuju padanya. Ia harus bicara. Ia meneguhkan hatinya untuk menjawab. Ia tak ingin ada orang-orang yang merendahkan tunangannya. Meskipun Dimas tadi sempat kasar padanya, suatu hari nanti Dimas akan menjadi suaminya di masa depan. Jadi, ia tak suka mendengar mereka menjelek-jelekkan Dimas seperti ini. "Rumor itu nggak bener," jawab Luna dengan nada teguh. Semua orang saling bertatapan dan maju lebih dekat dengan Luna. Mereka tak akan ketinggalan berita terpanas malam itu. "Jadi ... om Dimas sangat baik dan tampan. Dia adalah pria paling tampan di dunia. Dan dia nggak kasar. Dia nggak jelek. Dia memiliki tubuh sangat indah. Dan saya ... saya bahagia terpilih menjadi tunangannya." Luna menatap semua orang yang kini saling melempar pandangan. Barangkali ucapannya kurang meyakinkan, jadi ia segera menambahkan. "Dia juga hebat di atas ranjang. Dia memuaskan dan sungguh perkasa. Saya hampir nggak bisa bangun lagi dari tempat tidur karena keperkasaan om Dimas. Dia adalah pria yang sungguh sempurna!" *** Sementara itu, Dimas yang keluar melalui pintu belakang aman dari gangguan para reporter. Ia langsung masuk ke mobil dan meminta sopirnya untuk membawanya pulang. "Nyalakan radio!" perintah Dimas pada, Reza, sopir sekaligus orang kepercayaannya. "Ya, Tuan." Reza langsung menyalakan radio yang ada di mobil. Namun, alih-alih mendengarkan musik, keduanya justru terkejut karena mendengar wawancara yang menyebutkan nama Dimas. "Keraskan volumenya!" pinta Dimas. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan untuk menyimak setiap kata yang keluar dari bibir Luna. Ia terkesima. Seperti itukah Luna menilai dirinya? Dia sempurna dan luar biasa di atas ranjang? Dan ia adalah pria yang tampan? "Sepertinya, nona Luna adalah gadis yang baik, Tuan," celetuk Reza memberikan komentarnya. "Dia belum melihat wajahku, aku nggak yakin dia sebaik itu," tukas Dimas. Dimas kembali menyandarkan punggungnya. Ia masih terngiang-ngiang dengan semua ucapan Luna di depan reporter. Gadis itu mengakui dengan percaya diri bahwa ia adalah tunangannya. Sungguh di luar dugaan. Ia mengira Luna akan membencinya setelah apa yang ia lakukan. Karena kata-kata berani Luna, ia menjadi terkesan dengan gadis itu. Luna tampaknya adalah gadis yang menarik. "Matikan radionya!" perintah Dimas lagi. Ia baru saja merasakan ponselnya bergetar dan ia melihat nama ayahnya di sana. Dimas membuang napas panjang sebelum ia menjawab panggilan ayahnya tersebut. "Halo, Pa. Ada apa?" Terdengar tawa serak di seberang. Hendra Erlangga, ayah Dimas, juga telah mendengar wawancara yang dilakukan oleh Luna di depan vila miliknya. Tentu aja, Hendra juga terkesan dengan Luna. Ia sangat puas karena akhirnya ada seorang gadis dekat dengan putra ketiganya itu. "Papa udah denger tentang tunangan kamu, Luna. Kalian harus sering bertemu. Undang dia ke vila lagi!" "Ya." Dimas mengangguk pelan. Ia tak punya pilihan lain jika itu adalah permintaan ayahnya. Lagipula, ia mulai tertarik dengan Luna setelah wawancara eksklusif tadi. "Undang Luna untuk makan malam di vila!" perintah Dimas. "Kamu bisa jemput dia nanti." "Ya, Tuan." *** Sesuai permintaan Dimas, Reza datang ke kediaman keluarga Rahmat malam itu. Ia sudah mengirimkan undangan untuk Luna dan kini ia harus menjemput Luna. Sementara itu di kamarnya, Luna merasa begitu berat untuk pergi. Seharian ini ia sudah diledek oleh Mira, saudari tirinya, karena ia telah menjadi tunangan pria tua yang kabarnya jelek. Padahal, Luna sudah mengumumkan di wawancara bahwa Dimas sungguh sempurna dan memuaskan di tempat tidur. "Kita harus berangkat, Nona!" Reza mengingatkan dengan mengetuk pintu kamar Luna. Dengan bersungut-sungut, Luna pun akhirnya mengambil kardigan miliknya lalu berjalan ke luar rumah. Ia masuk ke mobil mewah itu dengan diiringi tatapan mengejek Mira. Sumpah! Ia sangat membenci saudari tirinya itu. Setelah berkendara selama beberapa menit, akhirnya Luna pun tiba di vila yang semalam. "Silakan masuk, Nona. Anda sudah ditunggu oleh tuan di dalam," kata Reza. "Oh, ya." Luna merapikan pakaiannya karena ia begitu gugup. Ia harus datang lagi ke tempat semalam ia dibuat ketakutan oleh Dimas. Namun, Reza berkata bahwa mereka hanya akan makan malam nanti. Jadi, Luna pun menenangkan dirinya bahwa semua akan baik-baik saja. Luna akhirnya masuk dan menunggu kemunculan Dimas. Hingga tak lama, ia mendengar suara langkah mendekat. Ia pun menoleh ke arah orang yang datang. Jantung Luna berdetak kencang ketika pria itu semakin mendekat. Ia terlalu terkejut ketika menatap wajah pria itu. "Apa? Dia ... ada apa dengan wajahnya?" Luna membatin. Luna mundur selangkah. Ia tak berkedip menatap Dimas. Tidak! Tak mungkin dia adalah pria yang semalam! Luna bahkan menggeleng kecil karena tak mempercayai semua ini. Apalagi ketika Dimas membalas tatapannya dengan dingin. Separuh wajah Dimas terlihat begitu mengerikan dengan bekas luka bakar di sana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD