Kehidupan Kedua Istri Yang Tertindas(15)

1145 Words
Sedangkan di bawah Aril melihat bi Nam sudah berada di atas, dengan nampan di tangannya. Sesaat kemudian, Namera pun mulai menikmati hidangan tersebut dan ditambah karena lapar juga. Malam hari, Namera sudah tertidur, kali ini ia merasa beruntung karena tidak mendengar suara keramat, yang kapan saja bisa menusuk telinganya. “Syukurlah kalau wanita jadi-jadian itu pergi dari rumah, karena dengan begitu aku bisa tidur dengan sangat nyenyak.” Suara lirih dan senyuman yang terus dikembangkan, menjadikan kebahagiaan tersendiri bagi Namera karena untuk sementara waktu, dirinya tidak akan dibuat seakan-akan melihat momok yang menakutkan. Sedangkan Aril yang masih berada di bawah dengan beberapa dokumennya. Merasa hampa karena tidak ada Mely di sampingnya. “Kenapa dengan malam ini? Aku merasa seperti ada yang tertinggal,” gumam Aril dengan pandangan ke sana kemari karena tidak melihat istri keduanya. “Astaga ... aku lupa,” gumamnya lagi karena ia lupa untuk sementara Mely dipulangkan ke rumahnya. Oleh karena orang tua dari Aril akan berkunjung esok hari. Keesokan harinya. Pukul satu siang, dua orang tengah memasuki halaman rumah dengan yang satu terlihat anggun dan yang satunya terlihat sangat berwibawa. Siapa lagi kalau bukan orang tua dari Aril, lantas Namera juga sudah siap untuk menyambut mereka sesuai drama diperankannya. “Mama, Papa!” sapa Namera yang langsung menghampiri sang mertua dengan hati yang gembira. “Namera! Apa kabar?” tanya sang mertua dengan seulas senyuman. “Baik, Ma. Mama sendiri baik, ‘kan?” tanya kembali Namera. “Jika tidak baik, kami tidak akan sampai di sini.” “Benar, ‘kan, Pa?” kini wanita tersebut menoleh ke arah sang suami, tersenyum dengan sangat bahagia dan lelaki itu pun mengangguk. “Kalau begitu kita masuk!” ajak Namera. Sesaat kemudian. Ketiganya sudah berada di dalam rumah, tepatnya Aril juga baru saja turun dan melihat Namera begitu akrab. Nyatanya, ketika dulu semua hanyalah mimpi karena Namera yang dulu tidak begitu menyukai orang tuanya, meski merekalah yang menyatukannya. Apa ini mimpi? Karena rasanya sulit untuk dicerna. Seperti itulah yang ada di dalam kepala Aril saat ini. “Pa, Ma!” sapa Aril usai menuruni anak tangga. “Apa kamu tidak bekerja?” tanya sang papa. “Kalian datang berkunjung, tidakkah aku tega meninggalkan orang terpenting dalam hidupku demi pekerjaan.” Jawab Aril dan mereka pun tertawa. Namun, siapa sangka jika dari dalam hati Namera yang terdalam. Jika dirinya juga merindukan keluarganya yang entah masih hidup atau berada di surga saat ini. “Apa kalian ingat aku, apa kalian merindukan aku? Aku berharapnya seperti itu.” Hanya bisa diungkapkan dalam hati, berharap jika semuanya akan berakhir indah. “Namera!” Sebuah tepukan membuat pemilik nama seketika sadar dari lamunannya, dengan bingung. Ia pun menatap semua orang secara bergantian. “Sayang, ada apa?” tanya sang mertua. “Tidak, tidak ada, Ma. Hanya saja rindu dengan kalian dan membayangkan jika Mama tengah memasak untukku.” Jawab Namera, berusaha menutupi hati yang rapuh meski dengan kebohongan. “Oh, begitu. Kalau itu mau kamu ... Mama bisa membuatkannya,” ucap mertuanya yang sama sekali tidak keberatan dengan permintaan sang menantu, karena untuk pertama kalinya Namera meminta olahan dari tangannya sendiri dan hal itu menjadikan kesan tersendiri. “Kalau begitu, papa akan membantunya.” Papa dari Aril ikut berdiri dan menawarkan bahunya. Lantas di meja makan hanya tersisa dua orang, yakni Namera dan Aril. “Apa yang kau rencanakan sehingga mendekati orang tuaku?” tanya Aril dengan sinis. Menarik pergelangan tangan Namera dengan sangat keras, sehingga ia pun sedikit merasakan sakit akibat ulah Aril. “Memangnya apa yang aku perbuat? Aku berharap jika kamu tidak stres karena memikirkan istri keduamu itu.” Jawaban Namera seakan sebuah tamparan bagi Aril. Yah, karena sedari dulu Namera tidak pernah manja pada mertuanya, mungkin hal itu juga membuat Aril marah, bahkan curiga Bisa dikatakan seperti itu dan inilah pendapat di hati kecil Aril. “Jangan diam saja, coba jelaskan, rencana apa yang sudah kamu susun?” tanya Aril lagi yang tidak ingin melepaskan begitu saja tanpa ada adanya jawaban. “Apa yang perlu aku jelaskan, sedangkan aku sendiri tidak mempunyai rencana untuk hidupku sendiri!” Suara tegas Namera mampu membuat Aril bungkam, sebelum menyerang balik kata-katanya. “Wajar jika aku curiga dan harusnya kamu tahu tentang alasanku itu,” kata Aril dengan sangat yakin jika Namera memiliki rencana licik untuk balas dendam kepadanya. “Bukankah setiap manusia bisa berubah kapan saja? Begitu juga aku, yang tadinya seorang wanita bodoh dan saat ini orang itu sudah tidak ada lagi.” Setelah mengatakan kalimat yang membuat Aril tercengang, Namera pun pergi. Apa itu Namera yang mengatakannya barusan? Karena merasa asing dengan kata-kata yang terucap di bibir wanita tersebut. Beberapa menit kemudian. Semua makanan telah siap dan mereka juga sudah berkumpul di meja makan. “Sayang, ini coba. Siapa tahu rasanya kurang pas,” ucap mama mertua Namera yang memberikan sendok untuk ia cicipi. “Tidak Ma, ini sudah enak, lantas untuk makanannya Ae berterima kasih sekali.” Namera pun memegang tangan mertuanya. "Kenapa terdengar asing dengan penyebutan namanya?" batin mert Meski keadaan sedikit tidak nyaman, Namera pun tidak perlu memikirkannya, karena untuk saat ini. Yang mana bisa dikatakan kesempatan terakhir, ia bisa melihat wanita sebagai seorang ibu dengan penuh kasih sayang, memberikan cinta tulusnya. “Aku harap kalian tidak lupa dengan siapa aku,” ucap Aril dengan tiba-tiba karena ia begitu cemburu dengan Namera, yang kerap ia panggil wanita bodoh. “Aku harap juga jika kamu cemburu denganku.” Sebuah jawaban, membuat Aril semakin yakin jika sesuatu tengah direncanakan oleh Namera. Sekilas panggilan untuk diri sendiri begitu sangat asing menurutnya, jadi wajar jika Aril curiga. “Sudah-sudah, kalian berdua adalah kebahagiaan kami, jadi jangan membuat kita menunggu untuk mendapatkan cucu juga.” Uhuk. Uhuk. Namera dan Aril layaknya pasangan yang serasi karena kekompakannya, karena ketika mama dari Aril tengah membicarakan seorang cucu, tiba-tiba saja keduanya tersedak. “Jangan bilang kalau kalian belum siap, ini sudah masuk tahun ketiga!” Kali ini yang menjawab bukan lagi mamanya Aril, melainkan papanya yang mana sama-sama ingin mendapatkan cucu dari anak lelaki satu-satunya itu. “Pa, Ma. Kita berdua juga masih berusaha, mungkin saja Tuhan belum memberikannya, karena kita belum cukup dewasa untuk merawat diri sendiri.” Jawab Namera, karena jika tidak mengatakannya, ia takut kalau kedua orang tua yang sedang mengharapkan seorang penerus akan lebih kecewa. “Ma, Pa, apa dikatakan Namera benar, kita juga berusaha. Namun, Tuhan masih belum ingin menitipkan satu nyawa di rahim Namera.” Sebuah drama begitu sangat apik, ketika dua orang memerankannya, bukan? Kedua orang tua itu pun tampak sedih, usia yang semakin tua. Seorang cucu belum terwujud dan Aril pun harus segera memiliki karena ia adalah penerus tunggal. “Kami berdua selalu mendoakan yang terbaik untuk kalian,” ucap dua orang tua tersebut, meski kecewa mereka juga tidak berhak untuk marah, karena memang betul jika anak-anaknya belum mampu menjaga dirinya sendiri. "Jangan harap semua bisa terwujud," batin Namera dalam hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD