bab 4

1408 Words
Pertemuan siang itu tak memberikan kepuasan bagi kedua belah pihak. Ethan gagal meminta Danisa menjadi pacarnya secara baik-baik, dan ia memilih memaksa serta terkesan mengancam. Begitu juga Danisa yang gagal mendapatkan permintaan maaf yang ia harapkan sejak semalam. "Bisa-bisanya dia nolak aku," ucap Ethan di dalam mobil. Setelah pertemuannya tadi siang dengan Danisa, ia lebih banyak melamun. Memikirkan banyak pertanyaan mengenai alasan kenapa wanita itu menolaknya. Sedangkan ia sudah begitu percaya diri. Itu adalah kali pertama dia ditolak, itu pun oleh seorang janda. Kini dia merasakan bagaimana perasaan gadis-gadis yang sudah ditolaknya selama ini. Bukan hanya harga dirinya yang terluka, tapi juga perasaannya. "Dia belum kenal secara menyeluruh soal aku. Harusnya dia nggak gegabah nolak aku. Kan bisa dia mikir-mikir dulu, seenggaknya bilang lah kalau dia minta waktu buat mikir. Bukan malah langsung nolak begitu. Kenapa coba? Apa kurangnya aku? Seorang Ethan Raharjo, ditolak?" Pria itu berbicara sendiri di bangku penumpang di mobil mewah yang harganya dibanderol dengan harga miliaran rupiah. Ya, dia bukan hanya tampan, tapi juga kaya raya. Ethan Raharjo adalah putra bungsu dari keluarga Raharjo, pebisnis terkenal dalam bidang investasi. Ethan merupakan CEO perusahaan cabang milik keluarganya yang terkenal kaya raya hingga 7 turunan. Perusahaannya terkenal, begitu juga dengan keluarganya. Hanya saja, Danisa tak mengetahui hal itu karena dia belum lama pindah ke kota. Selain itu, Ethan tidak pernah ke apartemen Danisa menggunakan mobil, walau hanya sekedar diantar. Dia selalu menggunakan sepeda motornya yang membuat Danisa tak merasa curiga sama sekali. Perkenalan Danisa dan Ethan juga baru sekitar sebulan yang lalu. Walau begitu, Ethan sudah tertarik dengan Danisa sebelum keduanya saling berteman. Berawal dari momen ketika Ethan keluar dari kamar Nando dan Danisa yang baru pulang, berjalan di lorong apartemen menuju ke kamarnya. Wanita itu basah kuyup, bajunya yang berwarna putih tampak tembus pandang. Pakaian dalamnya terlihat, begitu juga dengan lekuk tubuhnya. Sebagai pria normal, Ethan tertarik dengan tubuh Danisa. Wajah wanita itu tampak seksi, apalagi saat air hujan menetes dari dagunya. Juga dengan rambut yang basah kuyup, benar-benar menyita perhatiannya. Walau saat itu Danisa setengah berlari, Ethan yang baru keluar kamar milik sahabatnya, dapat melihat penampilan vulgar malam itu. Sejak saat itulah Ethan mulai mendekati Danisa dengan berbagai cara. Lalu, apa yang terjadi tadi malam memang sudah direncanakan oleh Ethan. Padahal dia tahu Nando sedang pergi keluar kota, dia malah membohongi Danisa dengan alasan menunggu teman baiknya itu. Terpaksa dia berbohong, karena Ethan tahu kalau Danisa tak mudah untuk didekati. Selama ini Ethan merasakan kalau Danisa selalu memberi batas antara mereka. Ya, batas sebagai teman saja. Namun, Ethan tetap tidak terima dengan penolakan Danisa. "Apa aku perlu pamerin harta aku ke dia?" Ethan membenturkan kepalanya ke kaca jendela mobilnya, pelan saja. Dari depan sana ada sang sopir yang diam-diam memperhatikan sikap aneh sang majikan. Sosok pria yang selalu serius dan garang, kini terlihat seperti anak kecil yang sedang merajuk. "Jangan! Kalau dia tahu aku kaya, dia bisa aja langsung nerima aku. Jadi, bukan aku yang dia suka. Tapi duit aku!" Masih saja berbicara sendiri. Ethan memutar otaknya memikirkan berbagai kemungkinan, membuat kepalanya sakit saja. "Tapi, kalau dia tipe cewek yang begitu, artinya aku udah salah milih." Bukan hanya Danisa yang punya masa lalu. Ethan juga punya. Jika luka di hati Danisa diakibatkan oleh pengkhianatan dan perselingkuhan, berbeda dengan Ethan yang terluka karena merasa diperas dan dimanfaatkan oleh mantan kekasihnya yang berprofesi sebagai model. Tak ingin mengulang kesalahan yang sama, Ethan ingin memulai hubungan yang baru dengan wanita yang tak memandang dia anak siapa dan dari keluarga mana. Dia ingin dicintai karena dirinya sendiri, dari hati, bukan karena materi. Angin malam menerpa wajah Ethan saat pria itu menurunkan kaca jendela mobil. Dia ingin menghirup udara segar, mencoba menenangkan pikirannya yang sudah memanas sejak siang tadi. Di tempat lain, ada Danisa yang sedang duduk lemas di pinggir jendela. Walau itu hanya apartemen sederhana, tapi dia cukup beruntung karena ada jendela yang memberikan tempat untuk masuknya cahaya matahari, juga angin malam yang menemani kesepiannya setiap malam. Setiap malam tiba, setiap detik yang berlalu terasa panjang bagi wanita yang sudah menyandang status janda itu. Ada rasa sedih yang mengalir di hatinya, mengingat dia pernah menjadi wanita yang amat bahagia. Namun dikhianati dan berakhir perpisahan. Meninggalkan rasa trauma. Lalu malam ini, semuanya berbeda. Perbedaan itu sudah dimulai sejak kemarin malam, sejak Ethan menciumnya tanpa izin. Hingga siang tadi, saat pria itu menyatakan perasaannya. Senang? Tentu saja. Danisa merasa dirinya masih menarik. Sebelumnya dia pikir dia sudah tidak menarik lagi sejak mantan suaminya selingkuh. Nyatanya, pria setampan Ethan mengaku menyukainya dan meminta untuk berkencan. Bahkan pria itu tidak terima ditolak serta menyatakan keseriusannya. Namun, karena alasan yang sama, yaitu karena Ethan sangat tampan, ada keraguan yang menyelimuti hati Danisa. "Orang seperti Mas Agus aja bisa selingkuh, gimana sama Ethan? Tapi, gimana kalau dia serius sama omongannya? Gimana kalau dia nyium-nyium aku, sedangkan kami bukan siapa-siapa. Atau aku terima aja ajakan dia buat pacaran? Tapi ... aku belum siap buat sakit hati lagi." Kegelisahan Danisa tak bertahan lama. Dia mengantuk karena kemarin malam tidak tidur, kini dia tertidur di depan jendela kamarnya yang masih setengah terbuka. Hari berganti hari. Itu sudah hari keempat sejak Ethan datang menemui Danisa. Pria itu tak pernah muncul, begitu juga dengan Nando. Kamar Nando terlihat sepi dan kosong. Rupanya Ethan sibuk dengan pekerjaannya, itu sebabnya dia tak sempat menemui Danisa. Sementara Danisa juga sibuk dengan pekerjaan barunya sebagai penulis lepas di perusahaan temannya yang merupakan teman kuliahnya dulu. Sama-sama sibuk, bedanya Ethan selalu mengirim pesan ke Danisa. Sedangkan wanita itu tak pernah sekali pun membalasnya. Pesan-pesan yang dikirimkan Ethan hanya berisi salam, sapaan selamat pagi, selamat malam dan juga mengingatkan untuk makan tepat waktu. Malam itu, Danisa yang baru pulang kerja, dikejutkan dengan kehadiran Ethan di depan kamar apartemennya. Dia mengerutkan kening, tapi berusaha tenang dan masih saja bersikap jual mahal. "Mau apa kamu? Kalau kamu nyariin Nando, kamu pulang aja. Nando nggak pulang dari kapan hari itu, waktu kamu nungguin dia sampe malem. Kamarnya kosong." Danisa berdiri tepat di depan Ethan. Pria itu berdiri menutupi pintu kamar Danisa. Tujuannya agar wanita itu tak melewatinya begitu saja. Sudah beberapa hari tidak bertemu, rasanya rindu. Ethan menatap wajah Danisa dengan lekat, demi memuaskan rasa rindunya. Menyadari tatapan Ethan yang seolah memindainya, Danisa mengerutkan kening lagi. "Ngapain kamu lihat-lihat begitu? Kalau kamu punya niatan mau kurang ajar sama aku lagi, awas aja. Aku akan teriak dan laporin kamu!" Mencoba melindungi dirinya dengan ancaman yang tidak menakutkan sama sekali bagi Ethan. Danisa malah terkesan lucu dan menggemaskan di mata pria itu. "Aku tahu, Nando keluar kota. Aku ke sini mau ketemu kamu." Akhirnya Ethan mengeluarkan suara, tapi tatapan matanya masih sama. "Aku nggak mau ketemu sama kamu." Danisa berusaha menampilkan sikap tenang dan berani, padahal ia sangat takut kalau tiba-tiba Ethan memaksa menciumnya lagi. Wanita itu mundur 2 langkah. Ethan malah tersenyum. "Tapi kita udah ketemu. Nih!" Ethan menyeringai puas. Danisa salah tingkah, tapi tak mau terlihat kalah. "Kalau begitu, sana pulang. Kamu ke sini mau ketemu aku, kan? Dan kita udah ketemu. Udah beres kan urusan kamu. Jadi, sana pulang!" Ethan kembali terkekeh. "Aku beberapa hari ini sibuk kerja. Dan malem ini aku nggak perlu lembur, makanya aku langsung ke sini. Aku kangen kamu, seenggaknya biarin aku lihat kamu minimal 1 jam. Kita bisa mengobrol dan melakukan banyak hal." Danisa menyipitkan mata beberapa saat, lalu menyeringai. "Aku nggak peduli sama perasaan kamu. Dan asal kamu tahu, yang capek kerja bukan cuma kamu. Kamu lihat sendiri, aku juga baru pulang kerja. Aku capek dan aku mau istirahat. Jadi, mending kamu pulang aja." Masih berusaha mengusir Ethan dengan kata-kata, Danisa tak ingin pria itu lama-lama di sana. "Gitu banget sih sama pacar sendiri, ngusir mulu dari tadi." "Pacar? Siapa pacar kamu?" "Danisa, kamu pacar aku!" "Sejak kapan aku setuju buat jadi pacar kamu?" "Aku nggak butuh persetujuanmu. Kita udah tukeran air liur, bukannya artinya kita pacaran? Apa kamu tukeran air liur sama orang asing? Nggak kan?" Danisa menganga. Dia tidak percaya dengan apa yang barusan dia dengar. "Aku nggak pernah tukeran air liur sama kamu. Kamu yang maksa nyium aku! Dan aku nggak akan biarin kamu lakuin itu lagi ke aku!" Danisa berkata dengan lantang, matanya membulat sempurna. Dia tidak peduli jika ada yang mendengar ucapannya selain Ethan dan dirinya sendiri. "Kamu yakin bisa nyegah aku buat nggak nyium kamu lagi? Gimana kalau aku bilang aku bisa nyium kamu kapan aja? Mau aku buktiin? Sekarang?" Ethan menantang, tatapan matanya amat tajam. Dia terlihat serius, begitu mengancam dan membuat Danisa ketakutan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD