Kehidupan Kedua Istri Yang Tertindas (14)

1004 Words
Beberapa jam kemudian, akhirnya Namera pun sudah berada di rumah, sedari Aril yang menunggu bisa bernapas lega karena wanita tersebut menepati janjinya, karena sepulangnya Aril, belum meninggalkan ruang tamu hanya untuk menunggu Namera. “Cukup bagus untuk menepati janji,” kata Aril dengan senyuman liciknya. Menyambut kepulangan Namera, tidak lupa kedua tangan disilangkan dan lelaki bertubuh kekar itu pun bersandar di daun pintu. “Aku bukan kamu, jadi apa ada yang penting sehingga membuatmu menungguku?” kata Namera yang ingin sesegera mungkin pergi dari hadapan Aril karena terlalu muak melihat ucapannya, apa lagi wajahnya sekalipun. “Nanti malam orang tuaku datang ke sini, aku harap kamu bisa memerankan sebagaimana yang harus kamu perankan.” Akhirnya ucapan lolos di bibir Aril, mungkin itulah yang ingin disampaikan pada Namera, tetapi caranya berbicara membuat istri bisnisnya kesal. Ckckckck. Namera berdecak kesal karena benar-benar muak dengan sandiwara ini, ia pikir semuanya harus segera diakhiri. Jika tidak, maka dirinya akan terus tersiksa oleh hal-hal yang menyebalkan seperti sekarang ini. “Jangan khawatir, jika aku harus berpura-pura menjadi baik, maka akan aku tunjukkan nanti.” Seulas senyuman dilihatkan, lalu Namera pergi dengan begitu saja. Setelah mengatakannya, Namera pergi ke kamarnya, marah, lelah, emosi yang tak terkendali kini telah menguasainya. Aaaaaaaaaagh. “Semua ini karena kamu Namera, kenapa aku harus berada di sini jika terus tersiksa seperti!” Namera berada di dalam kamar mandi, melampiaskan segalanya. Menyalahkan Namera yang sesungguhnya, karena semua ini tidak akan terjadi, jika wanita itu hidup. Namera menatap wajahnya di pantulan kaca, begitu marah pada wajah ini, karena semua masalah disebabkan olehnya, jadi siapa yang harus dipersalahkan jika saat ini dirinya berada di tubuh orang yang salah? “Namera, kamu terlalu lemah untuk melawan lelaki gila itu, kamu b*doh karena cinta, sekarang aku yang harus menebus semuanya.” Dengan tatapan tajam, seolah Namera berbicara dengan lawannya, ia mengungkapkan akan kesalahannya. “Maafkan aku, karena tidak ada cara lain untuk membalasnya.” Sumber suara yang datang tiba-tiba, membuat Namera seketika membuka mata, berharap jika semua adalah delusi, karena orang meninggal tidak akan menampakkan diri lagi. “Tidak, kamu tidak berhalusinasi, karena aku adalah kamu sekarang.” Ucapan perempuan itu lagi dan wajahnya sama persis seperti seperti di pantulan kaca itu.. “Aku berharap jika kamu hidup lagi dan menyelesaikan apa yang seharusnya menjadi tugasmu,” ujar Namera menunjuk tubuh dipantulan kaca menatap tubuh Namera dengan sorot mata tajam. “Tidak, karena semua tugasku beralih kepadamu---.” “Kamu gila! Sekarang keluarkan aku dari tubuhmu ini,” sahut Namera bernada tinggi. “Hal itu tidak akan terjadi, karena kamu pun memiliki tugas. Aku tahu jika usiamu sudah lebih tua dariku, tapi ... apa aku tidak bisa minta bantuanmu kali ini,” ujar Namera dengan wajah sedih. “Enyah dari hadapanku!” bentak Namera dan seketika bayangan itu hilang, entah pergi ke mana, yang pasti semua ini membuatnya begitu kesal. Setelah itu, Namera buru-buru mencuci mukanya agar terlihat segar dan tidak terlihat lelah. "Tunggu, rumah, iya, rumah." Sejenak Namera mengingat kembali rumah yang pernah ia tempati, tetapi tidak tahu harus meminta tolong pada siapa guna memastikannya. "Ohooo … sial, belum juga memikirkannya, kenapa selalu ada pengganggu." Yah, tepat ketika Namera hendak berpikir untuk bisa datang ke rumahnya, sebuah ketukan diiringi panggilan. Membuyarkan konsentrasinya. Setelah Namera membuka pintu, ternyata yang datang adalah bi Nam, wanita paruh baya tersebut sedang membawakan sesuatu Namera rupanya. "Maaf kalau bibi mengganggu," ujar bibi Nam. "Tidak apa-apa Bi, lalu … apa yang Bibi bawa?" tanya Namera sembari melirik ke arah nampan. "Oh, ini. Ini sup daging kesukaan Nona," terang bi Nam. Namera pun terdiam, tidak tahu harus berkata apa, karena yang dibawa bi Nam adalah. Makanan yang tidak ia sukai apa lagi berbentuk sup. "Sejak kapan aku suka sup daging? Kecuali itu sup ayam," gumam Namera di dalam hati. "Emmmh, Bi. Bisakah aku meminta ganti menu," ucap Namera sedikit tidak enak untuk mengatakannya. "Loh, bukankah sup daging ini kesukaan Nona, lantas kenapa minta ganti?" tanya bibi karena tidak biasanya Namera meminta ganti. "Aku ingin makan sup ayam Bi, sesekali berganti selera tidak apa-apa, 'kan." Jawab Namera sambil tertawa kecil agar bi Nam tidak curiga. "Baiklah, kebetulan di belakang ada sup ayam untuk tuan, jadi bisa bibi bawa ke sini." Namera pun mengangguk, tidak sabar untuk memakan menu kesukaannya. Yang mana sudah lama tidak makan dan bisa diingat terakhir kali dirinya mendapatkan menu seperti itu. Sedangkan di bawah, Aril yang tengah melihat bi Nam pun merasa curiga karena membawa nampan yang masih utuh. "Tu-an," ucap bi Nam ketika melihat majikannya tengah menikmati sup ayam tersebut. "Apa wanita itu membuat masalah lagi?" tanya Aril. "Tidak, Tuan." Jawab bi Nam dengan cepat. "Lantas, kenapa mangkuk itu kamu bawa kembali?" tanya Aril lagi. "Nona tidak mau sup daging, maka dari itu saya membawanya kembali untuk ditukarkan dengan sup ayam." Jawab bi Nam tanpa tanpa ada yang ditutupi, sedangkan Aril mendengar penjelasan dari pembantunya tersebut, merasa aneh karena mustahil jika Namera tidak menyukai menu favoritnya. "Kenapa akhir-akhir ini aku merasa aneh dengan sikapnya," batin Aril bertanya-tanya. Apa dia adalah orang yang sama? Atau memang seorang Namera sudah berubah sepenuhnya? Itulah yang ada dibenak Aril sekarang. Namera yang dulu paling suka dengan sup daging, tetapi sekarang. Aril dibuat tercengang karena wanita tersebut memilih tambahan ayam, di mana sama sekali tidak disukainya. "Apa sebegitu parahnya ketika dia terjatuh dari tangga? Atau memang wanita itu benar-benar lupa ingatan?" Aril sama sekali tidak menghiraukan bi Nam, lelaki tersebut lebih banyak memikirkan akan keganjalan-keganjalan yang selama ini ditemuinya lewat Namera. "Tuan ... Tuan!" panggil bi Nam karena melihat tuannya berdiri dengan pandangan kosong, membuat bi Nam menegurnya. "Tuan ...!" "Ah, iya, ada apa?" Setelah panggilan berulang kali, barulah Aril sadar. "Apa ada yang bisa saya bantu lagi?" bi Nam pun mencoba bertanya karena terlihat jika wajah Aril tampak gelisah. "Tidak, tidak ada. Sekarang pergilah dan urus wanita itu, karena saya tidak mau sampai ada masalah lagi di rumahku." Jawab Aril dengan memberikan kode tangannya pada bi Nam. Benar saja, setelah Aril memintanya pergi. Bi Nam pun kembali ke lantai atas untuk memberikan sup lagi pada Namera.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD