Kehidupan Kedua Istri Yang Tertindas (8)

1131 Words
“Iya, Nona.” Bibi Nam pun menatap nona mudanya dengan penuh tanda tanya. Mengernyitkan dahi, memikirkan sebuah jawaban, sayanya tak kunjung bibi Nam temukan. Hingga memilih untuk menyerah karena terlalu rumit ketika ingin memahami. “Bawa sini makanannya, nanti saya akan memakannya.” Seketika Namera pun mengambil nampan tersebut dari tangan bibi Nam, karena ia tidak mau membuat sedih seseorang. “Bukannya Nona—.” “Biarkan berada di dalam sini, Bi.” Namera memotong kalimat tersebut dengan cepat. “Baiklah.” Akhirnya bibi Nam pun menurutinya dan membiarkan Namera mengambil nampan tersebut. “Bibi boleh melanjutkan pekerjaan lagi,” ujar Namera. “Non, maaf.” Seketika Namera mengernyitkan dahinya. “Maaf karena bibi tidak bisa menemani Nona, lalu pada akhirnya tuan memarahi Nona.” Terlihat jelas wajah penuh bersalah menghiasi pandangan Namera. “Jangan merasa bersalah, bukankah itu semua sudah menjadi hal yang biasa. Jika lelaki itu tidak marah, maka rumah terlihat layaknya tak berpenghuni.” Namera menjawab dengan seulas senyuman. “Bibi sungguh merasa bersalah, Nona.” Bibi Nam sepertinya masih belum bisa melupakannya hingga kata maaf terus terucap. “Bi, aku sudah katakan. Bibi tidak perlu merasa bersalah karena memang bukan salah Bibi,” ucap Namera menjelaskan. “Kalau begitu saya permisi.” Bibi Nam pun akhirnya pergi karena sudah tidak ada yang perlu dikatakan pada nona mudanya itu. Sedangkan di lain tempat. “Lelaki seperti apa dia, bisa-bisanya berkata kasar pada istrinya yang baru pulang dari rumah sakit? Apa suaminya punya kepribadian ganda sampai-sama matanya buta?” dalam hati dokter Sky pun bertanya-tanya karena merasa kasihan pada Namera, yang sepertinya tertekan dengan hubungannya bersama sang suami. Saat ini pun, dokter Sky tidak benar-benar fokus dalam bekerja, karena isi kepalanya sudah dipenuhi oleh Namera, pasien di rumah sakit tempat dirinya bekerja, dari pertama wanita itu di rawat beberapa kali, dokter Sky lah yang merawat. Namun, dulu tidak sedekat sekarang yang lebih banyak berentraksi. “Sayang sekali, andai pasien itu adalah istriku. Maka dengan bangga aku memilikinya karena kecantikannya yang alami,” lirih dokter Sky di mana di meja kebesarannya lelaki itu tengah berkhayal menjadi suami dari Namera, bermimpi setinggi langit dan mustahil untuk diraih. Namun, khayalan tinggal khayalan yang hinggap di pikiran dokter Sky dan tidak tahu, apakah hal itu mungkin akan terjadi? Tetapi penuh dengan harapan yang tinggi dokter berdoa pada Tuhan dengan begitu, siapa tahu di dengarnya. “Ah sudahlah, bisa gila kalau begini caranya.” Akhirnya dokter pun menyerah dengan pikiran gilanya itu, biar bagaimana juga Namera telah berbeda status dengannya. Lelah dengan semuanya, dokter pun memilih untuk pergi menemui seseorang, siapa tahu dengan begitu dirinya menemukan jalan keluar agar dirinya tidak semakin tersesat. “Baiklah, saatnya pergi.” Lantas dokter pun meletakkan baju kebesarannya dan segera meninggalkan ruangan tersebut. Kembali di kediaman Aril. Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore, Aril pun dah berada di rumah. Tidak lupa untuk memberitahu Namera soal ayahnya yang sempat menghubunginya sewaktu di kantor. Terlihat juga Mely tengah berada di ruang tamu dan melihat suaminya dengan pakaian kusut. “Mas, kamu kenapa?” tanya Mely ketika melihat Aril. “Keluargaku telepon.” Secara tidak jelas, Aril mengatakan. Hal itu juga membuat Mely dibuat penasaran dengan yang terjadi. “Apa ada masalah yang serius?” tanya Mely lagi, lantas tangannya mulai bermain-main di pundaknya. “Aku harap kamu tidak lupa dengan hari, serta tanggal saat ini.” Jawab kembali Aril dan Mely pun seketika menghentikan jari-jarinya yang semula terus merayap. “Lantas apa rencanamu untuk nanti malam? Aku harap semua akan berjalan lancar karena tahun-tahun sebelumnya istri kamu telah membuat masalah,” ujar Mely yang mana masih mengingat tentang acara ulang tahun waktu itu. “Itu yang aku takutkan sekarang, kamu pun tahu bagaimana Namera yang sekarang.” Dengan helaan napas berat, Aril pun mengungkapkan dan hal itu juga membuatnya terpaksa harus memukulinya pada saat sampai di rumah. “Ancam wanita itu agar tidak membuat malu.” Kata Mely memberi saran. “Aku akan istirahat sebentar karena lelah, jangan ganggu aku karena saat ini pikiranku sedang kacau.” Setelah mengatakan hal tersebut, Aril pun meninggalkan Mely seorang diri. Sedangkan untuk dirinya sendiri kini sudah berada di lantai atas. “Harusnya aku yang ada di sana, bukannya wanita b*doh itu.” Dengan rasa kesal, Mely pun merasa frustrasi karena selama pernikahannya dengan Aril harus disembunyikan, lantas sekarang ia harus melihat jika yang akan datang ke pesta adalah Namera sebagai pasangan suami istri. “Harusnya waktu itu Namera mati karena sudah koma selama lebih dari dua minggu, tetapi sekarang malah kembali membuat masalah dan aku harus menunggu yang entah sampai kapan akan berakhir.” Marah, tentu. Kecewa, itu yang dirasakan oleh Mely, karena selama pernikahannya belum pernah diajak oleh Aril dalam setiap acara. Malam yang dinanti-nanti telah datang dan Aril pun menyuruh Namera untuk segera mengenakan gaun kiriman dari mertuanya, pada saat Namera menuruni anak tangga. Mata Ariel bak ingin lompat dari tempatnya. Tidak dipungkiri jika kali ini penampilan Namera sungguh luar biasa, dari yang awalnya memakai kaca mata tebal, hingga makeup mirip badut, tetapi hati nurani Aril tidak bisa berbohong. “Ekhem ... apa kamu sudah mulai jatuh cinta padaku, Tuan. Sampai-sampai air liurnya ingin jatuh di lantai,” ucap Namera tiba-tiba dan Ariel pun dibuat gugup dengan pernyataan yang diberikan pada Namera baru saja. “Jangan bangga dengan kalimat itu, karena sampai kapan pun. Seorang Aril tidak akan jatuh cinta pada wanita sepertimu!” ucap Aril yang kini sudah berubah menjadi seekor elang yang siap menangkap mangsanya. “Cih, apa hati dan mulut memang bertolak belakang.” Suara lirih dari Namera membuat Aril menatap tajam, karena telinganya cukup sempurna untuk pendengaran walau hanya bergumam lirih. “Ingat, seorang lelaki sepertiku tidak akan menelan ludahnya sendiri. Jadi, jangan harap hal itu terjadi.” Dengan tatapan antara kagum dan marah, Aril pun membalas ucapan dari istrinya kini. “Jika benar, bisakah kita berangkat sekarang. Kakiku sudah mulai kram dan bisa jadi nanti tidak berfungsi,” ujar Namera karena sepatu hak tinggi membuatnya sungguh tidak nyaman. “Bukankah sudah kebiasaanmu untuk memakai itu, lantas kenapa sekarang mengeluh. Ah ... atau mungkin kamu memang tidak bisa lepas dariku dan sebelum hari itu datang, kamu berusaha meraih hatiku.” Aril sengaja mengatakan karena ia yakin mau semarah apa, jika Namera tidak akan pergi dari hidupnya . “Sepertinya aku lupa untuk itu.” Jawab Namera dengan gelagapan, karena ia tidak menyangka kalau dirinya adalah tukang koleksi ???? ????? dan tas yang menurutnya begitu sangat menjijikkan. Namera pun tidak bicara lagi karena takut jika mulutnya tidak bisa di kontrol lagi, belum saatnya untuk mengetahui siapa dirinya saat ini. Meski tubuh yang sama, tetapi ada beberapa hal membuat orang-orang disekitarnya menganggap dirinya adalah wanita g*la. Sepanjang perjalanan hanya diam, tidak ada kalimat yang dikatakan oleh mereka berdua, entah apa yang terjadi hanya merekalah yang tahu.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD