Luna mundur selangkah ketika Dimas mendekat ke arahnya. Ia bahkan mengepalkan tangannya karena gemetar. Tidak! Pria ini begitu menakutkan dengan luka bakar di sisi wajah kanannya. Ditambah, tatapan Dimas begitu menusuk ke arahnya. Dapatkah ia melarikan diri? Apakah ia bisa menjangkau pintu tanpa dikejar Dimas?
"Gadis ini nggak ada bedanya sama cewek lain. Dia pasti takut ngeliat muka aku yang jelek," batin Dimas geram.
Dimas maju selangkah dan Luna terlihat semakin takut. Bahkan gadis itu memeluk tas kecilnya dengan erat. Ketika ia semakin dekat, Luna menunduk. Luna menghindari tatapan—dan wajah—Dimas. Sikap Luna membuat Dimas semakin yakin bahwa Luna adalah gadis yang menilai seseorang hanya dari penampilan fisik saja. Yah, Luna hanya menginginkan harta dari keluarga Erlangga.
"Kamu bisa pergi!" ujar Dimas pada Luna. Ia lalu menoleh pada Reza yang masih bersama mereka. "Bawa kembali Luna dan batalkan pertunangan kami!"
Luna membelalak mendengar ucapan Dimas. Pertunangan itu akan dibatalkan? Lalu, bagaimana dengan krisis keluarganya?
"Tapi ... aku nggak bisa pulang gitu aja, Om, kata Luna.
Dimas memiringkan kepalanya. "Kalau kamu khawatir dengan investasi itu ... kamu nggak perlu cemas. Aku akan tetap bantu keluarga kamu biar nggak bangkrut."
Kedua mata Luna memanas. Benarkah? Apakah Dimas tersinggung dengan sikapnya yang ketakutan? Ia mencoba untuk lebih tenang saat ini.
"Reza, bawa dia pulang!" perintah Dimas lagi.
Luna menggeleng pelan. Ia mengangkat dagunya sedikit untuk melihat Dimas. Ia meyakinkan dirinya bahwa semua ini tidak apa-apa. Ia tak ingin pertunangan ini dibatalkan. Ia harus bisa menghargai kekurangan seseorang alih-alih ketakutan seperti tadi. Lagipula, sangat tidak sopan jika bersikap seperti itu pada orang cacat. Luna merutuk dalam hati.
"Aku minta maaf!" sergah Luna.
"Pergi! Reza, antar dia pulang sekarang juga! Aku tahu, kamu mau bertunangan sama aku hanya karena uang. Kamu nggak punya perasaan yang tulus!" hardik Dimas.
Luna terkesiap ketika Dimas berjalan menjauh darinya. Buru-buru, ia mengejar Dimas karena ia hendak minta maaf atas sikapnya tadi.
"Itu nggak bener, Om. Aku minta maaf. Aku nggak bermaksud menghindar kayak tadi," jelas Luna. Ia setengah berlari karena Dimas berjalan dengan sangat cepat. "Aku cuma ... aku agak kaget. Semalam, aku nggak bisa ngeliat Om."
"Kamu nggak perlu jelasin. Pulang aja sana! Kenapa kamu malah buntutin aku kayak gini?" Dimas berhenti di bawah anak tangga. Ia mengedikkan dagunya ke arah pintu keluar. "Pergi!"
"Nggak. Aku nggak akan pergi. Aku tunangan Om. Dan aku nyesel sama sikap aku tadi. Maaf," kata Luna lagi. Ia menangkupkan kedua tangannya di depan bibir dan memasang tampang penuh sesal.
"Kamu nggak bedanya sama wanita lain!" Dimas mendorong kening Luna dengan ujung telunjuknya.
Luna meraba keningnya dan mendongak. Pria itu benar-benar dingin! Luna mendengkus, ia tak bisa pulang begini. Ia benar-benar harus meyakinkan Dimas bahwa ia menyesal.
"Om! Tunggu!" pekik Luna ketika Dimas mendorong tubuhnya ke pintu keluar. "Kenapa Om ngusir aku? Aku nggak mau pergi!"
"Aku nggak peduli kamu mau ngoceh apa. Aku tahu kamu takut sama wajah buruk aku, jadi aku bakal batalin pertunangan kita. Aku tekankan sekali lagi, kamu nggak perlu khawatir tentang perusahaan ayah kamu. Aku tetap akan kasih uang itu meskipun kita nggak punya hubungan apa pun." Dimas berhasil mengeluarkan Luna dari vilanya.
"Tapi ... Om, aku bisa jelasin," kata Luna memohon.
Dimas tak menggubris keberadaan Luna. Ia mengedikkan dagunya pada Reza. "Bawa dia pergi dari sini!"
Dimas menutup pintu cepat. Ia mendengar Luna memukuli daun pintu, tetapi ia tak ingin peduli. Ia tak bisa mempercayai gadis seperti Luna. Seseorang yang takut dengan wajah buruknya tak pantas menjadi tunangannya.
Sementara itu di luar vila, Luna merasa bingung setengah mati. Ia menunduk dengan wajah terlipat. Ia tak bisa masuk dan bicara dengan Dimas. Dan ia tak mau pulang sebelum ia mendapatkan maaf dari Dimas.
Luna memutuskan untuk duduk di muka pintu. Punggungnya menempel di daun pintu dengan napas naik-turun. Ia memikirkan cara untuk meminta maaf lagi nanti.
"Permisi, Nona!" panggil Reza. "Mari ke mobil! Saya antar Anda pulang."
Luna mendongak pada pria yang berdiri menjulang di depannya. Melihat hal itu, Reza langsung berjongkok. "Aku nggak mau pulang."
"Tuan Dimas meminta Anda untuk pulang malam ini," kata Reza.
Luna menggeleng. Ia bersikukuh untuk tinggal. "Aku nggak mau! Aku udah bikin dia tersinggung dan aku mau minta maaf. Lagian, aku tunangan om Dimas. Aku tinggal di sini."
Reza membuang napas panjang. "Anda yakin? Tuan Dimas nggak bakal berubah pikiran jika sudah memutuskan. Tuan ingin membatalkan pertunangan kalian berdua."
"Aku nggak peduli. Aku mau tungguin om Dimas di sini sampai dia keluar. Nggak mungkin dia mendekam terus di dalam!" gerutu Luna.
Reza mengangguk pelan. Ia melihat kesungguhan di mata Luna. Jadi, ia pun membiarkan hal ini. Tentu saja, ia memberikan laporan diam-diam pada Dimas agar tuannya itu tahu bahwa Luna masih bertahan di depan pintu vila.
Malam semakin larut, Luna sudah bosan menunggu. Alih-alih Dimas yang datang, justru kantuk dan nyamuk yang mengganggunya sejak tadi.
"Duh, gila ini nyamuk. Gue udah bentol-bentol," gerutu Luna sambil menggaruk-garuk kakinya yang gatal.
Luna sudah mengubah posisi duduknya berkali-kali, kadang ia mondar-mandir. Ia sempat terpikirkan untuk memutari vila dan mencari pintu masuk lainnya, tetapi ia terlalu takut untuk melakukan itu karena di luar begitu gelap.
Dan kini, Luna sudah tak bisa lagi menahan kantuknya. Kepala Luna terkulai ke kanan perlahan ketika ia mulai memejamkan matanya. Hingga akhirnya tubuh Luna ambruk tepat di depan pintu depan vila.
Luna tak tahu berapa lama ia memejamkan matanya, tetapi ia sudah berkali-kali melihat hal yang tak ingin ia ingat mimpinya.
"Nggak ... jangan pergi! Mama ... mama jangan ... tinggalin aku!" Luna merintih. "Aku mau ... ikut mama. Jangan ... jangan pergi dari aku. Mama, mama ... aku mau mama."
Wajah Luna basah oleh keringat dingin. Ia terus bermimpi buruk. Dan ia melihat ibu kandungnya pergi, meninggalkan ia untuk tinggal bersama Rahmat. Itu adalah hal buruk dalam kehidupan Luna, karena ia harus tinggal bersama ibu tiri dan saudari tiri yang tak menyukainya. Luna menangis dalam tidurnya dan tanpa ia sadari, sejak tadi itu sudah mengganggu ketenangan Dimas di dalam vila.
***
Ketika Luna membuka mata keesokan harinya, ia mendapati dirinya berada di ruangan yang sangat wangi dan temaram. Ia ingat, ia tidur di luar vila Dimas. Namun kini, ia tak lagi di sana. Ia pun menoleh. Ia lebih terkejut lagi karena melihat Dimas ada di sebelahnya.
"Sejak kapan gue ada di sini? Apa om Dimas yang udah bawa gue masuk ke kamarnya?" Luna hanya membatin sembari menelan saliva.
"Kenapa kamu nggak pergi aja?" Dimas bertanya dengan dingin. "Aku udah nyuruh kamu pergi!"
Luna tak mengalihkan tatapannya dari wajah Dimas. "Gue nggak perlu takut."
"Kenapa?" tanya Dimas lagi.
"Aku 'kan tunangan Om. Aku nggak mau pertunangan kita dibatalkan," jawab Luna.
Dimas tersenyum miring. Rasanya, ia perlu menguji gadis ini sekali lagi. Dengan lembut ia menyentuh bahu Luna. Ia bisa merasakan ketegangan di tubuh Luna, tetapi ia meneruskan. Ia menarik lembut tepian kardigan beserta tali bahu gaun Luna, seketika kulit putih di sana terpapar. Ia menatap Luna yang langsung memerah.
"Kamu nggak nyesel tunangan sama aku?" tanya Dimas seraya mendekatkan wajahnya ke wajah Luna.
Luna menggeleng pelan. Ia meyakinkan dirinya bahwa ia akan terbiasa dengan wajah itu. Sekarang, ia masih merasa agak takut dan gemetar, tetapi lambat laun ia tak akan merasa seperti itu lagi.
Dimas menunjuk sisi wajahnya yang mengerikan. "Kamu yakin, kamu nggak takut sama ini?"