Kehidupan Kedua Istri Yang Tertindas (9)

1097 Words
“Sesampainya di tempat, jangan membuat mukaku terbuang.” Aril pun buka suara, meski kenyataannya Namera tidak mendengarkan karena ia takut kejadian dimasa lalu terulang lagi. “Ingat, apa yang aku katakan barusan berharap jika kamu tidak tuli.” Aril pun menambahkan lagi. “Siapa yang akan membuat ulah, jika diperbolehkan, Aku ingin sekali pergi tidur dan berkelana di alam mimpiku.” Sebuah jawaban membuat Aril diam, memikirkan akan kata tersebut dan mulai mengingat kalimat yang terdahulu. Biasanya Namera akan merengek untuk ikut, tetapi hal mustahil baru saja ia dengar. “Ril, aku janji tidak akan membuat masalah, tolong biarkan aku masuk.” Ucapan Namera dikala itu dan masih segar diingatan Aril saat ini dan yang membuatnya aneh, justru Namera tidak tertarik untuk ikut. Padahal di acara tahun lalu, suami dari Namera telah kehilangan muka di hadapan para kolega karena membuat ulah di prasmanan. “Aku berharap jika kamu akan terus begini agar tidak menimbulkan masalah.” Ucapan yang terlontar dari mulut Aril membuat Namera diam dengan seribu bahasa, tapi tahukah jika saat ini dirinya tengah menahan emosi. “Aku tidak akan berubah karena aku adalah aku, bukan Namera yang dulu.” Jawab Sharen di dalam hati dan memilih tidak menanggapinya. Tidak lama kemudian, sebuah rumah bak istana di negeri dongeng yang begitu megah. Ruag dengan hiasan lampu indah telah menghiasi pelataran. Taman indah di depan mata, mampu menghipnotis mata telanjang dari sang pemilik yang bernama Namera, tidak lupa senyuman terlukis begitu cantik di bibirnya. Hingga Ariel pun diam-diam menatapnya untuk kedua kalinya. “Jika kamu ingin berdiri di sini, maka aku akan pergi.” Kata Aril. “Tunggu!” teriak Namera yang mana langsung mengekori langkah dari suaminya itu. Untuk kedua kalinya, Namera dibuat terpanah, karena bukan hanya satu taman. Akan tetapi, di halaman belakang masih ada taman di mana acara diadakan. Terlihat juga dua orang tua tengah berjalan menghampiri. “Aril, Namera! Mama kira kalian akan melupakan hari bahagia ini.” seorang wanita tengah berujar dan terus menatap Namera penuh kekaguman. “Tentu kita berdua tidak akan melewatkannya, Ma.” Jawab Aril langsung menyahut. “Sayang, kamu malam ini begitu cantik.” Puji mama dari Aril dan tidak menanggapi, ketika putranya sedang berbicara. Sayangnya Namera hanya diam dan terus menatap wanita yang ada di depannya saat ini, bibirnya terasa keluh. Seharusnya sekarang Namera mengatakan sesuatu dan dirasa sudah bisa, ia pun mulai tersenyum pada wanita itu. “Ma, bolehkah aku memelukmu, aku rindu dan ingin sekali pulang untuk menikmati makanan, yang mana selalu Mama sajikan di waktu sarapan atau makan malam.” Ketika Namera berceloteh, ketiga orang yang didekatnya buat bingung dengan cara bicara Namera. Bingung, harus mulai darimana yang pasti semuanya terasa asing dengan kalimat tersebut. “Namera Sayang, kamu bisa menginap untuk sekadar menikmati makanan dari mama, jadi bagaimana?” ucap mertua Namera. “Ma, biasanya juga aku tinggal dengan Mama.” “Namera, apa maksud kamu?” tanya Ariel menyela dua orang yang tengah melepas rindu. “Emmmh ... itu, aku---” “Apa! Katakan dengan jelas dan jangan bertele-tele,” pekik Aril yang dilandasi emosi. “Lupakan saja, mungkin aku masih terbawa oleh suasana.” Setelah mengatakan kalimat tersebut, Namera pergi dan berlari hingga tidak tahu dirinya ada di mana sekarang, sedangkan keluarga Aril kini berada di dalam rumah. Mempertanyakan akan kondisi menantunya. Tidak peduli dengan para tamu yang ikut merayakan hari ulang tahun dari orang tua Aril. “Ril, apa kamu melakukan sesuatu pada menantuku?” tanya sang ayah layaknya seorang polisi yang mengintimidasi pelakunya. “Ayolah, Yah, aku tidak melakukan apa-apa.” Jawab Aril dengan jujur, karena ia juga bingung dengan yang dibicarakan oleh istrinya itu, tentulah ketika Namera mengatakan Aril pun mempertanyakannya. “Lalu, kenapa menantuku bisa berkata seperti itu dan kata-katanya sangatlah asing. Kalian sudah menikah tiga tahun, selama itu juga Namera tidak pernah mengatakan hal itu,” ucap mama dari Aril yang juga dibuat bertanya-tanya atas sikap berubahnya. “Semenjak bangun dari koma, Namera memang aneh dan suka membuat aku marah.” Aril sedikit menjelaskan. “Maksud kamu bagaimana, bukannya memang sikapnya selayaknya anak usia 10 tahun, di mana letak kesalahannya?” Kali ini yang bertanya bukan mama dari Aril, melainkan ayahnya. “Seperti berandalan, meski ada sisi mandiri yang dimiliki sekarang.” Jawab Aril karena itulah yang dirasakan olehnya semenjak Namera keluar dari rumah sakit sebulan lalu. Sedangkan hasil pemeriksaan semua baik-baik saja. “Kita bahas nanti, malam ini akan turun hujan. Cepat cari Namera karena mama takut terjadi sesuatu dan kamu juga tahu dengannya seperti pa,” ujar mama dari Aril, karena langit sedang tidak baik-baik saja. “Astaga ... kalau begitu aku akan mencarinya,” sahut Aril yang baru ingat sudah lama Namera tidak kembali ke pesta itu lagi, bahkan terakhir kali bahkan wanita itu tersesat dan mendapat pukulan dari ayahnya. Untuk saat ini diri dirinya tidak mau kejadian tahun lalu dialaminya lagi. Benar saja, meski tidak deras. Hujan telah turun dan Aril sudah setengah jam mencari Namera tak kunjung ia temukan. “Si*l, ke mana wanita itu hilangnya? Dasar membuat onar saja, awas nanti akan kuberi pelajaran.” Di dalam mobil Aril terus mengumpat karena hampir satu jam Namera belum juga ditemukan. Di tempat lain. “Hai Cantik, sendirian saja.” Tiga orang dengan wajah seram, saat ini tengah menghalangi jalan Namera yang sedang berjalan dengan arah jalan membingungkan. “aku harap kalian tidak buta,” sahut Namera tanpa punya rasa takut sedikitpun. “Sepertinya ini nikmat.” Satu pria dari dua diantaranya menatap satu per-satu temannya. “Jangan banyak bicara, kita lakukan saja.” Satu orang lagi memberi jalan untuk segera mereka serang. Ketiga orang itu pun mulai maju langkah demi langkah, sampai pada akhirnya Namera pun tidak bisa bergerak. “Tunggu, jika kalian ingin bermain-main denganku. Satu-satu dan aku harap kalian tidak akan berbarengan untuk melakukan itu!” Ucapan Namera seakan membawa mereka bertiga berada di atas bulan, menari-nari dalam sebuah ilusi yang terdapat di isi kepala mereka masing-masing. “Baik, kami setuju dan tentunya kau akan menyukainya.” Dengan wajah mesumnya, satu orang mulai mendekat dan memandang Namera seperti menu ternikmat. Senyum licik terlukis indah di bibir Namera dan sekarang waktunya untuk bermain-main. “Waktunya pemanasan,” batin Namera dan tidak lupa melepaskan sepatu hak tingginya. “Sayang ... kenapa harus di sini? Kita bisa mencari tempat yang indah,” ucap p****************g itu. “Siapa bilang kita di sini, kau lihat pohon besar itu? Baiklah ikut denganku ke sana!” ajak Namera sambil menunjuk ke arah pohon. Tidak berapa lama. Pakh. Pakh. Bugh. “Apa kau suka?” tanya Namera dengan senyum membunuh. “Wanita, s*tan!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD