POV Irfan
Entah apa yang saat ini aku pikirkan, aku benar-benar kacau. Dua minggu lagi adalah sidang pertama perceraianku dengan Ita—istriku. Namun aku masih belum tau harus berbuat apa.
Jujur saja aku memang sudah tidak sanggup lagi mempertahankan rumah tangga yang sudah terbina lebih dari empat belas tahun ini. Empat tahun belakangan Sikap Ita memang mulai berubah, semenjak dia lulus sebagai Pegawai Negeri Sipil di salah satu intansi di kota ini. Dia mulai tidak acuh terhadap keluarga, terutama terhadapku sebagai suaminya.
Aku menduga dia mulai memiliki pria idaman lain, tapi aku tidak memiliki cukup bukti. Ini semua juga salahku, karena baru dua tahun belakangan aku menetap di kota ini. Selama lebih dari enam tahun aku meninggalkan Ita dan Kenzo karena aku harus bekerja di luar pulau. Pulang hanya ketika hari raya Idul Fitri.
Mungkin selama ini Ita kesepian, yah mungkin saja. Namun semenjak aku menetap disini, aku sudah berusaha merubah semuanya. Aku sudah berusaha menebus semua kesalahanku, aku berikan perhatian dan segalanya pada Ita. Namun ada saja yang diperdebatkan setiap hari.
Begitu banyak yang aku pikirkan, proyek yang di Agam juga menyita waktu, pikiran dan tenagaku. Jika saja ini adalah Irfan yang dulu, maka aku sudah akan berada di club malam. Menghabiskan malam dengan minuman dan wanita.
Ah ...
Aku kembali tercenung menatap jalanan yang sedikit basah. Aku menyetir mobil dengan kecepatan sedang, tanpa arah dan tujuan.
Ita tidak sepenuhnya salah. Mungkin ia sudah tidak percaya lagi padaku. Karena Irfan yang dulu memang memiliki kebiasaan buruk, bahkan sangat buruk. Tapi seharusnya dia menghargai usahaku untuk berubah. Atau mungkin dia memang sudah punya cinta yang lain?
Tiba-tiba sosok seorang wanita yang lembut dan tenang merasuki otakku. Windy, ya wanita itu adalah Windy. Dia memang berhasil mencuri perhatian dan sebagian hatiku, bahkan hampir semua. Karena jujur saja, sikap Ita cukup untuk membuatku hilang rasa.
Jika tidak karena Kenzo, maka aku sudah menerima permintaan cerainya sejak dua tahun yang lalu. Keras kepala Ita dan sikap tenang dan santun Windy, membuatku semakin yakin untuk mengakhiri pernikahan ini. Namun lagi-lagi, Kenzo menjadi pertimbangan.
Braakkkk ...
Apa itu tadi yang aku tabrak.
Aku segera turun dari mobil dan melihat apakah yang tadi aku tabrak. pikiran yang kacau membuatku tidak fokus melihat jalanan.
Owh, Alhamdulillah, untung hanya sebuah plank proyek.
“Hai, Pak Irfan.” Tiba-tiba ada seorang yang memegang bahuku dari belakang.
“Hai, pak Sony. Owh ... maaf pak, saya tadi tidak fokus menyetir sehingga merusak plank proyek. Nanti akan saya suruh anggota untuk menggantinya.” Aku menyalami pria yang menyapaku. Dia Pak Sony, Supervision Engineer di Proyek Jembatan yang sedang aku lalui saat ini dan juga proyek yang sedang aku tangani.
“Ah, pak Irfan, santai saja. Biar anggota pak Zul saja nanti yang memperbaiki.” Pak Zul yang merupakan Kepala proyek jembatan ini tampak menghampiri kami.
“Hai Pak Irfan, gimana kabarnya sehat.” Pak Zul menyalamiku.
“Sehat pak. Wah, lancar ya proyek pak Zul. Maaf kalau saya sudah merusak plank, nanti saya akan—.” Belum selesai aku bicara, pak Zul langsung memotong.
“Biasa sajalah pak Irfan, nanti si Joko bisa koq memperbaiki. Pak Irfan ini terlalu formal saja. Kita minum dulu di sana ya.” Pak Zul menawarkan mampir ke salah satu kedai kopi tidak jauh dari proyek tersebut.
“Baiklah.”
“Ngomong-ngomong pak Irfan mau kemana nih, kenapa sampai tidak fokus nyetir mobilnya.” Pertanyaan pak Sony cukup membuatku bergidik karena aku memang tidak memiliki arah dan tujuan.
“Rencana mau menemui bapak, membahas masalah proyek kita yang di Agam, tapi malah ketemu bapak di sini. Ini yang di namakan jodoh mungkin pak, hahaha.” Aku berusaha mencair.
“Kenapa Pak Irfan tidak telpon dulu, biasanya pasti pak Irfan menelepon dulu sebelum bertemu.”
“Tadi buru-buru pak, tidak sempat nelpon. Tapi ya sudahlah, kita sudah bertemu di sini. Ayo kita ngobrol sambil ngopi-ngopi.” Aku berjalan menuju kedai kopi bersama pak Sony dan pak Zul sambil sesekali memegangi bahu pak Sony.
Pertemuanku dengan Pak Sony yang tidak direncanakan sama sekali dan obrolan ringan di warung kopi, ternyata mampu mengalihkan pikiranku yang kusut. Setidaknya untuk sementara aku bisa sedikit lega.
-
-
-
-
POV Windy
Hari ini aku pulang lebih dulu dari biasanya, karena badanku semakin tidak sehat. Kepalaku pusing dan sedikit demam. Aku sudah izin ke bagian HRD dan sudah menghubungi pak Irfan lewat pesan w******p.
“[Windy, tungggu abang. Abang akan mengantar Windy pulang, abang sudah tidak jauh dari kantor].” Pak Irfan membalas pesanku.
“[Tidak perlu pak, Windy masih bisa bawa motor sendiri koq. Lagipula dari sini mau langsung ke klinik. Terimakasih].” balasku.
“[Tunggulah sebentar saja, abang akan mengantar windu ke klinik juga. Nanti terjadi apa-apa denganmu bagaimana?].” Pak Irfan bersikeras menyuruhku menunggunya.
“[Maaf pak, lain kali saja. Lagipula Windy masih kuat kok. Hanya sedikit pusing saja, belum pingsan (emoticon tertawa)].”
“[Baiklah, hati-hati. Kalau perlu apa-apa jangan sungkan untuk menghubungi abang].”
“[Ya, Terimakasih (Emoticon senyum)].”
Jam sudah menunjukkan pukul dua siang, aku segera beranjak meninggalkan kantor menuju parkiran motor. Sebenarnya aku tidak yakin cukup kuat mengendarai motor sendiri, tapi aku tidak ingin merepotkan siapapun. Apalagi harus merepotkan Irfan.
Kring... Kring... Kring...
Baru saja aku sampi di pekarangan klinik, ponselku berdering, ada panggilan dari pak Irfan.
“Windy sedang di mana?” pak Irfan langsung bicara seketika setelah aku mengangkat telepon. Aku bahkan belum mengucapkan salam pembuka.
“Baru sampai klinik pak, ada apa?”
“Enggak, mau memastikan saja kalau kamu tidak kenapa-kenapa.” Perkataan pak Irfan membuat jantungku berdebar.
“Alhamdulillah, Windy baik-baik saja kok pak. Bapak terlalu berlebihan.”
“Ya sudah, hati-hati ya. Jangan lupa diminum obatnya agar besok bisa ngantor. Jangan kelamaan bolos kerja.”
“Siap bos ...!!”
Pak Irfan pun mengakhiri panggilan suara ini. Aku cukup tersanjung diperhatikan oleh seseorang disaat aku memang butuh semua itu. Pak Irfan berhasil mencuri hatiku.
Di rumah belum ada siapapun, Dian dan Rian pasti masih kuliah. Sementara Langit dan Mentari jam segini masih di sekolah mereka. Aku langsung menghampiri meja makan, mengambil segelas air dan meminum obat yang diberikan dokter di klinik tadi. Setelah itu aku langsung merebahkan diri keatas ranjang tanpa terlebih dahulu melepas jilbab dan kaus kaki. Akupun terlelap.