Kehidupan Kedua Istri yang Tertindas (10)

1006 Words
“Bagaimana dengan permainannya? Apa kalian suka dengan adegan seperti yang aku perankan?” dengan tawa yang mengerikan Namera bertanya. Namun, siapa sangka dari kejauhan Aril melihat semuanya dan tidak bisa dipungkiri jika apa yang terjadi malam ini membuatnya syok dan terkejut. “Maju kalian dan lawan aku. Jangan hanya bisa mengganggu orang dengan nafsu b***t layaknya anj*ng!” Sisi buruk Namera telah bangun dan para preman itu, kini telah membangunkan singa yang sedang tertidur, sepertinya mereka bertiga tidak akan selamat dari terkaman tersebut. Tanpa banyak bicara dua preman tersebut langsung maju dan menyerang, tetapi tidak sulit bagi Namera untuk melawan dua orang sekaligus. “Ampun ... tolong ampuni kita,” ucap para preman dengan kalimat memohon. “Apa menurut kalian semua itu pantas untuk dimaafkan?” dengan napas tersengal, berusaha mengatur detak jantungnya, Namera membeli pertanyaan. “Kami berjanji tidak akan seperti ini dan izinkan kita bertiga menjadi murid, Bos.” Ketiganya menyerah dengan wajah babak belur, jika seseorang mencarinya pun. Maka orang tersebut tidak dapat mengenalinya. “Aku tidak menginginkan anak buah, jadi pergilah dan jangan mengotori mataku lagi.” Jawab Namera yang sangat jelas jika dirinya menolak dan hal itu sungguh tidak mungkin. “Tolong kami, kami bertiga ingin menjaga Bos, jika tidak mau. Maka kami semua akan terus berlutut seperti ini.” Hufffff. Satu helaan napas berat dari Namera, harus membuat keputusan agar masalah cepat selesai. “Berdiri dan pergi jika kalian ingin menjadi anak buahku.” Ketiga preman tersebut bersorak riang, meski tubuh mereka remuk. Bahkan tidak dipedulikan, asal bisa menjadi bagian murid dari Namera. Sedangkan seseorang yang sedari tadi berada di dalam mobil, berharap kejadian buruk menimpa wanita tersebut. Maka dengan begitu masalah akan selesai, tetapi ternyata dugaannya salah besar . “Sejak kapan Namera bisa berkelahi karena yang aku tahu wanita itu sangat manja?” di dalam diamnya Aril pun bertanya-tanya karena sungguh aneh. Yah, memang lelaki seperti dirinya sengaja tidak turun dan tidak punya niat untuk membantu, anggap saja jika sedang menginginkan hal ini terjadi. Dengan begitu Aril bisa hidup bahagia tanpa adanya wanita b*doh seperti Namera, tetapi siapa sangka. Tiga tahun berumah tangga, untuk pertama kalinya Aril melihat Namera melawan tiga orang sekaligus tanpa memiliki cedera. Tidak begitu lama, preman tersebut sudah pergi dan Namera pun bersiap untuk melanjutkan perjalanannya, meski saat ini tidak punya tujuan akan ke mana. Prok. Prok. “Bagus sekali, aku sedari tadi mencarimu, tetapi dengan nikmatnya kamu b******u dengan para preman itu.” Aril pun saat ini tepat berada di belakang Namera dan membuat kejutan. “Apa maksudmu?” dengan sangat marah karena sebuah fitnah. Namun, Namera berusaha untuk tetap tenang. “Jangan pura-pura b*doh, karena aku sudah melihat semua, dasar w************n!” Dengan sorot mata yang tajam, Aril sengaja mengatakan kalimat tersebut. Untuk Namera sendiri bahkan tidak peduli dengan kata-kata yang terlontar dari mulut kotor Aril. “Jika sudah selesai, maka kamu bisa pergi.” Namera pun masih menanggapi dengan santai karena merasa cukup lelah kalau harus berteriak lagi. “Apa hebatnya kamu tanpa aku. Jadi, jangan menyombongkan yang tidak akan bisa kamu