bab 5

1424 Words
Danisa ketakutan. Bibirnya mengerut, lalu dia mengulum, mangap beberapa detik, dan lalu menutupnya dengan kedua tangannya. Dia salah tingkah. Bukan dia tidak suka pada Ethan, bukan pula dia tidak suka ciuman dari pemuda itu. Bagaimana pun dia adalah janda, secara alami tubuhnya merindukan sentuhan seorang pria. Namun, dia tidak akan jatuh dengan begitu mudah. "Kenapa? Kamu takut?" tanya Ethan dengan mimi wajah menakutkan. Sorot matanya itu yang sangat mengerikan, membuat Danisa ingin lari dari sana. Namun, mau lari ke mana Danisa? Sementara rumahnya ada di depannya. Di saat suasana sedang menegang, kedua manusia itu hanya saling tatap. Lalu, muncul suara langkah kaki. Keduanya menoleh, satu tersenyum lega dan satu menghela napas panjang karena kesal. "Ethan? Kamu tahu dari mana aku balik hari ini?" Suara Nando memecah ketegangan. Tampak santai, pria itu berjalan mendekat ke arah pintu kamarnya yang kini ada di belakang Danisa. Danisa mendekat ke Nando, tentu saja ia berusaha mencari perlindungan. Sementara pria yang merupakan sahabat Ethan itu sama sekali tak curiga dengan keberadaan 2 manusia itu di lorong apartemen. Ya, mereka memang sudah biasa seperti itu, mereka berteman cukup baik. Ethan menyeringai. "Udah selesai urusan kamu? Katanya mau lama, ini baru berapa hari kamu udah balik aja." Kecewa karena tidak bisa melancarkan aksinya ke Danisa, tapi dia cukup senang melihat kepulangan Nando. Nando sedang ada masalah, itu sebabnya Ethan selama ini sering datang ke apartemen temannya itu, tujuannya adalah untuk menemani sang sahabat. Namun, siapa sangka ia malah bertemu dengan wanita yang membuatnya jatuh hati. "Aku cuma ambil baju, juga ada barang yang ketinggal. Besok pagi aku balik ke sana lagi." Nando mencoba menjelaskan. "Emang kamu pergi ke mana? Ngapain?" tanya Danisa penasaran. Nando tersenyum. Karena Danisa berada di dekatnya, dia malah menyentuh rambut janda itu dan mengusapnya pelan. "Wanita nggak boleh tahu urusan pria. Bisa darah tinggi kalau ikutan mikir," ucapnya sambil tersenyum. Ethan naik darah. Dia tidak suka Nando menyentuh wanita yang dia sukai. Namun, dia tidak bisa berbuat apa-apa, dia memang belum mengatakan apa pun ke temannya itu. Danisa menghindar, sembari merapikan rambutnya yang sebenarnya juga tidak terlalu berantakan. "Apaan, sih? Orang cuma tanya doang. Tinggal jawab aja apa susahnya?" Ethan menggeser posisinya, mencoba memberi ruang agar Danisa bisa masuk ke dalam kamarnya. "Kalau cuma baju sama barang, kenapa nggak telepon aku? Aku bisa kirim, nggak perlu juga kamu jauh-jauh pulang." Ethan memperhatikan teman baiknya itu, memastikan temannya tampak sehat dan bugar. Ia amat peduli, karena mereka berteman sejak mereka kecil. Nando tersenyum. "Kenapa rasanya kamu kayak nggak suka ngelihat aku? Aku pikir kamu di sini mau ngerayain kepulangan aku, kenapa malah begitu?" "Ngerayain? Kayak kamu bakal di sini lama aja. Besok juga udah pergi lagi." Ethan tampak kesal. Beberapa kali dia melirik Danisa, tapi wanita itu sama sekali tak melihatnya. Karena tak mau Nando menyentuh Danisa lagi, Ethan berinisiatif meminta Danisa untuk masuk ke kamarnya saja. "Sana kalau mau masuk, nungguin apa kamu?“ Danisa menatap Ethan dengan tatapan sinis. Tak berhasil, Danisa malah mematung. Ethan tak ingin dibakar api cemburu, dia langsung menarik Nando agar masuk ke kamar dan meninggalkan Danisa di lorong. "Ayo masuk," ucap Ethan sambil merangkul pundak temannya. Sesaat setelah dia menutup pintu, Ethan melihat sahabatnya dengan sendu. "Kamu masih ada duit? Mau aku transfer?" "Kita udah sepakat, aku nggak akan berteman sama kamu lagi kalau kamu kasih-kasih aku uang. Apa kamu sudah lupa?" Ethan menatap sahabatnya dengan frustrasi. "Kalau begitu anggep aja hutang. Kamu bisa bayar nanti kalau udah ada uangnya." Nando menggeleng. "Aku nggak ada gambaran buat balikin duit kamu. Dan aku nggak nyaman kalau kamu begini. Kalau begini terus, aku beneran nggak mau ketemu kamu lagi." Ethan terlihat marah, tapi tak ada yang bisa dia lakukan. "Kita sahabatan, kita temenan dari kecil. Apa salahnya aku nolongin kamu? Aku ada uang, dan aku tahu kamu kesusahan. Kenapa kamu keras kepala sekali? Kamu anggep aku apa, sih?“ Nando duduk di ranjang, lalu menghela napas panjang karena lelah. Lelah dengan permasalahan hidupnya yang tak kunjung usai. Pria yang seumuran dengan Ethan itu dulunya juga dari keluarga kaya raya. Pada saat dia lulus kuliah, sang ayah meninggal dan menyisakan perusahaan untuk dikelolanya. Namun, 3 tahun lalu dia jatuh cinta kepada sekretarisnya. Wanita itu lalu menjadi kekasihnya selama 2 tahun lebih, hingga akhirnya menipunya dan mengambil semua harta miliknya. Perusahaan peninggalan ayahnya bangkrut, ibunya meninggal karena banyak tekanan. Lalu wanita yang dicintainya itu kabur, entah ke mana. Setelah tak punya apa-apa, Nando akhirnya memilih tinggal di rumah kos sepetak. Dibantu Ethan, pria itu akhirnya menemukan pekerjaan dan perlahan mulai bangkit. Lalu Nando memutuskan untuk tinggal di apartemen itu, dengan menyewa bulanan. Namun, ada beberapa saat ketika dia teringat mantan kekasihnya, dia akan hancur dan tak fokus kerja. Ethan benci itu, dia pernah melihat Nando berusaha mengakhiri hidupnya sendiri. Itu sebabnya Ethan berusaha selalu ada untuk temannya. Malam itu, setelah beberapa hari dia mencemaskan temannya, akhirnya dia bisa melihat kalau temannya baik-baik saja. "Kamu temen aku, Ethan." Nando tahu niat baik temannya. Namun, dia tidak ingin menjadi beban bagi siapa pun. Harga dirinya juga terlalu tinggi. "Sudah berapa kali kita berdebat karena masalah ini? Kamu cukup bantu aku cari pekerjaan, dan itu udah lebih dari cukup. Kita teman, tapi aku bisa sendiri, Ethan." Nando melanjutkan kalimatnya, mencoba meyakinkan Ethan kalau dia baik-baik saja. Ethan diam, dia masih marah. Namun, tak ingin terlibat pertengkaran dengan temannya, pria itu berusaha keras menahan amarahnya dan memilih membisu. "Lihat, aku sehat. Aku makan cukup, tidur cukup. Walau capek, nyatanya aku bisa ngehasilin duit dari keringatku sendiri. Kamu nggak perlu berlebihan, aku nggak akan ngulangin kesalahan yang sama." Kembali Nando berusaha meyakinkan Ethan. Ethan mengalah. "Kamu ya, aku suruh kerja sama aku nggak mau. Aku kasih kerjaan kantoran nggak mau juga. Malah milih kerjaan kasar. Dikasih pinjaman duit nggak mau, dibantu nggak mau. Rasanya aku nggak ada gunanya jadi temen kamu." Pria itu mengomel, dia lalu duduk di sofa. Nando tersenyum. "Kamu udah makan? Mau pesen makanan? Biar aku yang pesen, kamu yang bayar." Ethan terkekeh, lalu tertawa. "Kamu, ya! Bisa aja ngalihin pembicaraan!" "Kamu bilang mau jadi temen yang berguna. Bisa traktir aku makan juga itu udah berguna banget." 2 pria itu sudah berbaikan, lalu mereka makan dan mengobrol cukup lama. Setelah Nando tertidur karena kelelahan, Ethan keluar kamar. Namun, bukannya pulang, dia malah mengetuk pintu kamar Danisa. Janda itu sudah bisa menebak siapa yang mengetuk pintu kamarnya, sengaja dia membisu dan mematung. "Buka, atau kamu mau aku dobrak pintu kamar kamu?" Ethan bicara agak keras, dia berdoa semoga Nando tidak bangun dan tidak mendengar ucapannya barusan. Terus menggedor pintu kamar Danisa, Ethan pantang menyerah. Sampai akhirnya pintu kamar itu terbuka. "Mau kamu apa, sih? Sopan kah kamu gedor-gedor pintu aku di jam segini?" Danisa menunjukkan layar ponselnya, rupanya sudah jam 11 malam lewat. Ethan tak sadar, tadinya dia terlalu asyik mengobrol dengan Nando. "Kalau begitu biarin aku masuk, aku mau ngomong sama kamu." Danisa menyeringai. "Kamu pikir aku akan percaya?" Wanita itu tak membiarkan pintunya terbuka lebar. Hanya celah kecil saja, menyisakan ruang hanya untuk kepalanya. Dia berusaha agar Ethan tak masuk ke kamarnya. Ethan lelah, malam itu dia amat lelah. Dia menghela napas panjang dan lalu menempelkan tangan kirinya ke tembok. Badannya sedikit condong ke depan dan membuat Danisa ingin mundur saja. "Baiklah. Aku akan jujur. Aku nggak mau ngomong ke kamu, aku cuma mau cium kamu. Aku capek, beberapa hari ini kerjaanku banyak. Dan aku mau buruan pulang. Jadi, kasih aku ciuman dulu, baru aku pulang." Danisa mengerucutkan bibir. "Kamu pikir kamu siapa? Kamu bukan siapa-siapa aku? Enak banget ngomongnya!" "Aku pemilik bibir kamu!" Ethan berseru. "Dih! Kapan kamu beli bibir aku? Mana sertifikat yang menyatakan kalau kamu yang punya bibir aku?" Danisa mengecilkan volume suaranya, takut ada yang mendengar pembicaraan mereka karena mereka ada di lorong. Ethan tampak frustrasi, dia benar-benar lelah dan ingin segera tidur. "Ayolah, seenggaknya kasih kecupan aja. Sekali aja juga nggak apa-apa. Aku janji akan langsung pulang kalau kamu izinin aku kecup kamu." "Ethan," panggil Danisa dengan geregetan. "Aku bukan siapa-siapa kamu. Sekarang kamu pergi atau -" ucapan wanita itu terhenti ketika Ethan mendorong pintu kamarnya dan membuatnya mundur seketika. Untungnya dengan cekatan tangan Ethan menahan tubuh Danisa agar tak terjatuh. Dalam secepat kilat, pintu kamar sudah tertutup dan Danisa sudah berada di hadapan Ethan. Wanita itu bahkan tak bisa kabur, tubuhnya sudah dikunci Ethan dan dihimpit ke dinding kamar. "Aku nggak mau pacaran!" teriak Danisa saat Ethan mendekatkan bibirnya ke bibir wanita itu. Sontak saja Ethan menghentikan aksinya. "Aku janda, dan aku nggak mau main-main. Kalau kamu serius sama aku, nikahi aku." Danisa melanjutkan kalimatnya setelah Ethan menatapnya dengan lekat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD