Kulihat arloji berwarna merah muda yang kusematkan di pergelangan tangan kiriku. Arloji pemberian mendiang suamiku, kini sudah menunjukkan pukul delapan lewat tiga puluh pagi.
Huft ...
Sudah setengah jam lebih aku duduk di sini tanpa semangat. Menatap layar komputer tanpa berbuat apapun. Aku sungguh tidak bersemangat.
Tiba-tiba ada pesan w******p masuk.
“[Pagi Windy manis, lagi apa nich, abang gak mengganggukan?].” Pesan dari Anto.
Ah ...
Begitu malasnya aku membalas pesan itu. Aku letakkan kembali gawayku tanpa membalas pesan dari Anto, sungguh aku tidak bersemangat hari ini.
Tiba-tiba ponselku berdering, ada panggilan vidio. Dari siapa lagi kalau bukan dari Anto. Aku merasa sangat tidak nyaman, bahka lebih tepatnya sangat risih. Kubiarkan ponsel itu berdering, aku hanya mematikan nada deringnya saja.
Ini sudah yang ke empat kalinya ponselku berdering, akhirnya aku angkat juga karena sungguh aku tidak nyaman dan ingin segera mengakhirinya, walau belum dimulai.
“Hai Windy.” Terlihat Anto dari seberang sana dengan senyum merekahnya.
“Ya, ada apa vidio call pagi-pagi, Bang. Maaf Windy sedang di kantor,” jawabku sekenanya.
“Iya, maaf kalau abang mengganggu. Abang hanya ingin melihat Windy, minggu depan kita keluar ya.”
“Lihat nanti ya bang, kalau Windy tidak ada kegiatan. Maaf, Windy harus kerja. Nanti ditegur sama atasan.” Aku mencari-cari alasan agar segera mengakhiri panggilan vidio itu.
“Baiklah, hati-hati ya di sana.”
Aku segera mematikan ponselku tanpa membalas sapaan terakhir Anto.
Diruangan berukuran empat kali empat meter ini, aku biasanya berdua dengan Vivi, rekan kerjaku. Namun hari ini Vivi izin, sehingga hanya aku sendiri dalam ruangan ini. Ruangan demi ruangan di kantor tempatku bekerja disekat oleh lapisan kaca dan diberi stiker kaca sekitar satu meter dari bawah. Jadi apapun aktifitas karyawan dalam ruangan akan terlihat dari luar ruangan. Apalagi posisi mejaku tepat menyamping ke dinding bagian luar, jadi apapun yang aku kerjakan akan terlihat jelas dari luar.
Aku kembali menatap layar komputer dengan tatapan kosong. Bahkan komputer itu masih menampilkan layar desktop, berarti aku belum menyentuh file apapun sedari tadi. Kepalaku memang cukup pusing hari ini, aku tidak enak badan.
“Kenapa Windy, apa kamu kurang enak badan?” Seseorang menyapa dari pintu ruangan. Aduh, kenapa aku teledor tidak menutup dulu pintu itu.
“Ma—maaf pak, Bapak sejak kapan ada di sana?” Kataku cukup gugup.
Pria itu masuk dan duduk di depanku. Di depan meja kami masing-masing memang disediakan satu bangku kosong.
“Sudah dari tadi,” jawabnya singkat.
“Owh ....” Entah mengapa kali ini rasanya agak berbeda dari biasanya. Sungguh ini bukanlah kali pertama aku hanya berdua saja dalam satu ruangan dengan pria ini. Tapi kali ini entah setan apa yang menganggu pikiranku.
Hari ini suasana kantor memang cukup sepi. Direktur sedang pergi ke Belanda, menyusul istrinya yang sedang menempuh pendidikan S2 disana. Wakil Direktur sedang pergi keluar kota. Kantor tempatku bertugas hanya terdiri dari enam buah ruangan, dua ruangan besar untuk Direktur dan wakil Direktur dan empat lainnya ruangan kecil. Di bangunan ini khusus untuk Bagian project saja, sementara bagian lainnya ada dalam gedung lain yang terpisah. Di masing-masing gedung ada pantry dan ruang fotocopy tersendiri.
Jadi gedung bagian project memang sering sepi jika karyawannya sedang dinas luar. Bisa jadi ke lapangan, atau ke kantor PU atau juga ke kantor Konsultan.
“Sudah hampir jam sembilan, kenapa Windy masih melamun? Lagi jatuh cinta ya?” Pak Irfan menggodaku dengan tawanya.
“Apa maksud bapak?” Aku berusaha santai, walau sebenarnya hatiku tak mampu lagi kukendalikan. Pria ini seperti memagnet jantungku.
“Yang VC tadi itu pacarmu ya? Abang kira Windy tidak akan mau punya pacar.”
“Owh ... Bapak menguping?” Ternyata tanpa kusadari sedari tadi pak Irfan memperhatikanku dari luar.
“Maaf ... tadi sebenarnya abang mau ke sini, mau minta dokumen MC, tapi abang lihat Windy lagi VC dengan seseorang. Jadi abang tunggu dulu, takut menganggu.” Aku memperhatikan wajah Pak Irfan dan kulihat ada segurat kekecewaan di sana.
“Bapak salah paham, dia bukan siapa-siapanya Windy kok. Udah tua gini mana sempat pacaran. Tidak ada ya dalam kamus Windy yang namanya pacaran.” Aku mulai mencair. Degup jantungku mulai bisa kukendalikan.
“Masa?” Pak Irfan seperti menatapku begitu dalam.
Cobaan apa lagi ini, di saat aku mulai mampu mengendalikan degup jantungku. Tatapan pak Irfan malah membuat kedua pipiku memerah dan irama jantungku kembali tak mampu kukendalikan.
“Mukamu memerah.” Pak Irfan tersenyum.
Aku langsung memalingkan wajah, berusaha mencari dokumen MC yang diminta pak Irfan tanpa berkata apapun lagi.
“Kak Ita sudah memasukkan gugatannya ke pengadilan, dan tanggal tujuh belas adalah hari pertama sidang perceraian kami. Abang sudah dikirimi surat panggilan.”
Spontan, perkataan pak Irfan menghentikan langkahku mencari dokumen yang dimintanya tadi. Aku kembali menatapnya tanpa berbicara sepatah kata pun.
“Dua minggu dari sekarang, abang harus mempersiapkan diri untuk sidang pertama. Abang gak tau harus berbuat apa.” Pak Irfan meletakkan sikunya ke meja dan kedua telapak tangannya menyeka wajah dan menyugar rambutnya berulang kali.
Aku masih mematung.
“Apa yang harus abang lakukan, Windy?”
“Maaf bang, abang harus bisa mempertahankan rumah tangga abang, bagaimanapun caranya. Kasihan Kenzo, dia yang akan sangat terluka oleh perceraian itu jika saja itu terjadi.” Aku berusaha memberikan jawaban yang bijak.
“Abang maunya juga begitu, tapi tidak dengan Istri abang. Kak Ita ngotot meminta perpisahan ini. Abang mengira dia sudah punya pria idaman lain.” Pak Irfan mengalihkan pandangannya ke jendela yang memang langsung berpapasan dengan taman.
“Maaf, bapak tidak boleh menduga-duga seperti itu. Nanti malah jadi fitnah kalau gak benar.” Aku menjawab sembari masih mencari dokumen yang beliau minta.
“Windy yakin, bapak pasti kuat. Pria seperti bapak ini gak mungkin lemah, iyakan?” Aku berusaha tersenyum untuk menghibur pak Irfan sembari memberikan berkas MC.
“Sebenarnya aku tidak membutuhkan ini, Windy.” Pak Irfan tiba-tiba bangkit dari duduknya dan tidak sengaja menyenggol lenganku yang membuatku hampir terjatuh. Namun dengan cepat dan spontan tangannya mengenggam dan menarik tanganku hingga membuatku berada dalam pelukannya.
Dengan cepat aku melepaskan diri. Namun irama jantungku kian hebat dan mukaku semakin merona. Ada apa ini?
“Ma—maaf Windy, abang tidak sengaja. Abang reflek, hanya ingin membantumu agar tidak terjatuh.” Pak Irfan tampak gugup dan segan.
“I—Iya pak, Windy mengerti.” Aku tak berani menatap pak Irfan karena aku yakin wajahku sangat merah saat ini.
“Baiklah, Abang tinggal dulu. Ada yang mau abang urus kekantor PU. Hati-hati sendirian di sini, nanti ada yang ngikutin.” Pak Irfan kembali menggodaku dengan tawanya.
“Windy ....” Pak Irfan menghetikan langkahnya sejenak.
“Ya pak.” Jawabku sambil menatap pak Irfan.
“Mukamu merah, pakai blush on nya jangan ketebalan ya.” Pak Irfan berlalu sambil tersenyum.
Aku refleks menutupi wajah dengan kedua tanganku. Aku begitu malu. Aku sama sekali tidak menggunakan blush on, dan pak Irfan tau itu. Namun terkadang reaksi tubuh tak mampu untuk berdusta.
Kejadian pagi itu berhasil membuat aku gelisah. Aku tak mampu lagi menutupi perasaanku pada pria beristri yang bernama Irfan itu. Namun statusnya sebagai pria beristri tentu saja menjadi benalu bagiku. Kembali, aku tak ingin disebut sebagai pelakor.
Walau keutuhan rumah tangga pak Irfan akan dipertaruhkan di meja pengadilan. Namun aku tidak ingin memanfaatkan kesempatan itu untuk kepentinganku sendiri. Dilema, itulah yang aku rasakan.