capai dan berhenti untuk bermimpi!” Cukup menyakitkan kata-kata yang harus diterima oleh Namera, tetapi semua itu tidak membuatnya menyerah. Namera juga tidak harus menerima hinaan dari lelaki seperti Aril. “Jika kamu ingin bukti, maka pergilah. Aku bisa mengatasi semua tanpa seorang lelaki bajin*ngan sepertimu---.” “Lancang sekali mulutmu,” sahut Aril tidak terima. “Maka jaga ucapanmu juga! Aku masih sabar menghadapi sikapmu, tetapi ... jika kamu ingin mencoba dengan apa yang aku lakukan pada ketiga preman itu, aku bisa dan tidak takut untuk melakukannya. Jadi, bagaimana?” Seketika Aril pucat, betapa ngerinya ketika melihat menghajar para preman dengan brutal. Bahkan sedikitpun tidak ada luka yang dialami oleh istrinya sewaktu tadi. Membayangkannya sudah membuat lelaki tersebut bergidik ngeri dan pilihannya sekarang adalah menjauh. Tepat ketika Namera dan Aril masih berdebat, suara dering ponsel membuat langsung mengecek dan bisa dipastikan jika orang yang menghubunginya adalah Mely. Sesaat kemudian. “Ke mana perginya wanita itu,” gumam Aril dengan sedikit emosi. Ketika baru saja meletakkan ponsel di sakunya, tetapi sudah tidak melihat Namera. “Menyusahkan saja!” umpat Aril yang mana sekarang tengah berjalan ke arah mobilnya. Melihat mobil yang sudah pergi, Namera pun keluar dari persembunyiannya dan segera berjalan lagi, tidak tahu akan pulang ke mana dan hujan pun sedikit deras hingga membuat gaunnya basah kuyup. “Tuhan ... apa salahku sampai kau menghukumku!” Terdengar teriakan yang sangat keras, yah. Namera masih marah, kesal dan tidak tahu harus menyalahkan siapa, haruskah takdir yang ia salahkan saat ini? “Tuhan, aku marah padamu. Aku tidak tahu kesalahan apa yang sudah aku perbuat, sampai hidupku harus berakhir seperti ini, kenapa karma menyakitkan berada di bahuku.” Namera benar-benar lelah dengan semua yang menimpanya, meski sudah berdoa, tetapi Tuhan tidak memberikan jawaban dengan hidupnya yang teramat rumit ini. Aaaaaaaaaaaaaa. Berteriak dengan keras, mungkin sedikit bisa membantunya meringankan beban yang tertumpu di hatinya. Tidak memiliki siapa pun, bahkan dirinya masih punya keluarga atau tidak, bahkan Namera tidak tahu. “Ke mana aku harus pergi, sedangkan sekarang sepertinya sudah tengah malam.” Dengan rasa lelah karena terus berjalan tidak tahu arah dan tujuan, Namera terus berbicara sendiri layaknya seekor itik yang kehilangan sang induk. Tengah malam berjalan sendiri, tetapi ada sebuah mobil sedang melaju cukup cepat dan Namera berpikir jika apa yang dilakukan adalah ide bagus. “Baiklah, mungkin ini cukup konyol, tapi aku tidak punya pilihan lain untuk menghindar.” Dengan satu tarikan napas, Namera menyakinkan hatinya dan mungkin hal ini akan membebaskan dari segala siksa yang selama ini ia dapatkan. “Mobil sudah dekat, aku yakin ini adalah takdirku untuk pergi." Namera pun berkata lirih dan kini tubuhnya sudah berdiri di tengah jalan. Menanti mobil tersebut membawanya pergi dan hari ini tidak ada yang perlu disalahkan, karena semua atas kemauannya sendiri. Diujung sana, lampu mobil semakin jelas dan Namera pun sudah bersiap. Semakin dekat, terus mendekat. Hingga suara klakson terdengar begitu nyaring hingga seorang berkendara terus mengumpat karena sepertinya wanita yang mencoba menghalangi jalannya ingin bunuh diri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD