Tak terasa sudah satu jam kami disini, dan obrolan ini lebih banyak didominasi oleh ocehan bang Anto. Sementara aku lebih banyak diam. Sesekali dia menggombal, aku hanya menanggapi dengan senyuman. Selama satu jam itu, tak ada sekali pun bang Anto menanyakan mengenai anak-anakku. Dia hanya menanyakan seputar pekerjaanku, rumahku dan bengkel teralis peninggalan bang Dika. Dia juga mengatakan kurang menyukai wanita yang berpakaian terlalu tertutup seperti yang kukenakan saat ini.
“Dek Windy sudah lama berpakaian seperti ini, apa tidak panas dan risih. Sebab jilbabnya terlalu besar dan biasa,” kata bang Anto mengkritik cara berpakaianku.
“Sudah cukup lama bang, Windy nyaman koq bahkan kekantor Windy kayak gini juga,” jawabku.
“Kenapa gak yang biasa-biasa saja, seperti orang kebanyakan. Kalau seperti ini terkesan sok alim.”
Entah kenapa perkataan sok alim itu begitu mengena di hatiku. Aku semakin tidak menyukai pria yang ada di hadapanku ini. Tidak pernah selama ini pria mana pun mengkerdilkan cara berpakaianku. Bahkan mereka malah menjaga sikap dan perkataan mereka kepadaku, setidaknya mereka menghargai pakaianku.
Beruntung, Mentari tiba-tiba menghampiriku dan memintaku untuk pulang. Hari memang sudah menunjukkan pukul delapan lewat lima puluh malam, sudah saatnya Mentari tidur. Bahkan ketika Mentari sudah berada di pelukanku, pria ini tak menegur anakku sama sekali. Aku melihat dari sudut mataku, sepertinya dia tidak menyukai anak-anakku.
Akhirnya aku pamit kepada mama dan papa. Aku tetap menyuruh Mentari dan Langit bersalaman dengan bang Anto. Dan kami pun berpisah disini karena jalan pulang kami berlainan arah.
-
-
-
-
-
Baru saja lima menit tubuhku terbaring di tempat tidur, aku mendengar ada pesan masuk ke ponselku.
“[Malam windy manis, windy sudah tidurkah? Abang menganggu ya].” Begitulah bunyi pesan itu.
“[Maaf, ini siapa?],” balasku.
“[Ini bang Anto, masa Windy sudah lupa. Minggu depan abang mau ajak Windy jalan, bisakan?].”
Huft ...
Aku begitu malas menerima tawaran pria ini. Apalagi pesan pembukanya sungguh tidak kusukai. Namun sesaat aku teringat bisikan mama sebelum aku pulang tadi.
“Windy, nanti kalau Anto ada ajak Windy jalan keluar, Windy jangan menolak ya, antan berpesan tadi ke mama, coba berkenalan dulu.” Begitulah bisik mama tadi.
“[Lihat nanti ya bang, kalau Windy gak ada kerjaan].” Selang beberapa menit aku pun membalas pesan itu.
“[Ya, abang harap windy tidak menolak, abang ingin berkenalan lebih jauh dengan Windy].”
“[Ya],” jawabku singkat
“[baiklah, selamat beristirahat (Emoticon ciuman love)].”
Aku tidak membalas lagi pesan itu, aku semakin risih melihat emoticon yang bang Anto kirimkan. Segera aku hapus chat itu dari ponselku, takut nanti dilihat anak-anak.
Pagi ini aku bangun dengan sedikit tidak bersemangat. Selain memikirkan proyek yang belum jelas penyelesainnya, aku pun dibuat risih oleh pertemuan dengan bang Anto semalam. Bagaimana mungkin antan menjodohkanku dengan pria seperti Anto itu. Memang antan tidak secara gamblang menjodohkanku dengan bang Anto, namun perkataan antan yang sedikit memaksa kuartikan sebagai sebuah perjodohan.
-
-
-
-
-
Aku sepertinya sedikit kurang enak badan. Rasanya mau libur kerja hari ini, namun tiba-tiba aku kepikiran pak Irfan yang dalam kondisi seperti ini pasti sangat butuh bantuanku sebagai administrasi proyek.
Kenapa tiba-tiba aku memikirkan pak Irfan? Apa benar aku cuma khawatirkan pekerjaan? Atau jangan-jangan aku sudah?
Ah, segera kutepis pikiran itu. Secara fisik dan kepribadian, wajar saja wanita normal sepertiku terpikat dengan lelaki seperti pak Irfan. Apalagi sikap dan perhatiannya terhadapku yang tidak wajar selalu membuat jantungku berdebar setiap berada di dekatnya.
Namun kenyataanya pak Irfan bukanlah pria single yang pantas untuk aku dekati. Dia pria yang sudah beristri. Jangan sampai aku disebut sebagai “pelakor” karena bagiku panggilan itu sangat memalukan.
Kuhela napas panjang, kepalaku bertambah sakit ketika memikirkan semua ini. Adzan subuh sudah berkumandang dan aku masih duduk di kasurku. Begitu malas untuk bangkit dari kasur ini. Kebetulan hari ini aku sedang tidak shalat, dan kemarin sore Dian sudah memasak untuk kami. Jadi tidak ada alasanku untuk bangkit dari tempat tidur secepat ini.
Kulihat di sebelah kanan Mentari masih terlelap dengan wajah imutnya. Aku tersenyum memadangi wajah gadis kecil yang kini sudah berusia lima setengah tahun itu. Kuusap kepalanya dengan sangat lembut dan kukecup keningnya. Tak terasa tetesan bening keluar dari kedua mataku.
Aku jadi teringat bagaimana setiap saat gadis kecil ini selalu menggigau dalam tidurnya. Dia selalu memanggil-manggil abynya.
By ... nanti kalau aby pulang kerja belikan Mentari kue yang enak-enak ya, Ceracauan seperti itu sering keluar dari bibir kecilnya ketika tidur.
Tari sayang aby ... Aby jangan tinggalin Tari ....
Aku beberapa kali mendapati Mentari menggigau seperti itu sembari tangannya seperti menggapai-gapai seseorang sementara matanya masih terpejam.
Owh ...
Sungguh, netra ini tidak kuasa menahan derasnya aliran bening yang keluar begitu saja.
Secara naluriah, ingin rasanya aku cepat-cepat menikah lagi agar kekosongan itu segera terisi. Terutama untuk anak-anak dan khusunya untuk Mentari. Aku ingin dia menemukan kembali sosok abynya yang hilang. Yang bisa menyayangi dan mencintainya sama seperti ayah kandungnya.
Tiba-tiba pintu kamarku diketuk oleh seseorang yang membuatku terkejut dan tersentak seketika.
“Assalamu’alaikum my, boleh Langit masuk?”
“Wa’alaikumussalam ... ya sayang, masuklah,” jawabku.
“Ummy sudah bangun, Langit kira ummy belum bangun. Ummy menangis lagi?” tanya Langit sembari mengusap lembut kedua pipiku yang masih basah dengan air mata.
“Eh.. tidak sayang, tadi mata ummy kepedihan,” kataku berbohong sembari mengusap kedua wajahku dengan kain yang ada di sebelahku.
“Ummy jangan bohong, kata ustadzah Langit, apapun alasannya kita tidak boleh berbohong. Karena Allah murka dengan hamba yang suka berbohong.”
Seketika aku memeluk Langit. Entah mengapa perkataanya membuatku merasa bersalah sudah membohonginya.
“Ada apa Langit kekamar ummy sepagi ini, Sayang? Apakah Langit sudah shalat? Bang Rian dan Kak Dian apa sudah bangun dan shalat?” tanyaku.
“Biasanyakan ummy jam segini sudah sibuk di dapur atau di luar kamar. Tapi pagi ini ummy belum kelihatan padahal udah hampir jam enam. Langit kira ummy kenapa-kenapa, mungkin sakit?” jawabnya sambil memegangi kedua tanganku.
“Owh, iya hari ini ummy lagi gak shalat, dan kemarin sorekan kak Dian sudah masak untuk kita, jadi ummy masih mau bersantai di kamar.”
“Alhamdulillah, syukur kalau ummy baik-baik saja. Langit mandi dulu ya my. Oiya, kak Dian dan Bang Dedek udah bangun, udah shalat juga, sekarang mereka sedang main HP,” jawab Langit sembari berlalu.
Akupun juga segera beranjak kekamar mandi yang ada di dalam kamarku untuk bersiap-siap berangkat ke kantor. Setelah selesai membersihkan diri, aku pun membangunkan Mentari.