Hidup yang baru

1202 Words
Minggu pagi adalah waktu yang Agatha sukai karena ia bisa menikmati waktu sendiri dengan berjalan-jalan ke manapun yang ia suka.  Sudah dua minggu ia berada di kota ini, Bandung yang dulu tampak sepi kini jauh berbeda. Kota ini sudah seperti Jakarta dengan kemacetan yang hampir ia temui di setiap jalanan kota. Namun semua itu tak merubah pemikirannya tentang kota ini, karena Bandung masih tetap indah meski sekarang di penuhi dengan berbagai macam toko pakaian maupun oleh-oleh yang berjejer di sepanjang jalanan Cihampelas dan juga jalanan menuju pintu tol Pasteur.  Hari ini Agatha akan pergi ke toko buku untuk melihat novel incarannya dan mungkin juga buku-buku pelajaran yang ia butuhkan. Ia sudah siap dan bergegas menuju luar rumah di mana taksi online yang di pesannya sudah menunggu. **  Tak lama perjalanan menuju toko buku yang berada di jalan Merdeka, Agatha bahkan sudah berada di deretan novel yang sedari tadi ia tatap penuh minat.  Rasanya ia ingin membawa semua rak novel ini dan memindahkannya ke kamar di rumah. Tapi semua itu hanya sekedar ingin dan mimpi semata karena kenyataannya ia tak bisa meski uang jajannya cukup untuk membeli novel tapi tidak dengan satu rak penuh di toko buku ini.  Asyik dengan beberapa novel yang ia baca judul dan juga sinopsisnya, tatapan mata dia mulai mengarah ke sekeliling dan kali ini perhatiannya teralihan pada objek yang tak jauh darinya saat ini tengah berdiri.  Agatha mendapati  seorang laki-laki yang tengah serius dengan sebuah kamus bahasa asing di tangannya, kadang alisnya mengerut kemudian mulutnya seperti bergumam, hal tersebut tak luput dari perhatian Agatha.  Entah kenapa seolah matanya tak bisa beralih pada objek yang merupakan seorang laki-laki di hadapannya kali ini. Tak ingin tertangkap basah karena memperhatikan laki-laki itu, Agatha kembali fokus pada novel di tangannya lalu ia sudah memilih dua novel dan kemudian ia pun berjalan ke arah kasir untuk segera membayarnya.  Namun lagi-lagi perhatiannya teralihkan pada laki-laki tadi, yang sekarang sudah berpindah dan duduk di salah satu kursi yang tak jauh dari rak kamus tersebut. “Serius banget sih,” gumamnya setelah itu giliran ia membayar novel dan keluar dari toko buku, meninggalkan sejuta harapan akan ada hari di mana ia bisa kembali melihat laki-laki itu, yang ia sebut laki-laki toko buku. ** “Dari mana?” tanya Bian, kakak laki-lakinya.  Saat Agatha baru saja masuk ke dalam rumah dan berjalan ke arah ruang tengah. Bian sedang duduk dengan satu toples keripik kentang dan juga tayangan sepakbola di layar televisi. “Toko buku,” balas Agatha duduk di samping Bian. “Pada kemana kak? Rumah sepi amat,” lanjutnya kemudian mengambil toples di tangan Bian. “Kak Rian pergi sama ceweknya, Mama sama Papa pergi ke kondangan.” “Yang jomblo di rumah sendiri,” celetuk Agatha membuat Bian menjitak kepala adiknya itu. “Sakit ...” Agatha meringis mengelus kepalanya.  “Sesama jomblo jangan saling ngatain!”seru Bian.  “Iya maaf deh. Udah lah aku ke atas dulu, mau mandi.” “Yaudah sono,” usir Bian pada Agatha. Gadis itu berjalan menuju kamar yang berada di lantai dua, kamar dengan pintu berwarna coklat bersebelahan dengan pintu warna abu yang merupakan kamar Bian, kakak keduanya. Sementara kakak pertamanya -Rian- memiliki pintu kamar berwarna hitam tepat di sisi lainnya, yang jika di lihat kamar Agatha berada di antara kedua kakak laki-lakinya. Agatha duduk di kursi dan menyimpan novel yang ia beli di atas meja belajarnya. Ia kembali teringat dengan laki-laki di toko buku tadi, bayangannya tak bisa ia lupakan bahkan seperti menghantui pikirannya.  Aneh, padahal ini pertama kalinya mereka bertemu bahkan tak bisa di katakan sebagai bertemu karena di sini hanya Agatha yang meilhat laki-laki tersebut. “Penasaran banget gue,” ucapnya. Kemudian seolah tak ingin terlalu memikirkan laki-laki tadi, ia segera beranjak dan masuk ke dalam kamar mandi. Mungkin hanya sesaat dia ingat tentang laki-laki tersebut. ** “Besok sekolah, jangan tidur terlalu malam,” ucap Cantika –mama Agatha. Sementara Agatha yang saat ini tengah asyik menonton acara televisi bersama dengan Bian tampak mengangguk, begitu juga dengan Bian yang mengiyakan. Tadi setelah mereka makan malam bersama, kegiatan berlanjut dengan obrolan hangat di ruang tengah tanpa Kakak pertamanya –Rian- karena laki-laki itu sudah memiliki janji untuk makan malam bersama dengan keluarga kekasihnya.  Bian dan Agatha mulai asyik dengan menonton tv sementara orang tua mereka sudah naik ke lantai atas di mana kamar mereka berada. “Kak.”  Panggil Agatha pada Bian yang di jawab dengan gumaman oleh laki-laki itu. “Kak Bian!” panggil Agatha lagi, kali ini Bian menoleh ke arah adiknya. “Apaan sih? Lagi seru juga.” “Gue mau cerita ni.” “Bentar deh udahan ini.” “Ih keburu lupa tahu.” Bian mendecak. "Emang cerita apa?” “Gue liat cowok.” “Lah emang selama ini lo cuma lihat cewek doang di dunia ini.” “Ih ... bukan gitu, mangkanya kalau orang ngomong tu dengerin dulu jangan dulu main potong-potong segala emang gue sayuran di potong.” “Iya iya, lanjutkan tuan putri ...” “Kebiasaan.” “Sakit dodol.” Ringis Bian karena Agatha memukul bahunya. “Ini gue kapan ceritanya kalau lo gak diem!” “Lah, gue ini lagi diem, Dek. Terus gimana? Lo ketemu cowok? Di mana?” “Nah tadi gue kan ke toko buku, terus gue lihat cowok cakep gitu kak. Kaya oppa korea gitu sampe gue lihatin terus tu cowok, untung gak ketahuan.” “Ngeri lo ... Paparazzi.” “Yeuh ... nggak gitu juga. Pokoknya gue lihat cowok itu jadi deg-degan.” “Artinya jantung lo berfungsi dengan baik. Kalau gak deg-degan ya lo mati, oon banget lo jadi adek gue.” Lagi. Agatha kembali memukul bahu Bian karena ucapan kakaknya itu sangat menyebalkan. Curhat pada kakaknya itu memang tak pernah bisa serius tapi jika pada Rian yang ada dia kena omel karena ketahuan memerhatikan cowok sampai segitunya.  Maklum Rian itu terlalu over protektif pada adik perempuan satu-satunya itu. Bahkan karena sikap Rian itu lah tak ada laki-laki yang mau dekat dengan Agatha, belum dekat saja Rian sudah menyuruh siapa pun laki-laki yang dekat dengan adiknya itu untuk duel dengan dia, maklum Rian itu anggota karate dan sabuk hitam.  Ya kalau sudah begitu, auto kabur deh mereka yang ingin dekat dengan Agatha. “Di ajak serius juga, gue kan lagi curhat ini. Udah tau kalau sama kak Rian bakalan kena omel apalagi soal cowok.” “Iya maaf, adekku paling cantik.” “Lah emang cantik, kan adek lo cuma gue doang.” “Terserah, Ta. Gue lama-lama kesel ngomong berdua sama lo.” “Hehehe.. intinya gue lihat cowok di toko buku terus kepikiran deh. Selesai.” “Inget lo masih bocil jangan cinta-cintaan.” “Yaelah, udah SMA juga masa tetep bocil. Kan gue mau kali punya pacar kaya di novel novel gitu.” “Ini dunia nyata, bukan dunia halu.” “Ish ... gak boleh banget adeknya seneng gitu.” “Udah makin malem lo suka makin halu, sana tidur. Besok udah mulai sekolah juga,” usir Bian pada Agatha.  Gadis itu beranjak dari sofa kemudian berjalan ke kamarnya meninggalkan Bian yang masih asyik menonton, sambil menunggu kakaknya pulang karena malam ini dia yang memiliki tugas untuk mengunci rumah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD